Monday, April 6, 2015

Menengok Terowongan Jepang Bukit China di Pulau Singkep, Lingga

Warga menunjukkan lubang peninggalan Jepang di Bukit Cina, Singkep
Di Pulau Singkep, Kabupaten Lingga terdapat sebuah lubang peninggalan Jepang. Namun sejauh ini belum ada cerita resmi versi pemerintah tentang keberadaan lokasi bersejarah itu. Jadi tempat orang luar berburu benda bersejarah.

Kawasan hutan lindung tepat di puncak Bukit Cina, Pulau Singkep, Kabupaten Lingga, tidak ditumbuhi pepohonan. Puncak itu berlahan datar, luasnya kurang lebih setengah kilometer dan hanya diisi semak belukar. Seperti lahan yang telah diratakan, puncak bukit itu sangat berbeda dengan keadaan di sekelilingnya yang bertanah miring, curam, serta ditumbuhi beragam jenis pepohonan hutan, tinggi dan berbatang besar.

Walau tanaman merambat tumbuh lebat merajai sepetak lahan datar itu, puncak Bukit Cina seolah ingin memberitahukan kepada setiap pendaki yang menjejakkan kaki di sana bahwa di lokasi itu pernah terjadi suatu tragedi di masa lalu.

Sebuah lubang menganga di puncak bukit itu tak ditumbuhi semak. Sebagian terowongan di dasar lubang sudah tertimbun tanah.

Terowongan yang sering diceritakan warga tetua Pulau Singkep sebagai lokasi pertahanan Jepang itu menuju empat penjuru strategis Pulau Singkep. Ke timur menuju pelabuhan Dabo Singkep, ke selatan menuju Todak, sedangkan ke barat menuju Sungai Buluh dan ke utara menuju Batu Berlubang.

Terowongan itu seakan menjadi akses jalur cepat menuju empat daerah tersebut, sekaligus menjadi lokasi pengintaian karena dari atas Bukit Cina dapat memandang hampir seluruh wilayah Pulau Singkep.

Beberapa meter dari lubang itu ada tembok setinggi lutut orang dewasa yang diduga menjadi tempat tiang bendera ditegakkan. Menurut warga Desa Air Salak -yang terletak di kaki bukit itu, beberapa tahun silam ada tiang berdiri di atas tembok itu, namun kini telah hilang diambil orang.

Bukit Cina, begitu orang sekitar menyebutnya, terletak di sebelah Barat Pulau Singkep. Dari pusat Kota Dabo, untuk mencapai kaki bukit tersebut mesti menempuh perjalanan sejauh 10 kilometer.

Mendaki bukit yang santer terdengar sebagai bekas markas tentara Jepang itu, dapat melalui lereng bukit dari empat lokasi berbeda, memiliki medan dan jarak berbeda pula.

Adalah Arifin, Pria kelahiran 2 Februari 1970 di Pulau Bakong dan sekarang menetap di Desa Air Salak, mengaku sangat mengenal seluk beluk kondisi bukit itu. Bahkan dia bercerita pernah kerja borongan bersama kakeknya membersihkan puncak Bukit Cina dimana terowongan itu berada.

Seolah kembali ke masa lalu, Arifin mengenang kejadian pada 1990 ketika membersihkan Bukit Cina bersama kakeknya. Kala itu, bos warga Tionghoa bernama Khui Pa yang memerintahkan beberapa warga untuk bekerja dengan iming-iming gaji yang menggiurkan, sampai lokasi puncak Bukit Cina bersih dari semak.

Masih lekat dalam ingatan Arifin, Khui Pa mengatur seluruh pekerja di puncak bukit itu dengan berpedoman pada peta yang ada di tangannya. “Peta itu terbuat dari kulit hewan,” Arifin mengingat benda di genggaman Khui Pa kala itu.

Mendengar cerita dari kakeknya, Arifin yang telah berumur belasan tahun saat itu, dapat memastikan kalau peta dari kulit hewan yang dipegang Khui Pa milik seorang warga Singapura keturunan Jepang dan mengaku leluhurnya pernah tinggal dan hidup di terowongan misteri itu.

Walau tak tahu tujuan Khui Pa secara pasti, namun Arifin menduga dari gelagat bos yang menggaji sejumlah pekerja itu, sedang mencari sesuatu benda atau apa saja bekas peninggalan tentara Jepang yang pernah menduduki Puncak Bukit Cina tersebut.

