Dunia tengah menghadapi ironi. Di tengah upaya global memangkas emisi dan menekan kenaikan suhu bumi, nilai total investasi untuk mencegah krisis perubahan iklim kalah jauh dibanding nilai subsidi untuk produksi dan konsumsi bahan bakar fosil, salah satu faktor penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
Insentif yang diberikan pemerintah untuk memroduksi dan mengonsumsi bahan bakar fosil mencapai $523 miliar per tahun di negara-negara anggota OECD saja. Sementara investasi perubahan iklim dunia malah turun dari $364 miliar pada 2011 menjadi $359 miliar pada tahun 2012. Hal ini terungkap dari laporan Climate Policy Initiative (CPI) berjudul “The Global Landscape of Climate Finance 2013” yang dirilis Selasa (22/10).
Laporan ini juga menyatakan, kesenjangan antara kebutuhan dan investasi perubahan iklim semakin lebar dari tahun ke tahun. Kondisi ini sangat disayangkan. Berdasarkan perkiraan International Energy Agency, dunia memerlukan investasi sebesar $714 miliar per tahun ($5 triliun hingga 2020) guna mendukung peralihan ke energi bersih sehingga mampu mencegah kenaikan suhu bumi hingga 2 derajat Celsius.
Peran pemerintah untuk meningkatkan investasi perubahan iklim sangat penting. Pemerintah tahun lalu menyediakan pendanaan sebesar $135 miliar, atau 38% dari total pendanaan perubahan iklim. Dana ini menjadi dana bergulir yang dimanfaatkan oleh sektor swasta untuk turut mendanai aksi perubahan iklim.
Hasilnya adalah investasi swasta bernilai $224 miliar atau 62% dari total investasi perubahan iklim. Dana ini berasal dari pengembang proyek ($102 miliar); manufaktur dan korporasi ($66 miliar); dan rumah tangga ($33 miliar). Semuanya memanfaatkan insentif, dana murah, mekanisme pertanggungan risiko, investasi proyek langsung dan dukungan teknis dari pemerintah untuk turut mengembangkan bisnis sekaligus mendanai aksi perubahan iklim.
“Investasi untuk memerangi dan beradaptasi dengan perubahan iklim terjadi di seluruh dunia. Namun jumlah investasi perubahan iklim masih sangat kurang dari dana yang diperlukan,” ujar Thomas C. Heller, Direktur Eksekutif Climate Policy Initiative, saat memresentasikan laporan ini di Global Green Growth Forum.
Untuk itu pemerintah diminta untuk tidak pilih kasih dengan lebih mengutamakan subsidi untuk industri bahan bakar fosil. Cerminan inilah yang saat ini terjadi di Tanah Air. Menurut Maritje Hutapea, Direktur Konservasi Energi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah masih terus mensubsidi bahan bakar minyak dan listrik dengan nilai mencapai Rp312 triliun pada 2012. “Namun 77% dari subsidi ini tidak tepat sasaran,” tutur Maritje.
Tahun ini, minyak masih tetap menyumbang porsi terbesar dalam bauran energi nasional yaitu sebesar 49,7%. Sehingga secara otomatis subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) juga tetap yang tertinggi (Rp194 triliun untuk volume 50,5 juta liter). Pemanfaatan EBT (Energi Baru dan Terbarukan) masih sekitar 6% (5,7%). Dalam rancangan Kebijakan Energi Nasional (KEN) bauran EBT baru akan ditargetkan mencapai 25,9% pada 2025.
Data Kementrian ESDM menyebutkan, pasokan listrik yang bisa dinikmati rakyat Indonesia baru mencapai 48.000 Megawatt (MW) pada 2012. Menilik data di atas, sebanyak 94% dari pasokan listrik Indonesia berasal dari energi berbahan bakar fosil, baik minyak, gas maupun batu bara. Padahal, sektor energi baru terbarukan, seperti energi panas bumi, memiliki potensi energi sebesar 30.000 MW. Hal ini masih ditambah potensi energi air yang mencapai 75.000 MW serta energi matahari dan biomassa sekitar 35.000 MW.
Mengalihkan subsidi produksi dan konsumsi bahan bakar fosil untuk pengembangan energi bersih akan turut membantu Indonesia mencapai target investasi perubahan iklim serta pengurangan emisi. Karena berdasarkan perhitungan Departemen Keuangan, pemerintah dengan dana yang tersedia saat ini, hanya akan mampu memangkas emisi sebesar 15% dari target awal sebesar 26% pada 2020.