Kapal ferry yang saya tumpangi mulai
berbelok, pelan saja, beberapa derajat ke arah kanan. Padahal dari jauh
lamat lamat pelabuhan Labuan Bajo sudah terlihat; dan posisinya berada
di sebelah kiri arah kapal ini. Dalam pikiran normal saya berontak,
sambil bertanya ada apa perlunya nakhoda kapal melakukan manuver
tersebut. Bukannya kenapa, tapi saya sudah tidak tahan lagi berada di
atas geladak. Berulang kali perut saya bercicit kelaparan, meminta untuk
diisi. Sementara lembaran rupiah di dompet tak cukup lagi untuk membeli
makanan di kantin. Saya lupa menarik uang dari mesin ATM. Bodohnya.
“Biasanya menunggu kapal ferry yang dari pelabuhan berangkat dulu. Kita yang nunggu kapalnya lewat,”
ujar Pak Santoso menjawab pertanyaan saya. Pak Santoso adalah teman
ngobrol saya selama beberapa jam terakhir. Pria asal Surabaya ini sudah
beberapa kali melakukan perjalanan melintasi Selat Flores sehingga sudah
hafal benar dengan kejadian sore ini.
Dan
benar saja, selang beberapa menit kemudian sebuah kapal ferry yang lain
tampak melaju meninggalkan pelabuhan, kapal kami pun kembali ke jalur
awalnya. Setelah hampir lima hari meninggalkan rumah dan memulai
perjalanan, akhirnya Pulau Flores akan segera saya lintasi juga.
Dengan
makin gencarnya usaha promosi mengenai Pulau Komodo, mau tidak mau ikut
pula menaikkan pamor Labuan Bajo. Kota kecil di ujung barat Pulau
Flores ini menjadi titik persinggahan untuk para wisatawan yang ingin
menikmati eksotisnya Pulau Komodo.Dari namanya, kota ini mengingatkan
saya pada suku pengembara lautan asal Sulawesi, suku Badjo. Kebiasaan
suku Badjo yang gemar menjelajahi setiap jengkal kepulauan di Nusantara
akhirnya membawa mereka singgah di sini, hingga seiring waktu berjalan,
akhirnya membentuk sebuah kota seperti yang kita kenal sekarang ini.
Selain di Flores ini, ada beberapa tempat lagi di kepulauan nusantara
yang bernamakan Labuan Bajo.
Kapal
merapat menjelang sore yang masih belia. Kesibukan seketika pecah di
pintu dermaga. Bongkar muatan dan rentetan kendaraan yang tampak
berbaris menuju jalan raya. Puluhan truk fuso dengan bak belakang yang
tertutup terpal tebal terlihat berparkir di area pelabuhan, entah
menunggu apa. Sejenak mengamati, saya pun kemudian ikut bergabung dengan
kerumunan di bawah, menuju pintu keluar kapal.
Belum
jauh kaki menjejak langkah, saya, juga para penumpang kapal yang lain
langsung disambut oleh banyak kernet bus yang menawarkan kendarannya.
Ende, Bajawa dan Maumere adalah diantara beberapa kota tujuannya. Sedang
malam ini saya berencana bermalam di Labuan Bajo, maka tersialah usaha
para kernet itu.
Labuan
Bajo terletak di tempat yang sungguh menarik. Di pinggir laut yang
tenang, beberapa pulau kecil berserak sepanjang mata memanjang. Bangunan
pada kotanya menaik mengikuti kontur daerahnya yang berbukit. Jalan
raya dibuat melingkar menyambung daerah atas dengan keramaian bawah.
Pemandangan
lain yang sangat khas dari Labuan Bajo adalah banyaknya kapal kapal
yang berlabuh di sekitar perairan Labuan Bajo. Berbagai jenis kapal,
dari kapal nelayan hingga kapal layar pinisi bersandar atau membuang
sauh di sekitar pelabuhan.
Di sepanjang jalan dekat pelabuhan, berjejer tour agent dan dive centre dengan beragam paket penawaran yang terpampang di etalase depannya, dari sekedar one day trip hingga live on a board.
Para wisatawan mancanegara turut pula hilir mudik. Kota ini seperti
sedang menggeliat dan meraguk keuntungan atas hype pariwisatanya yang
sedang naik daun. Menurut Dinas Pariwisata Manggarai Barat, jumlah
wisatawan manca ini naik tajam selama kurun tiga tahun terakhir.
