Saturday, October 12, 2013

Menengok Hutan Magrove Tanjungpinang Yang Terlupakan Pengembangannya

Potensi Wisata Kota Gurindam
BERKUNJUNG ke Kota Gurindam, Tanjungpinang ada salah satu objek wisata yang menarik yakni hutan mangrove (bakau) yang mengitari kawasan cagar budaya Istana Kota Rebah. Namun sayang potensi wisata ini sangat minim dengan infrastruktur yang memadai. 

Kawasan hutan mangrove ini mengelilingi beberapa peninggalan sejarah yang dibangun pada masa Sultan ke-VIII kerajaan Riau-Johor-Pahang-Lingga, Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677) untuk menjadi pusat kerajaan yang secara resmi dipindahkan dari Johor pada masa Sultan Ibrahim Syah pada tahun 1677-1685.

Kawasan hutan mangrove yang berada di Hulu Sungai Carang, Kota Tanjungpinang memiliki luas lebih kurang 10 hektar. Kawasan ini selalu menjadi tempat rekreasi warga Kota Gurindam maupun Wisatawan dalam dan luar negeri setiap akhir pekan. 

Menurut juru pelihara situs Mas Imam kepada Haluan Kepri, setiap hari sabtu maupun minggu hampir seratus pengunjung yang datang kemari ada yang sekedar untuk melepas lelah, atau dari kalangan mahasiswa maupun pelajar yang datang untuk melakukan penelitian di hutan Mangrove tersebut.

Mas Imam selain sebagai petugas penjaga situs ia juga merupakan salah seorang yang ikut membuka lahan ini mengatakan, kawasan hutan mangrove yang mengelilingi beberapa peninggalan sejarah ini lahannya mulai dibuka sejak tahun 2009.
JEMBATAN KROPOS -- Pemandangan alam di hutan mangrove (bakau) yang mengitari kawasan cagar budaya Istana Kota Rebah sangat indah. Namun pemerintah tidak memperhatikan kondisi jembatan yang sudah kropos yang sering dikeluhkan pengujung. (Zulfikar/Haluan Kepri)
"Kemudian pada tahun 2010, oleh Pemerintah Kota Tanjungpinang mulai dibangun beberapa infrastruktur seperti pavling block, pembangunan jembatan untuk wisata mangrove, dan pemeliharaan situs sejarah. Selanjutnya pada tahun 2011 mulai diadakan lagi penambahan beberapa infrastruktur dan perawatan infrastruktur itu.

"Salah satu yang penambahan yang dilakukan pada tahun 2011 yaitu membangun tiga buah pondok. Yang katanya pada waktu itu akan difungsikan sebagai tempat pertemuan. Namun, sampai saat ini pondok itu tidak pernah difungsikan sama sekali," sambungnya.

Selain itu Mas Imam juga mengatakan, selama ini yang selalu menjadi keluhan dari para pengunjung adalah akses jalan untuk masuk ke sini yang bisa dikatakan sangat menghawatirkan.

Pengunjung juga sering mempertanyakan kenapa tidak ada papan petunjuk sebagai penanda lokasi wisata tersebut. Mengingat jalan untuk masuk kesini memang bercabang. 
Kemudian, pengunjung juga mengeluhkan karena tidak adanya fasilitas umum seperti musholla. Bukan hanya musholla, koneksi listrik juga belum tersedia di tempat ini. 

Pengunjung juga banyak mengeluhkan, kondisi jembatan yang sudah mulai rusak. Terlihat sebagian besar jembatan yang mengelilingi kawasan mangrove memang sudah rusak cukup berat.

"Saya yang dalam hal ini bertugas sebagai penjaga situs dan kawasan mangrove sudah berkali-kali melaporkan hal ini ke pimpinan. Namun, memang hingga sampai saat ini belum ada tanggapan sama sekali. Untuk diketahui saja, akses masuk untuk kemari sebenarnya bukan jalan milik pemerintah kota. Tetapi jalan tersebut adalah milik warga dan sekarang jalan itu digunakan untuk akses jalan pertambangan," bebernya.

Bahkan, lanjutnya sebagian tanah untuk akses jalan tersebut sudah ada yang dihibahkan oleh pemilik lahan untuk dijadikan akses jalan masuk ke likasi ini. Warga yang menghibahkan jalan itu juga kemarin sempat bertanya kenapa jalannya belum dikerjakan juga? 

Sedangkan untuk jembatan selain memang sejak dibangun pada tahun 2010 yang lalu sampai sekarang memang tidak ada pemeliharaannya. Itulah yang menyebabkan kondisi jembatan tersebut sangat memprihatinkan,"sambungnya.

Salah seorang warga masyarakat Kota Tanjungpinang Abdul Bar saat dijumpai di lokasi mengatakan, kondisi seperti ini tentu sangat memperhatinkan. Mengingat ditempat ini terdapat hutan magrove yang katanya satu-satunya di Kepulauan Riau.
Anak-anak melewati jembatan yang kondisinya mulai menghawatirkan. (Zulfikar/Haluan Kepri)
"Sayangnya kondisi infrastrukur (jembatan,red) tidak ada pemeliharaan. Saya hampir setiap akhir pekan kesini, sekedar untuk memancing sebab kita ketahui hutan bakau merupakan salah satu tempat berkumpulnya ikan. Sebagai masyarakat, jikalau memang Pemerintah Kota ingin memperbaiki jembatan ini, kalau bisa kedepannya dibangun dari beton," ucapnya.

Untuk diketahui hutan mangrove atau hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh pasang -surut air laut.

Ekosistem hutan mangrove ini bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah, salinitas tanahnya yang tinggi, serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut.

