Saturday, December 27, 2014

Mengunjungi Kompleks Reintroduksi Orang Utan Nyaru Menteng, Palangkaraya

Lokasi : Kompleks Reintroduksi Orang Utan Nyaru Menteng, Palangkaraya
Tak sembarang orang boleh masuk kawasan reintroduksi Borneo Orang Utan Survival Foundation (BOSF) Nyaru Menteng, Palangkaraya. Tamu mesti melalui serangkaian tes kesehatan yang ketat. Semua itu dilakukan untuk melindungi orang utan dari penyakit dan kepunahan.

Perjalanan saya menuju kawasan reintroduksi orang utan di Nyaru Menteng sebenarnya cukup jauh, sekitar 30 km dari Bandara Tjilik Riwut. Tapi, lantaran jalannya mulus dan relatif sepi, jarak itu bisa ditempuh hanya dalam waktu 30–45 menit dengan mobil.

Secara administratif, lokasi BOSF berada di Desa Tumbang Tahai, Bukit Batu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dari arah kota, lokasinya ada di sisi kanan Jalan Trans-Kalimantan, Tjilik Riwut.

Lokasi : Kompleks Reintroduksi Orang Utan Nyaru Menteng, Palangkaraya
Sebelum memasuki gapura yang menjadi pintu masuk kawasan reintroduksi, saya disuguhi pemandangan rumah-rumah kayu khas masyarakat Dayak. Setelah itu, baru masuk hutan menuju lokasi. Sejak 1999 kawasan hutan konservasi tersebut dimanfaatkan sebagai tempat reintroduksi orang utan oleh BOSF. Lembaga itu selama ini telah menyelamatkan ribuan orang utan yang terusir dari habitatnya.

Meskipun saya mendatangi kompleks reintroduksi untuk tujuan liputan, tak mudah untuk mendapatkan izin. Pihak BOSF akan meminta pengunjung untuk menjalani sejumlah tes kesehatan lebih dulu jauh hari sebelumnya. Tes kesehatan itu dilakukan untuk memastikan pengunjung bebas dari dari hepatitis, TBC, dan virus HIV/AIDS.

Jenis tes kesehatan untuk tiga penyakit tersebut beragam. Misalnya, untuk tes TBC. Pengunjung yang datang dari negara tidak endemik TBC harus menyerahkan catatan vaksinasi BCG dan X-ray dada. Sementara itu, untuk negara yang endemik TBC, tes yang harus dilalui mulai tes kulit Mantoux, Quantiferon, dan hasil X-ray dada.

Lokasi : Kompleks Reintroduksi Orang Utan Nyaru Menteng, Palangkaraya
Hasil pemeriksaan kesehatan tersebut harus diserahkan lebih dulu ke pihak BOSF di Nyaru Menteng. Jika pihak medis menyatakan kesehatan calon pengunjung memenuhi syarat, izin akan dikeluarkan. Persyaratan itu diajukan untuk melindungi orang utan dan pengunjung agar tak saling menularkan penyakit. Pasalnya, 97 DNA orang utan dan manusia serupa.

Koordinator Komunikasi dan Edukasi BOSF Nyaru Menteng Monterado Fridman menjelaskan, pihaknya harus tegas menerapkan aturan tersebut. Bahkan, pernah ada petugas BOSF yang diberhentikan karena membiarkan orang luar mendekati orang utan tanpa izin dan tanpa tes kesehatan lebih dahulu.

Karena itu, sejak pintu masuk, pengunjung diingatkan lewat papan pengumuman agar tidak memasuki kawasan steril penyakit itu tanpa izin. Apalagi, memotret orang utan dari jarak dekat.

’’Kami menemukan foto-foto (foto pengunjung ilegal memotret orang utan di kawasan reintroduksi, Red) ini di akun Facebook seseorang. Orang tersebut sudah kami tegur dengan keras. Kami juga memberikan sanksi kepada petugas kami yang lalai sehingga sampai kecolongan pengunjung tak berizin bisa masuk,’’ kata Monterado saat ditemui di kantornya pertengahan Desember lalu.

Menurut dia, ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi calon pengunjung itu perlu dilakukan karena BOSF tidak ingin nanti ada orang utan yang tertular penyakit yang dibawa pengunjung yang tidak sehat. Akibatnya, hal tersebut menghambat upaya BOSF dalam melakukan rehabilitasi dan reintroduksi orang utan.

Lokasi : Kompleks Reintroduksi Orang Utan Nyaru Menteng, Palangkaraya
Program rehabilitasi dan reintroduksi dilakukan dengan sejumlah kegiatan seperti ketika orang utan hidup di hutan. Orang utan akan diajari hidup mandiri, bersosialisasi dengan lingkungan di hutan, mencari pakan alami, serta membuat rumah sendiri. Mereka juga diajari agar tidak bergantung pada manusia dan menganggap manusia bukan teman hidup mereka.

’’Karena itu, kami membatasi kontak orang utan dengan manusia,’’ ujarnya.