Labuan
Bajo menjadi gerbang masuk menuju Taman Nasional Komodo. TNK ini
meliputi sekitar 264 pulau, dua di antaranya, Komodo dan Rinca,
merupakan habitat utama dari komodo. Namun bukan itu saja daya tarik
dari TNK. Kehidupan bawah airnya pun tak kalah indah, terumbu karangnya
masih sangat alami.
Begitu perut
terganjal oleh beberapa potong gorengan, saya pun beranjak untuk mencari
penginapan. Berdasarkan informasi dari kawan saya, Oca, saya disarankan
untuk mencari “Losmen 21“, selain karena harganya yang murah, kondisinya pun cukup nyaman.
Cukup
sulit juga ternyata mencari penginapan ini, hampir dua kali saya
berputar mencarinya di sekitar jalan raya dekat pelabuhan. Ternyata
losmen ini memang tidak memasang papan pengumuman selayaknya tempat
penginapan yang lain. Pintu masuknya pun tersembunyi, di dekat warung
makan padang, 200 meter arah kanan dari pintu keluar pelabuhan.
Beruntung,
masih ada satu kamar tersisa yang bisa saya tempati. Sekadar tempat
beristirahat malam, losmen ini cukup nyaman, bersih pula. Menurut ibu
empunya penginapan, Losmen 21 ini sering menjadi tempat persinggahan
bagi warga dari pulau sekitar Labuan Bajo bilamana akan bepergian ke
kota kota lain di Flores. Maka tak ayal jika kebanyakan tetangga kamar
saya malam itu adalah warga setempat. Ada yang sedang menunggu
kedatangan kapal Pelni tujuan Makassar, ada yang sedang menunggu bus ke
Maumere, ada pula yang singgah sejenak sebelum kembali ke rumahnya di
pulau esok hari.
Menjelang
petang hari, dengan menumpang taksi, saya menuju bagian atas Labuan
Bajo. Eitss, jangan salah sangka dulu, taksi di sini bukanlah mobil
sedan selayaknya taksi lain di Indonesia, melainkan mobil angkot, dan
begitulah masyarakat setempat menyebutnya. Saya memang menyengajakan
diri ingin menikmati matahari terbenam yang kabarnya akan terlihat indah
dari sana. Sayang, saya tak begitu beruntung, riuhan awan menutupi
momen magis terbenamnya matahari.
***
Saya sedang menikmati semangkuk bakso ketika seorang ibu menyapa saya dengan ramah, “Lagi liburan to mas?”
Nama ibu itu adalah Suparmi. Dari namanya sudah terkesan njawani
sekali, asalnya dari Solo. Katanya wajah saya jawa banget, makanya
beliau memberanikan untuk menyapa duluan. Bu Parmi sudah sekitar 3 tahun
ini tinggal di dekat Labuan Bajo. Sehari harinya dia memproduksi roti
sekaligus menjualnya juga. Omzetnya lumayan katanya.
“Susah kalau saya tetap di Jawa. Nyari kerja sulit, kalau ada duitnya juga ga banyak, ga nutup buat sekolah anak anak”, begitu jawabannya ketika saya bertanya mengapa merantau hingga ke Flores ini.
“Saya
sama suami boyongan semua, sekarang ngontrak rumah dulu. Orang sini
baik baik semua mas, ora tau etungan. Kalau dagang sama mereka penak
lah.” Ujarnya sambil tersenyum.
Saya tertegun cukup lama sepeninggal Bu Parmi yang telah pulang duluan. Memikirkan pembicaraan kami barusan.
Ahh
benar, kadang kita memang harus berani mengambil langkah drastis untuk
merubah keadaan hidup. Keluar dari zona nyaman kita sehari hari. Seperti
berhijrah ke tempat yang baru misalnya.
***
Kehidupan
malam di Labuan Bajo tidak berlangsung lama, sekitar pukul sepuluh
malam sudah tidak tampak lagi keramaian. Hanya ada satu dua ojek taksi
yang hilir mudik. Mobil pun sudah jarang melintas. Seiring kelopak mata
yang semakin berat rasanya, saya pun kembali ke kamar, esok pagi sekali,
harus segera bergegas untuk berpindah kota. Maka sesampainya di
pembaringan, saya pun segera terlelap ke alam mimpi.
Tulisan dan Foto oleh Anggafirdy.
plh Silajara Indonesia, salam kenal dari kami