Gunung Katu di Desa Sumbersuko, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang |
DALAM sejarah Singhasari dan Majapahit, raja yang mangkat biasanya didarmakan dalam bentuk arca dewa. Mereka akan terus dikenang dengan dibuatkan sebuah candi pemujaan. Berdasarkan Nagarakretagama, jumlah candi yang difungsikan sebagai pendarmaan arwah raja mencapai 27 pada tahun 1365. Dari jumlah itu tidak semua masih berdiri utuh. Di antaranya candi di Kagenengan yang disebut sebagai pendarmaan Rangga Rajasa, gelar Ken Arok.
Pada pupuh 40 naskah Nagarakretagama tertulis, seorang pendeta Budha di Bureng diminta berkisah oleh penulis naskah. Sang penulis, Mpu Prapanca, ketika itu bersama rombongan Hayam Wuruk hanya singgah dalam perjalanan menuju Singhasari. Pendeta Budha itu menceritakan bahwa pada tahun 1104 saka terdapat seorang raja Perwira Yuda Putera Girinata. Dia lahir tanpa ibu dan dihormati seluruh orang. Raja itu bernama Rangga Rajasa. Bagian itu juga menceritakan bagaimana Rangga Rajasa akhirnya mengalahkan Raja Kediri, Kertajaya. Dia diakui sebagai cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Jawa.
“Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka muka lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha,” kutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama.
Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengatakan, sumber yang menyebut keberadaan candi di Kagenengan tak hanya Nagarakretagama. Sekitar tahun 1999-2000, tiga lempeng Prasasti Mula-Malurung ditemukan di Desa Jamsaren, Kediri. Delapan lempeng prasasti ini lebih dulu ditemukan di Kediri pada 1975 lalu diserahkan ke Museum Nasional Jakarta.
“Tentang pendarmaan Angrok, info awal Kagenengan dari Nagarakretagama. Dikira hanya di situ, sumber lain tidak ada. Ternyata, yang justru menarik disebut juga dalam Mula-Malurung, yang kami temukan juga menyebutkan Kagenengan,” ungkap Dwi kepada Historia.
Setelah bukti diperkuat, menurut Dwi masih ada polemik yang belum terpecahkan, yaitu di mana Kagenengan berada. Namun, sejauh ini dia berani memastikan, lokasi Kagenengan berada di wilayah Malang Raya. Hal ini dikaitkan dengan rincian catatan perjalanan Hayam Wuruk dalam Nagarakretagama. Dalam rincian itu, kunjungan Sang Raja Majapahit ke Kagenengan masih dalam periode yang sama dengan perjalanannya menziarahi candi-candi leluhurnya yang lain.
Dwi menyoroti, rombongan Hayam Wuruk saat itu mengkhususkan hari untuk berkunjung ke Kagenengan. Dia tidak mengunjunginya langsung, tetapi setelah mendatangi Candi Kidal dan Candi Jajago. Dalam Negarakretagama, khususnya pupuh 37, menyebut kunjungan ke kedua candi itu dilakukan dalam satu hari. Pagi hari ke Candi Kidal, dan sore hari ke Candi Jajago.
“Kalau Kidal dan Jajago realitas geografisnya ada di Kecamatan Tumpang, Malang Timur. Artinya, pasti Kagenengan tidak ada di Malang Timur, berarti ada jalur berbeda,” jelas Dwi.
Dwi mencoret kemungkinan Kagenengan berada di Malang Timur, juga tidak mungkin di Malang bagian utara. “Karena Hayam Wuruk malah menginap di Puri Singhasari yang ada di kawasan utara Malang baru melanjutkan perjalanan,” lanjut Dwi.
Artinya, Kagenengan akan masuk akal jika dicari di wilayah Malang bagian selatan, di mana terdapat beberapa tempat yang memiliki kemiripan nama dengan Kagenengan. Menurut Dwi, berdasarkan teori yang dinyatakan arkeolog Inggris Nigel Bullough, Kagenengan merujuk pada Dusun Genengan, Desa Parangargi, Kecamatan Wagir. Selain itu, ada juga Desa Genengan di Kecamatan Pakisaji; dan Dusun Genengan di Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso.
Dwi telah memeriksa lokasi itu satu persatu. Di Desa Genengan, Pakisaji misalnya, terdapat yoni tanpa lingga di salah satu punden desa. Pada punden lainnya di desa yang sama, terdapat arca Durga. “Tapi kalau melihat ukuran yoni dan Durga terbayang candinya tidak begitu besar. Sejauh ini di lokasi temuan tidak didapati temuan lain yang signifikan, seperti temuan runtuhan yang menggunung,” jelasnya.
Kemungkinan candi di Kagenengan ada di Pakisaji jadi diragukan. Pasalnya, berdasarkan Nagarakretagama, candi di Kagenengan dideskripsikan sebagai candi megah dan indah. Pintu masuk candi lebar dan tinggi. Di dalamnya, terdapat halaman dengan rumah berderet di tepinya. Di tengahnya terdapat bangunan serupa menara yang tinggi dan indah seperti Gunung Meru. Ken Arok yang dipuja sebagai Siwa membuat candi itu memiliki arca Siwa di dalamnya.
Adapun Dusun Genengan di Wagir, menurut Dwi, terdapat runtuhan bangunan yang terbuat dari bata. Dusun ini terletak di lereng Gunung Katu. Namun, lagi-lagi menurutnya benda arkeologis yang ditemukan di sana tidak signifikan. Bahkan arca yang menunjukkan sekte Siwa pun tidak ditemukan. “Begitu juga temuan arkelogis di Karangploso, Desa Girimoyo, Dusun Genengan,” lanjut dia.