Saya mendapat izin masuk kompleks rehabilitasi dan reintroduksi BOSF setelah hasil pemeriksaan laboratorium saya dinyatakan negatif untuk penyakit-penyakit yang ditentukan. Bahkan, saya diizinkan tidur di mes para teknisi (pegawai laki-laki yang bertugas sebagai perawat orang utan dewasa) yang berada di pinggiran hutan.

Monterado yang akrab dipanggil Agung juga mengajak saya mengunjungi sekolah hutan. Yaitu, salah satu program BOSF untuk mengajarkan insting liar kepada orang utan. Insting liar perlu diajarkan karena mayoritas orang utan yang dirawat BOSF hasil sitaan dari warga.

’’Kebanyakan orang utan yang ada di sini sebelumnya dipelihara penduduk sehingga insting liarnya sudah hilang. Yang lain datang sejak bayi sehingga perlu diasah insting liarnya,’’ jelas Agung.

Sekolah hutan di BOSF dibagi dalam kelas-kelas seperti halnya sekolah umum. Ada TK, SD, SMP, dan SMA. Di sekolah itu diajarkan banyak hal tentang alam liar, mulai memanjat, mencari makanan, mengenali racun dan lawan, hingga membuat sarang.

Ruang kelasnya di hutan sekitar kantor BOSF. Untuk bisa melihat aktivitas orang utan bersekolah, pengunjung harus berjalan cukup jauh masuk ke dalam hutan. Tak ada alat transportasi yang bisa menjangkau lokasi itu.

Tapi, jangan dibayangkan sekolah di BOSF seperti halnya sekolah yang dijalani manusia. Sekolah bagi para orang utan sejatinya adalah mengembalikan mereka ke habitat aslinya, yakni hutan belantara. Jadi, jangan kaget bila ada orang utan yang kabur dari ”ruang kelas”.

Misalnya, saat saya dan Agung menyeruput kopi di kantin BOSF, tiba-tiba datang seekor orang utan yang ingin ikut minum kopi. Kalau sudah begitu, babysitter dan petugas teknis harus bekerja keras menggiring orang utan kembali ke ’’kelas’’ atau memasukan ke kandang sebagai hukuman.

Agung juga mengajak saya ke sekolah untuk bayi orang utan yang usianya di bawah 1 tahun. Sekolah itu mirip playgroup. Di sekolah tersebut tidak ada pohon-pohon tinggi menjulang. Pohon-pohon yang ada setinggi tak lebih dari 2 meter. Itu digunakan bayi orang utan untuk berlatih memanjat pohon.

Letak sekolah terpisah dari kawasan utama reintroduksi BOSF. Hal tersebut dilakukan agar bayi orang utan tak terganggu kelompok orang utan yang dewasa. ’’Lahan ini sengaja kami buat seperti ini agar bayi orang utan bisa belajar tentang alam liar,’’ imbuh Paulina L. Ela, spesialis komunikasi BOSF.

Hari itu saya juga diajak ke dua pulau tempat prapelepasliaran orang utan, yakni Pulau Kaja dan Begamat. Di dua pulau tersebut tinggal orang utan dengan usia di atas tujuh tahun. Mereka ditempatkan di pulau itu sebagai uji coba apakah bisa survive di alam liar atau tidak. Yang ’’lulus’’ dari pulau berarti siap dilepasliarkan ke hutan belantara.

’’Yang berada di sini sudah benar-benar mandiri dan kami anggap telah mampu menyerap seluruh ilmu yang diajarkan di sekolah hutan,’’ ujar Paulina.

Masyarakat umum bisa menikmati pemandangan feeding time itu. Yakni, dengan mengikuti paket wisata susur sungai yang diadakan masyarakat setempat. Hanya, tidak setiap hari wisatawan diizinkan melihat feeding time. Menurut Agung, perahu yang membawa pengunjung hanya diizinkan berhenti 15 menit pada Senin, Kamis, Sabtu, dan Minggu.

’’Hari lainnya tidak boleh. Melihatnya juga harus dari atas perahu, tidak boleh turun ke pulau,’’ ujar Agung.

BOSF membuat sejumlah pos terapung untuk mengamankan dua pulau itu. Saya beruntung bisa menikmati feeding time orang utan di dua pulau tersebut dalam waktu yang cukup lama. Apalagi, saat itu air sedang tinggi sehingga perahu motor yang membawa rombongan saya bisa leluasa menjelajah sungai.

Meski begitu, BOSF tak merekomendasikan kawasannya menjadi tempat wisata. Namun, mereka membuka diri bagi masyarakat yang ingin berwisata edukasi untuk mengenal orang utan. BOSF memfasilitasi melalui gedung informasi di kompleks kantor BOSF.

Di gedung itu pengunjung bisa melihat orang utan dari balik kaca. Orang utan yang dipertontonkan adalah yang siap dilepasliarkan ke sejumlah hutan di Kalimantan Tengah. Selain itu, pengunjung akan diputarkan video konservasi dan reintroduksi orang utan.

’’Kalau akhir pekan pengunjung selalu ramai, parkir saja sulit,’’ terang Agung. 
(Gunawan Susanto, Palangkaraya)