Monday, September 2, 2013

Hutan Alam Punah, Kemenyan Rakyat Musnah

Hutan yang dibelah PT TPL untuk membuat akses jalan. Di areal ini juga lokasi peristiwa penangkapan warga. Foto: Made Ali

Ujung Danau Toba dan barisan gunung-gunung berselimut kabut berjajar menawan dari ketinggian dari atas menara pandang lokasi wisata Panorama Indah Tele. Sekitar satu jam perjalanan dari lokasi wisata panorama indah ini, siang itu, 26 Agustus 2013, pukul 11.35, empat mobil rombongan field tripwartawan berhenti di depan portal pos security PT Toba Pulp Lestari (TPL) Sektor Tele. Seorang security satu persatu memeriksa isi mobil. Sepuluh wartawan keluar dari mobil, tetap saja rombongan dilarang masuk ke dalam areal TPL sebelum dapat izin dari atasan.  Seorang warga yang hendak dijadikan jaminan, security tetap melarang masuk.  Kami akhirnya baru diizinkan masuk ke dalam lokasi TPL, setelah salah seorang wartawan berunding  via telepon dengan salah satu humas perusahaan
Tiga mobil –salah satu mobil berisi seorang polisi menenteng senajata laras panjang— mengawal kami berkeliling areal perusahaan. Kiri kanan jalan tanah itu pohon-pohon eukaliptus menjulang tinggi. Sesekali tumpukan kayu alam terlihat di kiri kanan jalan. Sisa-sisa kayu alam bekas tebangan terlihat jelas. Tak jauh dari hamparan bekas hutan yang telah terbuka itu, sebuah plang kayu bercat hijau dari kayu  tertulis: PT Toba Pulp Lestari Tbk, sector Tele, Blok RKT 2013 (Loa), luas 1.900 ha, jumlah petak 53. Artinya sepanjang tahun 2013, TPL harus menebang 1.900 ha termasuk di dalamnya hutan alam.
Tumpukan kayu alam di areal PT TPL. Foto: Made Ali
Tumpukan kayu alam di areal PT TPL. Foto: Made Ali
“PT TPL menebang hutan alam atau rimba campuran atas izin Menteri Kehutanan,”kata Betman Ritonga, humas PT TPL. Ia mengatakan TPL juga melestarikan hutan kemenyan. Ia menunjukkan pada wartawan pohon dan karet kemenyan tersebut.
Sekitar 50 meter dari tempat Ritonga berdiri, Manohak Pandiangan menunjukkan pada saya lokasi peristiwa pada 25 Februari 2013. Lokasi itu bekas hutan kemenyan yang ditebang untuk membuat jalan oleh TPL. “Jalan ini dibuat oleh TPL untuk menebang hutan adat kemenyan Pandumaan Sipituhuta,” kata Pandiangan. Di samping jalan menurun tajam itu terlihat hutan alam. “Butuh dua sampai tiga jam perjalanan untuk sampe ke sini jalan kaki dari desa.”
Kami meninggalkan lokasi, melanjutkan perjalanan menuju Desa Pandumaan dan Sipituhuta.  Pandiangan menunjukkan pada saya lokasi yang terhampar dan tempat Ritonga berdiri adalah hutan adat kemenyan. “Areal yang gundul ini areal hutan adat pandumaan sipihutan, perkiraan saya 80 hektare hutan adat yang telah ditebang ini,” kata  Manohak Pandiangan. “Ini belum seberapa, nangis saya melihatnya.”
Pandiangan berkisah, sejak TPL menghancurkan hutan adat kemenyan pada 2009, penghasilannya turun drastis. “Sekarang 50 kg kemenyan sulit didapat dalam setahun,” kata pria asli Pandumaan pada 10 Juni 1977, “sebelum TPL beroperasi tahun 2009, saya bisa dapat 200 kg setahun.” Harga kemenyan bervariasi mulai dari Rp 80 ribu-Rp 120 ribu. “Tergantung kualitas kemenyannya.”
Truk sedang mengangkut kayu alam dari areal PT TPL. Foto Made Ali
Truk sedang mengangkut kayu alam dari areal PT TPL. Foto Made Ali
Untuk panen pohon kemenyan tidaklah mudah. Biasanya mereka bekerja menoreh getah kemenyan dari Juni hingga September. Masa panen bulan Desember hingga Januari. “Biasanya senin pagi berangkat ke hutan, Jumat atau Sabtu kembali ke rumah. Minimal lima hari tinggal dalam hutan.”
Salah satu dampak bagi Pandiangan,“Istri saja kalau saya pulang membelakangi saya sesekali, karena gak bawa hasil lagi,” katanya sambil tertawa. Pandiangan harus menghidupi tiga anaknya dari hutan kemenyan.“Seberapa dapat dari kemenyan, saya tetap bertahan bertani kemenyan sampai mati meski harus melawan TPL. Karena ini warisan nenek moyang saya.”
Sebuah mobil tronton kami lintasi sedang membawa kayu alam. Saat melewati kantor Humas TPL, mobil kami melaju, menolak ajakan makan siang Ritong. Dari TPL menuju Pandumaan Sipituhuta butuh waktu satu jam perjalanan. Desa Sipituhuta bersebelahan dengan Desa Pandumaan di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara. Dua desa ini berjuang mempertahankan hutan adat kemenyan, sumber utama pencaharian mereka.
Di Posko Perjuangan Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta, kami disambut sekira 20 warga bersama perwakilan KSPPM dan AMAN. Di halaman posko di atas sebuah tikar kami duduk melingkar, mencatat kisah perjuangan mereka mempertahankan hutan adat.
