Pendakian massal dalam jumlah banyak yang berpotensi meninggalkan sampah, dan kurang pengawasan. (Alun-Alun Suryakencana TNGGP-Bernard T. Wahyu Wiryanta |
Saya tidak tahu kejadian dan tidak berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) waktu ada korban tewas Shizuko Rizmadhani yang diduga karena hipotermia. Saya sedang berada di lereng Gunung Prau di Jawa Tengah waktu itu. Beberapa kicauan di twitter menyalahkan lambannya Tim SAR yang datang 13 jam kemudian.
Tapi saya akan menceritakan ketika saya sering ngecamp di lereng TNGGP bersama beberapa teman-teman relawan disana. Kami menempati sebuah rumah kayu di dekat Pos Cibodas, tepat berada di batas hutan hujan tropis TNGGP. Disana ada banyak teman-teman relawan dari Montana. Tugas kami adalah menjadi mitra Balai Besar TNGGP dan membantu petugas disana. Misalnya membantu mengawasi pendaki di pintu masuk, membersihkan sampah, dan melakukan kegiatan search and rescue (SAR), juga memadamkan api kebakaran hutan. Kami tidak digaji, dan kadang kami bergerak duluan dibanding dengan petugas dari TNGGP. Tapi kami tetap berkoordinasi dengan Polhut/Ranger dari TNGGP.
Beberapa kali kami mengambil mayat pendaki, juga sering kali mengevakuasi korban kecelakaan di gunung. Yang anehnya sebagian besar korban kecelakaan di TNGGP yang harus kami evakuasi adalah para pendaki-pendaki tolol. Beberapa kesalahan atau pemicu kecelakaan yang sampai menyebabkan hilangnya nyawa itu antara lain: tersesat karena tidak melewati jalur resmi; tersesat karena tidak melapor/mengurus Simaksi hingga kucing-kucingan dengan petugas; tidak membawa perlengkapan standar pendakian; tidak membawa logistik yang memadai; mendaki dengan tidak mengikuti ritme/aklimatisasi. Intinya, sebenarnya kawasan Gunung Gede itu adalah gunung yang mudah, asal mengikuti aturan. Ada juga yang Simaksinya 7 orang yang naik 9 orang,dan pas banget yang harus kami evakuasi adalah nama yang tidak ada di Simaksi. Pernah juga ada anggota TNI yang memaksa naik tanpa membawa Simaksi, dengan arogan dia memaksa naik ke puncak Gede. Akibatnya kami yang repot, beberapa hari kemudian harus susah-payah membawa turun mayatnya.
Sebagai relawan kami tidak ada yang membayar, kadang kalau kelaparan kami diberi makanan oleh Polisi Hutan/Ranger TNGGP yang baik hati. Kadang kami dibangunkan jam 2 pagi oleh pendaki yang minta tolong dievakuasi. Dua orang datang tergopoh-gopoh melaporkan temannya kecelakaan di sekitar pos kandang batu. Saya tanya, berapa orang kalian mendaki, jawabnya 3 orang. Jadi si korban ditinggal sendirian? Setelah kemudian kami tergopoh-gopoh berlari keatas, ternyata kami dapati si korban hanya kelelahan dan kelaparan karena logistik yang tidak mencukupi. Kami memasak, makan di waktu subuh, dan korban pun segar kembali. Ini hal sangat bodoh menurut saya.
Suatu ketika, kami dibangunkan malam-malam oleh laporan kebakaran di Pangrango. Kami membentuk tim dan segera naik malam hari. Bodohnya para pendaki, mereka hanya laporan saja ke Pos TNGGP. Ratusan dan hampir ribuan pendaki di Mandalawangi yang melewati puncak Pangrango yang berasap hanya melihat, tanpa ada tindakan sedikitpun. Ini benar-benar pendaki bodoh.
Tanjakan Rante, salah satu medan berat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. (Foto: Bernard T. Wahyu Wiryanta) |
Dalam suatu pendakian, saya juga pernah menemukan seorang pendaki perempuan yang menurut 3 teman laki-lakinya ‘kesurupan’. Saya melihat mereka berempat tidak membawa tentengan sama sekali. Saya tahu penyebabnya, maka kami memasak, salah satunya ikan asin. Rupanya bau ikan asin yang menyengat dan sampai hidung korban sedikit mengembalikan kesadarannya. Kami beri minum, dan makanan. Awalnya korban menolak, lalu teman laki-lakinya kami paksa untuk menyuapi. Sesuap-dua suap kemudian ludes. Makanan habis oleh teman laki-laki si korban yang kelaparan. Ini beberapa contoh pendaki tolol lagi.
Jika mematuhi peraturan dan membekali diri dengan peralatan dan logistik standar pendakian saya rasa tidak bakalan ada kecelakaan di gunung. Melempar tanggungjawab ke takdir juga kurang benar, ini harus dirubah. Menyalahkan lambannya Tim SAR juga kurang bijak saya rasa. Para pendaki sebaiknya membekali dirinya dengan ilmu dasar-dasar mendaki gunung, juga mempersiapkan peralatan dan ilmu P3K.
Ketika menemukan pendaki tolol semacam ini, setelah evakuasi selesai biasanya saya akan menelpon keluarganya dan memberitahukan ketololannya, meminta mereka untuk membawa pulang dan menghukumnya. Lebih bagus lagi untuk melarang anaknya untuk mendaki gunung. Kepada rombongan pelajar yang demikian ini, biasanya saya kemudian menelpon Kepala Sekolahnya, juga memberitahukan ketololann anak didiknya. Jika sistemnya bisa diterapkan, buat para pendaki tolol demikian ini, juga para PA perusak alam, sebaiknya diberlakukan sistem black list untuk tidak diperkenankan naik gunung ketika mengurus SIMAKSI. Sebab selain membahayakan nyawanya sendiri, pendaki yang demikian ini juga merepotkan dan membahayakan teman pendaki lainnya, merepotkan petugas, juga membuat kelimpungan keluarganya.
Relawan seperti kami ini “Misi Berhasil Tidak Dipuji, Misi Gagal Dicaci Maki” smbr info, klik here