Bahasa Melayu dari Kepulauan Riau untuk Indonesia; Tamadun yang Paling Membanggakan |
Bahasa Indonesia yang kini menjadi bahasa Nasional menjadi tamadun (peradaban) Kesultanan Riau-Lingga yang paling membanggakan.
Keistimewaan lainnya, bahasa Indonesia yang disumbangkan ini bukan semata-mata karya linguistik (ilmu bahasa) saja, tetapi juga karya-karya sastra.
Melalui pemikiran seorang keturunan bangsawan Kerajaan Riau-Lingga bernama Raja Ali Haji inilah lahirlah karya bahasa dan penulisan.
Salah satu karya bahasa yang juga menjadi biang dari bahasa Indonesia itu ada di dalam kamus monolingual sulung. Kamus tersebut masih bertuliskan aksara Arab-Melayu.
”Kini kita bisa membacanya dalam tulisan latin karena sudah diterjemahkan oleh R. Hamzah Yunus. Dengan judul bukunya Kitab Pengetahuan Bahasa,” kata Abdul Malik, kolomnis Budaya di Batam Pos.
Karya Raja Ali Haji yang lain, kata Abdul Malik yaitu Kamus Logat Melayu Johor, Pahang, Riau, dan Lingga yang juga ditransliterasi oleh R. Hamzah Yunus, dan diterbitkan oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Melayu, Penelitian dan Pengkajian Nusantara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pekanbaru tahun 1986/1987.
Satu lagi keunikan karya Raja Ali Haji yaitu Gurindam Dua Belas. Yang merupakan genre puisi tersendiri.
Raja Ali Haji juga menekankan bahwa tujuan pengkajian bahasa adalah ilmu untuk mencapai makrifat yakni mengenali Allah dan segala kewujudannya, memperteguh keimanan dan ketakwaan, serta mempertinggi adab-pekerti yang mulia.
”Itulah sandaran utama setiap ilmuwan Islam ketika mereka membahas ilmu bahasa, ”kata Abdul Malik.
Raja Ali Haji juga menyimpulkannya bahwa “… segala manusia itu apabila mengenal makrifat yang tujuh dan pengetahuan yang tujuh … itu serta beriman, niscaya sempurnalah akalnya dan berbedalah ia dengan binatang pada pihak pengetahuannya.
Padahal, kata Raja Ali Haji, tiada beda antara manusia dan binatang, kecuali pada akal-budi dan ilmu yang makrifat itulah. Itulah sebabnya, bahasa harus dipelajari dan diajarkan secara benar dan baik supaya diperoleh ilmu yang benar dan adab yang santun.
Di dalam mukadimah karya bidang bahasanya yang ditulis lebih awal yakni Bustan al-Katibin (1850) Raja Ali Haji menegaskan perhubungan antara kemahiran berbahasa, ilmu yang tinggi, dan adab-pekerti yang mulia.
Raja Ali Haji memandang begitu pentingnya kedudukan bahasa bagi manusia. Agar manusia mampu mencapai taraf orang yang beradab sopan, berakal-budi, dan berilmu yang tinggi lagi bermanfaat. Itulah sebabnya, di dalam karya Gurindam Dua Belas, Raja Ali Haji menegaskan, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi bahasa”.
Atas dasar itu Raja Ali Haji menekankan pentingnya tertib bertutur dan berbahasa.
Menurut Abdul Malik dalam makalahnya di seminar Pra Konvensi Hari Pers Nasional 12 Desember 2014 di Hotel Harmoni One, dalam pengkajian bahasa Raja Ali Haji memberikan penekanan utama pada pembentukan (pembinaan) konsep tentang sistem ontologi (wujud), kosmologi (alam), dan epistemologi (ilmu) Melayu-Islam. Hal itu berarti, menurut Raja Ali Haji, pengkajian, pembelajaran, dan penggunaan bahasa Melayu seharusnya menjadi sarana dan wahana yang membawa manusia ke arah pengenalan, pengertian, pemahaman, pengucapan, pengungkapan, penyampaian, pemujaan, pemujian, dan pengakuan terhadap Allah, yang pada gilirannya membawa manusia kepada keadilan, kebahagiaan, dan keberuntungan di dunia dan di akhirat.
