“Pigiki ngopi-ngopi om Mul di Tempat Biasa, malam ini kebetulan ada teman dari Makassar juga, Jalan-Jalan Seru” begitu SMS om Ben – Sharben – yang masuk ke ponselku sore itu. “Siap meluncur ke TKP” balasku. Aku lalu mengemasi tasku, memasukkan laptop, mouse dan charger. Kuraih kunci dan naik motor ke café Tempat Biasa (TB).
Jika boleh meminjam Habermas – t0koh mazhab kritis – boleh jadi TB merupakan public sphere. Kenapa bisa? TB telah menjadi ruang komunikasi yang sangat nyaman untuk berbagi (sharing). Bukan hanya didomunisi oleh anak-anak selam (baca : SSD), tetapi siapa saja datang kesitu. Ada pejabat, wisman, anak muda dan sebagainya. Di tempat itu siapa saja bisa mengekspresikan ide dan gagasannya tanpa diliputi ketakutan.
Suatu malam aku pernah menjumpai Kapolres Selayar, Mohammad Hidayat memfasilitasi konflik antara industri (provider) dan masyarakat. Ada juga muspida yang hadir. Dibagian lain saya akan ceritakan ini, khususnya terkait dengan community oriented police (COP).
Setiap ke Selayar, acapkali aku berkunjung ke TB. Sampai disana kira-kira pukul 19 kurang lebih. Sudah ada Acca, Asri, dan beberapa anak SSD yang namanya tidak ku hafal (sory bro). Beberapa hal kami bincangkan, termasuk agenda bersih-bersih pantai dan penangkaran penyu besok pagi di Plaza Marina dan Tulang. “Tandangan ki disini (Spanduk) kak” ujar Acca. “Jangan mi saya” jawabku. “Ai ndak pa paji, ya bentuk dukungan ta to” timpalnya. “Baiklah kalau kamu bersikeras, he…he…” jawabku bercanda.
***
Pagi-pagi aku bergegas ke pantai. Kira-kira pukul 06,30 sampai di Plaza Marina. Aku masih memperhatikan orang-orang. Nampaknya belum ada yang ku kenal. Aku bergeser kearah utara. Sejurus kemudian, Acca dan teman-teman SSD datang. Aku perhatikan beberapa saat, banyak juga PNS yang datang. Rupanya teman-teman inisiator meminta ke wakil bupati – Saiful Arif – untuk memfasilitasi kegiatan bersih pantai itu. Beberapa waktu kami mengais-ngais sampah di bibir pantai itu, tiba-tiba juga datang kerumunan orang berbaju kuning. Dari t-shirt yang digunakan terturlis “Polres Selayar”. Rupanya pak Kapolres mengerahkan juga anggota polisi untuk ikut kerja bakti bersih pantai.
Pantai ini memang “kotor boaaangat” minjam istilahnya orang Jawa. Seperti tidak berpenghuni saja. Sebagai ruang publik, khususnya di kawasan Plaza Marina, mestinya tidak dibiarkan kotor. Beberapa ruas dari Plaza itu kearah selatan terlihat jorok. Sebagai ruang publik mestinya diperhatikan, minimal di uruslah kebersihannya. Untung saja ada anak-anak SSD yang peduli dengan lingkungan. Yang paling bermasalah tentu ketika pantai itu masih ditempati buang air. Saat dibersihkan, masih dijumpai kotoran manusia.
Menjelang pukul 10-an, om Ben datang bersama kawan-kawan dari Jalan-Jalan Seru (JJS), Makassar. Dia datang membawa karung plastik. Sampah-sampah yang telah dikumpulkan dimasukkan ke karung. Oh iya hampir lupa, pak Saiful Arif – wakil bupati – juga hadir. Ia memimpin langsung bersih-bersih ini. Makanya banyak PNS yang datang.
Setelah berhenti, teman-teman yang kerja bakti berkumpul ke Plaza Marina. Kebetulan disediakan bubur kacang ijo, makanan ringan dan air gelas. Kami ngobrol dengan beberapa kawan, juga ada Sarif. Anak ini pernah kuliah di Akper, Yogyakarta.
***
Setelah menyantap bubur kacang ijo dan meneguk air gelas, kami bergerak ke Tulang. Kami naik motor kesana. Ada sekitar 6 motor dan satu mobil. Ada yang boncengan. Ada juga yang sendiri. Kami menyusuri jalan di pinggir pantai menyusuri kawasan Kota Benteng tempo dulu. Lalu keluar di kawasan pasar baru, Bonea. Seterusnya menyusuri karts Appa’ Batu, Parak, Barugaia dan Tulang. Kami yang naik motor terus ke kawasan mangrove. Teman yang naik mobil menurunkan barang yang dibawah dari Benteng. Sekalian ketemu pak Dusun.
Tulang sebenarnya dusun kecil. Warganya bekerja sebagai petani sekaligus melaut. Kawasan ini memang kawasan pasang surut. Di sisi baratnya banyak tumbuh mangrove berjejer membentang utara ke selatan. Karena itu beberapa sisi di wilayah itu manfaatkan sebagai empang – kolam – ikan/udang. Walau beberapa waktu terakhir, empang di wilayah itu diakuisisi oleh toke-toke Selayar. Pantainya berpasir putih. Hanya saja kurang bersih. Karena banyak sampah di bibir pantai.
Lokasi penangkaran Penyu, kira-kira 150 meter dari pinggir jalan poros Benteng-Pamatata, ke-arah barat. Sampai di lokasi sudah banyak warga yang berkumpul. Kami saling menyapa dan berjabat tangan. Oleh warga atas fasilitasi kawan-kawan SSD, lokasi penangkaran dibuat di area pasir didalam kawasan semacam kebun. Dibuat segi empat. Agar telur-telur Penyu tidak diganggu atau dimakan oleh pemangsa, dibuat jaring pengaman.
Gagasan menangkar ini berawal dari inisiasi kawan-kawan SSD. Kebetulan di kawasan itu masyarakat menjual telur-telur penyu itu. Agar tidak dijual ke pedagang, SSD mengajak anggotanya untuk mengadopsi telur-telur tersebut. Ada yang mengadopsi 50 biji atau lebih, sesuai kemampuan. Jadi masyarakat setempat tetap memperoleh manfaat. Melalui proses komunikasi yang baik, akhirnya warga bisa memahami gagasan kawan-kawan SSD. Pak Dusun juga mensupport gagasan ini. Hari itu juga dilakukan lelang pohon. Pohon-pohon itu ditanam di pinggir pantai. Jika saudara(i) berkenan mendonasikan kelebihan rezekinya untuk keselamatan lingkungan dapat menghubungi kawan-kawan SSD. Insya Allah donasi saudara(i) akan dimanfaatkan untuk mengembangkan penangkaran Penyu dan mangrove di kawasan itu.
Sebelum menanam kami berfoto. Lalu prosesi penanaman telur dan pohon dimulai. Setelah itu karena hari sudah siang dan terik sekali, kami lalu istirahat. Sambil kemudian makan siang bersama dengan masyarakat setempat. Saat sebelum balik, pak Dusun menyuguhkan kami kelapa muda sambil berdiskusi. Oleh kawan Zul, lurah SSD memperkenalkanku dan member sedikit gambaran bagaimana kelembagaan yang bisa bangun oleh masyarakat. Kami bersepakat membentuk kelompoknya. Demikian, laporan pemirsa dari kampong Penyu, Tulang.
dicopas dari http://mwkusuma.wordpress.com