“Desa ini saja masuk dalam areal PT TPL,” kata Delima Silalahi, pendamping warga dari KSPPM. Silalahi merinci, total Pandumaan Sipituhuta 6.500 hektare terbagi atas 2.400 wilayah desa, 4.100 hutan adat kemenyan. “Sampai saat ini, sudah 500 ha hutan adat kemenyan yang ditebang TPL.”
Tumpukan kayu alam di kanan kiri jalan areal PT TPL. Foto: Made Ali
Tumpukan kayu alam di kanan kiri jalan areal PT TPL. Foto: Made Ali
Bukan hanya menebang hutan alam dan hutan adat kemenyan, warga juga jadi korban kriminal PT TLP. “Pintu rumah saya didobrak polisi. Kemenakan saya laki-laki yang cacat ditunjangi, ditampari,” Jetty Helmi Boru Hutasoit, 38 tahun mengenang peristiwa dini hari itu, 26 Februari 2013.
Pada dini hari tersebut, Polisi dilengkapi senjata laras panjang masuk ke Desa Pandumaan. Polisi meminta warga segera masuk ke dalam rumah. Hutasoit meminta suami dan kemenakan laki laki masuk ke kamar. Bersama sembilan ibu-ibu di halaman kampung menghadapi polisi. Polisi menyuruh ibu-ibu masuk rumah. “Kenapa saya masuk? Ini rumah saya. Ini kampong saya. Masuk, kata Brimob, sambil ditodongkan senjatanya ke saya,”kata Hutasoit. Karena takut, dia bersama ibu ibu lainnya masuk ke rumah.
Tiba-tiba, pintu rumahnya didobrak polisi bersenjata laras panjang.“Suami saya ditarik dari tempat tidur, saya peluk, saya tak mau lepas suami saya. Jangan bawa suami saya, saya bilang begitu sambil menangis,”mata Hutasoit berkaca-kaca. Hutasoit terjatuh dari tempat tidur, senjata polisi diacungkan ke muka Hutasoit.  “Tiga lapis baju suami saya koyak, ditarik dan dibawa ke mobi. Saya menangis.” Dini hari itu polisi kembali menangkap 15 warga. Setelah sehari ditahan, suami Hutasoit dilepas bersama 14 orang lainnya.
Korban berikutnya Haposan Sinambela, ia pendeta GPDI Pandumaan. Ia dituduh provokotar oleh polisi atas peristiwa 25 Februari 2013. “Aku tak bisa dibilang provokator. Aku anak asli pandumaan. Juga pemilik hutan adat kemenyan di sini, warisan nenek moyangku.”
Sehari sebelumnya, pada 25 Februari 2013, pukul 10.00. Dia mendoakan ratusan warga yang hendak menuju ke hutan adat kemenyan. “Saya berpesan menjaga batas supaya jangan dilewati oleh TPL, jangan anaris. Jadi kita doakan,” kata Sinambela.
Sekitar 250 warga berangkat ke tombak Haminjon (hutan kemenyan). Warga menemukan sekitar 20 pekerja TPL sedang menanam eukaliptus di lokasi hutan adat kemenyan. “Di sisi lain terdengar suara mesin chain saw yang sedang menebang pohon. Truk pengangkut bibit  dan pupuk pun terbakar,” kata Pandiangan. “Di situ juga ada brimob lengkap dengan senjata laras panjang dan alat berat.”
Buntut peristiwa ini, polisi menangkap 16 warga dan dibawa ke Polres.“Mereka menjalani pemeriksaan tanpa didampingi pengacara sampai pukul 00.45, tanggal 26 Februari 2013,” kata Silalahi. Polisi memburu warga Pandumaan Sipituhuta karena dituduh telah membakar kendaraan milik perusahaan.
Selama sebelas hari ditahan di Polda Sumut, Sinambela akhirnya dilepa atas desakan media, gereja-gereja dan aktifis. “Kewajiban saya mengingatkan Jemaah sebagai seoragn pendeta.”
Pendeta Haposan Sinambela, juga petani kemenyan. Sama dengan cerita Manohak sebelumnya, pendapatannya kini pun berkurang. Ia kian sulit menghidupi keluarganya. “Dulu masuk sekolah bisa kita kasih jajannya lima ribu rupiah. Sekarang tak ada lagi jajannya. Ongkosnya ke sekolah enam ribu rupiah. Kadang kadang kita berhutang sama mobil. Saya punya anak enam.”
Pemicu konflik PT TPL dengan masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta lantaran Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian Hak pengusahaan HTI PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU) sekarang PT. TPL milik Sukanto Tanoto yang mendapat konsesi seluas 269.060 hektar di 6 kabupaten di Sumatera Utara. Keenam kabupaten itu meliputi, Kabupaten Tapanuli Utara (termasuk Kabupaten Humbanghas setelah dimekarkan) seluas 134.671 ha, Kabupaten Tapanuli Selatan seluas 38.774,5 ha, Kabupaten Toba Samosir seluas 32,842,8 ha, Dairi seluas 31,627 ha, Simalungun 22,533 ha dan Tapanuli tengah 8,641 ha.
Pandiangan, Sinambela dan Hutasoit bersama 700 kk desa Pandumaan dan Sipituhuta berjuang mempertahankan hutan adat kemenyan. Mereka semua satu suara: hutan adat kemenyan telah dirambah oleh PT TPL sejak 2009 tanpa sepengetahuan mereka.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Hutan Alam Punah, Kemenyan Rakyat Musnah Rating: 5 Reviewed By: Awaluddin Ahmad