Friday, July 19, 2013

Menelusuri Jejak Kejayaan Pariwisata di Batam

Akidi, 37, mengelap lampu antik di Balai Sari yang berornamen Madura-Melayu.


Eka Hartati, Kadek Artini, Komang, Suliastri, Sodiq, Demprong, dan Sunardi selalu menjadi pusat perhatian wisatawan asing yang berkunjung ke Batam di tahun 1994 hingga pengujung 1997. Mereka adalah seniman tari di bawah naungan Yayasan Garminah, sebuah yayasan seni tari nusantara pimpinan Karmawijaya yang bermarkas di Desa Seni, Sekupang.
Panggung Gedung Gapuro di Jalan Kuda Laut No. 2. Batuampar, Batam menjadi saksi kejayaan pariwisata Batam tempo dulu. Wisatawan dari Korea, Singapura, dan bule silih berganti berdatangan setiap hari untuk menikmati sajian tari nusantara yang disuguhkan oleh seniman tari Yayayasan Garminah itu. Dari tari pendet, legong (Bali), Gatot Kaca, Srimpi, Gambyong, Ketoprak, Ludruk, Punjari (Jawa), Ronggeng Belantik (Jakarta), hingga tari rantak (Sumatera Barat), dan seni tari daerah nusantara lainnya menjadi daya tarik yang memikat wisatawan asing yang datang.
”Paling sedikit tiga bis berisi rombongan turis setiap harinya,” Eka Hartati mengingat masa lalunya itu ketika ditemui di kediamannya di Desa Seni, Jalan Dr Soetomo no 2, Sekupang awal pekan lalu. Pertunjukan seni tari nusantara ini digelar setiap hari kecuali Kamis. Dua jam setiap hari, mulai pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Kerja sama antara Yayasan Garminah dan agen perjalanan Tour & Travel Hanita Batam ini mampu membuat Batam menjadi lebih menarik dan eksotis dengan menampilkan keragaman budaya nusantara yang kental. Suatu hari, Eka Cs pernah kewalahan manari, karena wisatawan yang datang tidak seperti biasanya.
Jika biasanya hanya tiga bis yang datang, hari itu sembilan bis yang datang bergantian.”Kami sudah mau ganti baju, eh..ada lagi yang datang, ya dandan lagi..,” cerita Eka, 43, mengenang, lalu tersenyum. Malam tahun baru adalah malam istimewa, di mana pementasan ketoprak atau ludruk semalam suntuk. ”Nuansa nusantaranya benar-benar kental, turisnya senang,” ucap perempuan lulusan ISI Denpasar 1992 ini.
Eka dan kawan-kawan tidak hanya manggung di Gedung Gapuro saja, malam Sabtu dan malam Minggu mereka juga menari di Turi Beach Resort, Nongsa. Seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan waktu itu. Yayasan Garminah yang semula berpindah-pindah markas, dari Sijori Resort, Shangrila, dan Kampung Seraya, akhirnya Karmawijaya mendapat lahan setengah hektar di Sekupang tahun 1994.
Di lahan itu dibangunlah Desa Seni sebagai markas yayasan seni tarinya. Bangunan yang dibangun adalah Balai Sari, bangunan berornamen Madura dan Melayu sebagai tempat tinggal dan sekretariat, Panggung di tengah-tengah sebagai tempat menggelar bermacam-macam acara, Pasar Seni, mess tempat tinggal karyawan, dan dua tempat ibadah, yakni musallah dan pure. Mulai desain dan yang mengerjakan semua bangunan Desa Seni ini adalah karyawan, kami bergotong royong,” kata Eka. ***
Tiga tahun pertama, aktivitas kesenian di Desa Seni berjalan dinamis. Pagi hingga sore seniman musik, di antaranya Nyoman Suanca, Wayan Sangla, Pujianto, Mbah Boong, dan Sunardi latihan bersama dengan penari jika sedang tidak ada acara manggung.
Dua puluhan seniman yang bernaung dalam Yayasan Garminah ini rata-rata memang jebolan sekolah seni. Ada yang jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), ISI Denpasar, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surabaya, SMKI Denpasar, dan SMKI Jogjakarta. ”Kami semua memang pelaku seni yang terlatih, bukan seniman instan,” tukas Eka.
Malam hari menjadi waktu berharga untuk istirahat bagi mereka setelah disibukkan dengan agenda yang padat,” Kadang latihan malam juga, biasanya kalau akan menghadapi acara-acara khusus,” ucapnya. Walaupun seniman Yayasan Garminah adalah seniman profesional, mereka juga masih menyediakan waktu berbagi kebahagiaan dengan warga sekitar Desa Seni dengan menampilkan pagelaran seni gratis untuk warga.
Selain itu, mereka juga melayani warga lokal yang ingin belajar tari.”Kebanyakan minat belajar tari, yang minat musik jarang,” kata ibu tiga anak ini. Waktu itu, Pasar Seni di Desa Seni setiap hari digelar pameran, seperti pameran lukisan, batik, ukiran kayu dan ukiran batu.***

Potensi yang Tenggelam

Himawan, 35, dan istrinya sedang sibuk membersihkan puluhan kandang jangkrik yang ditempatkan di antara papan-papan kayu yang berserakan di bekas panggung Desa Seni, Sabtu (28/8) sore lalu. Sudah beberapa bulan, pemuda asal Malang, Jawa Timur ini beternak jangkrik.
Sementara itu , tak jauh dari bekas panggung, sekitar dua puluh meteran sebelah kanan panggung, Akidi, 37, karyawan Eka Hartati sedang membersihkan gamelan dan gong yang kusam karena dilapisi debu tebal. ”Sebenarnya alat-alat di sini masih bagus tapi ya begitu..jarang dipake,” ujar Akidi tersenyum.
Akidi dengan teliti membersihkan gamelan itu satu persatu. Berjejer denga rapi gamelan Jawa, gamelan Bali, gamelan Banyuwangi, Kalempong Sumatera Barat, dan alat musik Melayu. ”Kadang ada juga yang nyewa, biasanya group reog dan kelompok kuda lumping,”ucap Akidi.
Bangunan yang ada di Desa Seni ini sudah banyak yang beralih fungsi, Pasar seni sekarang digunakan untuk gudang scrub, panggung yang dulu megah dan selalu terdengar suara gamelan sekarang sudah hancur dan dijadikan tempat ternak jangkrik. Sedangkan Balai Sari meskipun masih dipakai sebagai tempat tinggal keluarga Eka Hartati, sebagiannya dipakai untuk sekretariat Banser dan IPSI Kota Batam.
Pura tempat sembahyang ummat Hindu Batam pun kini sudah hancur dan dipindahkan ke Pura Mandala Utama Putra Agung Amerta Buana, Seiladi. (esont)
Galeri Foto :
Penari Yayasan Garminah.

Penari Yayasan Garminah di Singapura.

Seniman Yayasan Garminah di acara Sea Games,  Singapura.

De
sa Seni kini..

Gamelan yang tersisa di Desa Seni.

Bekas candi di Desa Seni. (By esont)***
By: http://esont.wordpress.com/
To plh Indonesia, 
Kalau ada waktu luang, boleh kita berkenalan
kalau ada niat liburan, datanglah ke Pulau Batam
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Menelusuri Jejak Kejayaan Pariwisata di Batam Rating: 5 Reviewed By: Awaluddin Ahmad