Manfaat dari hutan magrove ini sangat banyak, antara lain sebagai habitat satwa langka, pelindung terhadap bencana alam, pengendapan lumpur, penambahan unsur hara, penambat racun, sumber alam dalam kawasan (in-situ) dan luar kawasan (ex-situ), transportasi, sumber plasma nutfah, rekreasi dan pariwisata, sarana pendidikan dan penelitian, memelihara proses-proses dan sistem alami, penyerapan karbon, memelihara iklim mikro, dan mencegah berkembangnya tanah sulfat masam.

Akan Dianggarkan


Secara terpisah, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Tanjungpinang Effiyar M. Amin saat dihubungi, Sabtu (12/10) membenarkan bahwa saat ini kondisi jembatan di sekeliling hutan mangrove itu sudah rusak parah.

"Kondisi tersebut karena sudah makan usia, dan memang selama ini belum pernah ada pemeliharaan. Tetapi dalam APBD murni tahun 2014 nanti jembatan tersebut sudah kami anggarkan. saat ini kami sedang merancang desain untuk pembangunan jembatan tersebut. Direncanakan pada APBD murni tahun 2014 nanti jembatan itu akan dibangun dengan beton," uajrnya.

Effiyar juga menyampaikan, pemeliharaan jembatan di hutan mangrove tersebut sudah pernah dianggarkan ppada APBD perubahan kali ini.

"Tetapi setelah dihitung. Biaya untuk memperbaiki jembatan tersebut cukup besar. Dan apabila hanya diperbaiki saja, takutnya nanti akan kembali rusak. Ini sama saja dengan pekerjaan Abu Nawas (pekerjaan sia-sia,red)," terangnya.

Untuk itulah, lanjut Effiar pada APBD tahun 2014 pihaknya sudah menganggarkan untuk pembangunan ulang. Selain itu, pemerintah juga akan memasang papan petunjuk untuk menunjukkan lokasi wisata ini serta pembenahan beberapa infrastruktur seperti Mushola dan lain sebagainya. 

"Untuk permasalahan jalan, kita memang sedang terkendala dengan pembebasan lahan. sebab, akses untuk masuk ke lokasi ini merupakan lahan milik warga. Kita sedang mengupayakannyalah," ucapnya.  ***

Cagar Budaya Istana Kota Rebah Memprihatinkan 

Selain hutan magrove di tempat ini juga terdapat situs cagar budaya Istana Kota Rebah atau dahulunya dikenal sebagai Istana Kota Raja yang merupakan peninggalan Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga. 

Menurut Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji yang juga giat dalam budaya dan sejarah Muharroni, Istana Kota Raja kenapa dikatakan sebagai Istana Kota Rebah berdasarkan sejarah dahulu pada saat kepemimpinan Sultan Mahmud. Pada saat itu  masyarakat mendengar akan ada penyerangan oleh Belanda sehingga istana tersebut di robohkan untuk melindungi dari serangan Belanda.

Pantauan Haluan Kepri di lokasi bekas Kerajaan Melayu tersebut, kondisinya memang cukup menghawatirkan. Di lokasi tersebut juga banyak terdapat makam-makam yang sampai saat ini belum semuanya terdata. Sedangkan, di lokasi Makam Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau Daeng Celak kondisi serupa juga terjadi disini. Bahkan menurut Muharroni hal ini sungguh sangat disayangkan.

"Sejak ditemukan kedua cagar budaya ini, kita selaku pelestari budaya sangat mendukung. Namun, sayangnya setelah berjalan beberapa waktu hal ini tidak diimbangi dengan pelestarian yang lebih mendalam. Tentu  ini sangat disayangkan, mengingat cagar budaya merupakan salah satu potensi wisata yang bisa menjadi salah satu magnet untuk menarik para wisatawan dari dalam dan luar negeri. 

"Sayangnya, pemerintah kota kurang peka dalam menanggapi hal ini. Sewaktu saya berkunjung ke makam Daeng Celak yang merupakan satu kesatuan dari Istana Kota Rebah penjaga makam disitu mengatakan bahwa dulu banyak wisatawan dari luar dan dalam negeri yang berkunjung kemari. Tetapi, beberapa waktu belakangan ini, setelah mereka melihat kondisi seperti sekarang pengunjung tersebut merasa kecewa. Sebab, kondisi situs cagar budaya itu tidak ada perubahan, bahkan kondisinya sangat menghawatirkan," sambungnya.

Muharroni juga mengharapkan kepada pemerintah kota untuk bisa melakukan pembenahan terhadap situs-situs cagar budaya ini. 

"Mengingat Tanjungpinang selain dikenal sebagai Kota Gurindam. Tanjungpinang dulunya juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Melayu. Situs-situs sejarah inilah yang kalau bisa dimanfaatkan dan digarap secara maksimal tentu juga menjadi salah satu tujuan wisatawan untuk datang kemari," ujarnya.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Kota Tanjungpinang yang merupakan penanggungjawab situs-situs sejarah  Dadang. AG menyampaikan kepada Haluan Kepri melalui sambungan telepon Sabtu (12/10) menyebutkan, sekarang kita telah memiliki juru kunci pemelihara situs yang dibayar dengan dana APBD.

"Mereka-mereka itulah yang bertugas untuk memelihara cagar-cagar budaya tersebut. Untuk saat ini kita sudah melakukan pemeliharaan cagar budaya itu secara rutin. Kedepannya kita akan membuat kajian dengan badan cagar budaya Batu Sangkar untuk melakukan pengembangan situs cagar budaya tersebut," ujarnya singkat.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Menengok Hutan Magrove Tanjungpinang Yang Terlupakan Pengembangannya Rating: 5 Reviewed By: Awaluddin Ahmad