Raja Ali Haji juga menekankan pentingnya tertib bertutur dan berbahasa. Karena bahasa menjadi dasar pembinaan ilmu dan adab-pekerti. Itulah sebabnya, setiap orang harus menggunakan bahasa secara benar dan baik, terutama harus dikaitkan pembelajaran bahasanya dengan matlamat untuk mencapai makrifat mengenali Allah, mengagungkan-Nya, dan mensyukuri nikmat dan rahmat ilmu dan akal yang dianugerahkan-Nya sehingga manusia menjadi makhluk yang lebih mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Memang tak terbantahkan bahwa manusia menjadi berbeda dari hewan, misalnya, karena manusia memiliki bahasa. Dengan bahasanya, manusia memiliki kebudayaan sehingga terus dapat memperbaiki dan memperbaharui kehidupan hingga sampai ke puncak tamadunnya yang tertinggi.
Bahasa Komunikasi sejak abad ke 7
Menurut Abdul Malik, Budayawan Kepri, Bahasa Melayu sudah menjadi alat komunikasi antar bangsa sejak abad ke tujuh ketika kejayaan kerajaan Sriwijaya.
“Tak ada bahasa di dunia ini yang dapat berjaya secara tiba-tiba tanpa melalui perkembangan tahap demi tahap, ” kata Abdul Malik.
Sejauh yang dapat ditelusuri, kata Abdul Malik, bahwa puncak pertama kejayaan bahasa Melayu terjadi pada abad ketujuh (633 M) sampai dengan abad keempat belas (1397 M.)
Hal ini didasari oleh tulisan Ahli bahasa Indonesia, Kong Yuan Zhi (1993:1).
“Kong Yuan Zhi ini masih keturunan Konghucu dan sekarang menjadi dosen di Beijing University. Ia seorang ahli bahasa Indonesia, lahir tahun 1937 dan menguasai bahasa Indonesia dengan baik serta menjadi salah satu anggota Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok,” kata Budi Tamtomo, ketua Lembaga Pengkajian Kitab Klasik (LPKK) Batam.
Dalam tulisannya itu disebutkan bahwa pada November 671 Yi Jing (635—713), yang di Indonesia lebih dikenal sebagai I-tsing, berlayar dari Guangzhou (Kanton) menuju India dalam kapasitasnya sebagai pendeta agama Budha. Kurang dari dua puluh hari ia sampai di Sriwijaya, yang waktu itu sudah menjadi pusat pengkajian ilmu agama Budha di Asia Tenggara.
Di Sriwijayalah selama lebih kurang setengah tahun Yi Jing belajar Sabdawidya (tata bahasa Sansekerta) sebagai persiapan melanjutkan perjalanannya ke India. Setelah tiga belas tahun belajar di India (Tamralipiti/Tamluk), Ia kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana selama empat tahun (686—689) untuk menyalin kitab-kitab suci agama Budha. Setelah itu kembali ke negerinya, tetapi pada tahun yang sama Yi Jing datang kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana sampai 695.
Dari catatan Yi Jing itulah diketahui bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Kunlun, dipakai secara luas sebagai bahasa resmi kerajaan, bahasa agama, bahasa ilmu dan pengetahun, bahasa perdagangan, dan bahasa dalam komunikasi sehari-hari masyarakat.
Yi Jing mengatakan bahwa bahasa Kunlun telah dipelajari dan dikuasai oleh para pendeta agama Budha Dinasti Tang. Mereka menggunakan bahasa Kunlun untuk menyebarkan agama Budha di Asia Tenggara.
”Dengan demikian, bahasa Kunlun menjadi bahasa kedua para pendeta itu. Ringkasnya, bahasa Kunlun merupakan bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya dengan seluruh daerah taklukannya yang meliputi Asia Tenggara,”jelas Abdul Malik yang juga dosen di UMRAH Tanjungpinang.
Pada masa itu, kata Abdul Malik lagi, bahasa Kunlun telah menjadi bahasa internasional. Ternyata, bahasa Kunlun yang disebut Yi Jing dalam catatannya itu ialah bahasa Melayu Kuno.
Pada masa Sriwijaya itu bahasa Melayu telah dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta yang dibawa oleh kebudayaan India. Bangsa India menyebut bahasa Melayu sebagai Dwipantara sejak abad pertama masehi lagi.
”Bahasa Kunlun adalah bahasa Melayu Kuno, sedangkan Bahasa Melayu Tinggi yg digunakan zaman Raja Ali Haji disebut bahasa Melayu Klasik. Setelah bahasa Melayu klasik itulah sekarang kita menggunakan bahasa Melayu modern atau bahasa Indonesia,” jelas Abdul Malik.
Bahasa Melayu Klasik dimulai sejak abad ke-15 dengan masuknya pengaruh Islam. Bahasa Kunlun lebih banyak pengaruh bahasa Sansekerta dari tradisi Hindu-Budha.
Bahasa Kunlun menggunakan aksara Palawa, sedangkan Melayu Klasik menggunakan aksara Arab-Melayu (Jawi).