Bagi Kamu yang Masih Kepo Soal Asap dan Transparansi |
Saya selalu merasa senang jika bisa berkomunikasi langsung dengan orang lain. Dengan demikian saya tahu topik apa yang sedang hangat dibicarakan, apa yang mereka pikirkan dan bahkan saya bisa merasakan bagaimana perasaan dan perhatian mereka pada saat jutaan orang terpapar asap di Kalimantan dan Sumatera selama dua bulan terakhir ini.
Perasaan itu juga saya rasakan kemarin sore pada saat Greenpeace menyelenggarakan Sesi Kepo di laman Facebook Greenpeace Indonesia. Topik yang dibahas adalah bagaimana hubungan bencana asap dengan pembukaan hutan dan gambut --kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi rutinitas sejak puluhan tahun dan terparah sejak dua bulan lalu yang hingga sekarang belum padam-- dengan kampanye Kepo hutan yang diluncurkan oleh Greenpeace 28 September lalu.
Halo Kawan, Ini saatnya bagi kamu yang #kepohutan dan ingin tahu lebih banyak tentang kebakaran hutan dan mengapa...
Sesi Kepo atau istilah umumnya adalah tanya-jawab adalah waktu di mana para netizen dapat mengajukan pertanyaan terkait satu topik tertentu dan dijawab secara langsung oleh seorang jurukampanye Greenpeace. Target yang diharapkan dalam sesi itu adalah terbangunnya komunikasi dua arah dan terbangunnya pemahaman yang lebih dalam tentang kampanye #KepoItuBaik.
Dalam Sesi Kepo kemarin, saya melihat banyak pertanyaan yang menarik untuk dibahas dalam blog ini. Satu di antara pertanyaan itu mengapa begitu tinggi ekspansi perkebunan sehingga hutan-hutan warisan untuk generasi mendatang hancur dan berubah menjadi perkebunan monokultur? Padahal ada hutan-hutan lindung, taman nasional yang perlindungannya terjamin undang-undang, tapi ternyata tetap terbakar dan rusak.
Menurut saya, sebagian besar hutan Indonesia itu masih berstatus tanah negara. Kebun kelapa sawit maupun kebun akasia di sejumlah daerah juga berada di tanah negara, hanya saja perusahaan tersebut "mendapat" ijin dari pemerintah sebagai pengelola dan selanjutnya mengkonversi kawasan tersebut menjadi kebun kelapa sawit atau kebun kayu akasia.
Soal ijin ini juga menjadi pertanyaan, banyak ijin yang keluar menjelang Pilkada atau menjelang Pemilu bahkan Pilpres. Sangat kuat hubungan antara ekspansi perkebunan, deforestasi hutan-hutan lindung dengan “kongkalikong” untuk kepentingan politik. Bahkan dalam laporan terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa kerugian negara dari buruknya pengelolaan sumberdaya alam di sektor kehutanan mencapai 900 Triliun rupiah. Nilai ini setara dengan 98 kali lebih besar daripada biaya pembangunan desa dalam APBN 2015. Karena itulah mengapa kita wajib #Kepo. Kita perlu kepo atas data-data kehutanan dan perlu mendesak agar data tersebut dibuka kepada publik. Jika data-data tersebut transparan, maka kita bisa mengawasi pengelolaan hutan dan potensi korupsi bisa jadi semakin kecil karena data dibuat terbuka.
Ada juga yang bertanya apakah lahan gambut yang sudah kering oleh aktivitas ekspansi perkebunan bisa direstorasi atau dikembalikan lagi airnya dapat pulih seperti semula. Menurut saya, tentu saja ini bisa tapi butuh waktu lama. Namun kalau kondisi air gambut itu sudah kembali normal, maka pohon-pohon sawit tidak akan bisa tumbuh mengingat pembangunan kanal itu sendiri adalah untuk mengeringkan air gambut sehingga bisa ditanami sawit atau akasia.
Jadi apa dong yang seharusnya penting dilakukan pemerintah? Hal yang paling efektif adalah menghentikan pembukaan hutan dan gambut yang tersisa di Indonesia, mengevaluasi dan menata ulang ijin-ijin perkebunan yang telah ada, merestorasi kawasan-kawasan penting yang telah rusak. Ini adalah tuntuntan Greenpeace sejak pertama kali berkampanye di Indonesia hingga saat ini.
Ketika Greenpeace pertama kali berkampanye hutan di Indonesia tahun 2006, kami menyerukan penyelamatan hutan Papua, namun hari ini hutan Papua bagian Selatan telah ikut terbakar karena pembukaan hutan yang “direstui” pemerintah. Perjuangan penyelamatan hutan alam dan pengeringan gambut ini dikampanyekan Greenpeacesejak 2007 di Kuala Cinaku, Indragiri Hulu, Riau. Saat itu aktivis dan relawan Greenpeace menyekat kanal-kanal yang dibangun perusahaan sawit di atas lahan gambut. Sekat kanal juga kami dilakukan tahun 2009 di Semenanjung Kampar di mana saat itu perusahaan akasia terbesar di Indonesia tengah menghancurkan hamparan gambut dengan pembangunan kanal-kanal mereka yang bertujuan mengeringkan kawasan gambut tersebut. Dan di akhir tahun 2014, Greenpeace kembali menyekat kanal dan kali ini bersama masyarakat Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Riau. Inilah konsistensi kampanye perlindungan hutan dan gambut yang dilakukan Greenpeace, namun sayangnya hingga kini belum didengar sepenuhnya oleh pemerintah.
Pertanyaan yang juga muncul adalah, bagaimana dengan publik yang ingin membantu menjaga hutan namun rumahnya jauh dari hutan. Ini mungkin pertanyaan yang bisa mewakili masyarakat di perkotaan seperti Jakarta, Bandung atau Surabaya.
Banyak hal yang bisa dilakukan, Kawan. Di antaranya kamu semua bisa terlibat dalam kampanye-kampanye perlindungan hutan di sosial media, seperti mendukung kampanye #KepoItuBaik ini. Kamu bisa memberikan dukungan dengan share material-material kampanye secara online dan mengisi petisi di www.kepoitubaik.com. Kampanye #KepoItuBaik bertujuan untuk mendesak pemerintah membuka akses data-data kehutanan kepada publik. Mengapa data-data kehutanan? Hingga saat ini data kehutanan masih tertutup dan jauh dari akses publik. Sehingga kita tidak tahu seberapa luas hutan yang sudah diberikan ijin kepada perusahaan dan bagaimana kinerja dan tanggung-jawab mereka.
Jika data-data tersebut dibuka untuk publik, maka masyarakat bisa ikut terlibat dan memantau pengelolaan hutan. Keterbukaan ini juga membuat proses pengeluaran izin yang selama ini gelap menjadi terang benderang sehingga memperkecil potensi tindak pidana korupsi. Jadi ayo kita #kepohutan karena kepo itu baik. Klik lebih lanjut kepoitubaik.com