Menurut pemerhati sejarah Kepulauan Riau, Aswandi Syahri, ada pendapat mengatakan militer Jepang masuk ke Indonesia pertamakali di Tambelan sebelum menginjakkan kaki dimanapun di Indonesia ini, yakni pada Desember 1941.

Dari Tambelan, Jepang terus mengembangkan sayap menguasai seluruh daratan yang dulunya dikuasai Hndia Belanda dengan sebutan Residen Riau menjadi Seonan-To di bawah kendali kekuasaan militer berpusat di Singapura.

Sebelum militer Jepang masuk menduduki Residen Riau, Jepang terlebih dahulu mengirim mata-mata dengan bermacam profesi sebagai guru, dokter, hingga pedagang untuk mengenali wilayah dan sumber daya alam yang ada pada kawasan tersebut. Sehingga disinyalir Jepang menduduki Residen Riau untuk menjarah hasil bumi.

Setelah mempelajari seluruh budaya dan kekayaan alam Residen Riau, Pada Jumat 20 Februari 1942 militer Jepang mendarat di Tanjungpinang dengan tujuan menguasai Bintan karena memiliki kekayaan alam yakni bauksit sebagai modal mewujudkan impian Jepang menjadikan wilayah ini dalam ruang lingkup Asia Timur Raya.

Begitu juga dengan Lingga direbut Jepang dari Hindia Belanda karena sebagai wilayah penghasil timah.

“Jepang merebut bandara Dabo pada 1942 yang sebelumnya digunakan Belanda,” Aswandi menerangkan.

Menurut pria berkacamata itu, Jepang membangun terowongan pada 1944 di hampir setiap daerah yang menjadi jajahan mereka sebagai tempat pertahanan militer. Kala itu spionase Jepang telah mendengar pasukan sekutu menemukan bom yang sangat dahsyat yang diberinama bom atom.

Dalam terowongan milik militer Jepang itu, bisanya digunakan sebagai tempat pertahanan militer, yang berisi perkantoran, ruang penyimpanan senjata, penyimpanan kosumsi bahkan hingga ruang tahanan juga tersedia di dalam terowongan itu.

“Saya kira di Bintan, Natuna dan lokasi kekuasaan Jepang lainnya juga terdapat terowongan itu. belum ditemukan saja,” kata Aswandi.

Aswandi mencontohkan terowongan Bukittinggi yang terkenal hingga saat ini dengan sebutan terowongan Jepang.  Terowongan  itu berkondisi besar, luas dan panjang karena pada masa itu Jepang menempatkan Bukittinggi sebagai pusat komando membawahi seluruh wilayah Sumatera.

Untuk membangun terowongan sebagai pertahanan militer, Aswandi mengatakan, Jepang mempekerja paksakan atau yang sering disebut dengan

Romusha penduduk sekitar. Kerja paksa ini banyak memakan korban jiwa.

Sayang terowongan di Bukit Cina di Dabo Singkep tak dapat dimasuki karena reruntuhan tanah telah menutup jalan masuknya. Kondisi Bukit Cina juga jauh dari perhatian Pemerintah Daerah yang semestinya dapat menjadi bukti sejarah begitu pentingnya Lingga pada masa itu.

Lokasi itu juga menjadi tujuan para penjarah yang hendak berburu harta peninggalan Jepang masa itu. Terbukti, salah seorang warga Desa Air Salak mendapatkan pisau yang sering dipasang di pucuk senjata laras panjang di lokasi tersebut. Ada juga yang mendapat samurai dan barang-barang peninggalan lainnya.

Arifin juga mengaku beberapa kali memandu sekelompok orang untuk mendaki Bukit Cina itu. Dia juga menceritakan pernah membawa 14 orang warga Singapura yang minta ditunjukkan dan mendampingi mereka hingga sampai di lokasi puncak Bukit Cina.

Ayah dari enam anak itu, mengingat rombongan warga Singapura saat itu membawa perlengkapan banyak mulai dari tenda, alat masak, dan bahan makanan. Mereka menginap di puncak bukit selama setengah bulan.

Namun Arifin tidak mengetahui apa yang mereka lakukan selama menginap di atas bukit itu. Begitupun tujuan mereka berkemah di sana. Dia juga tidak melihat apapun yang dibawa rombongan itu sepulang kembali ke negara mereka.

Pria berambut ikal itu juga pernah memandu sekelompok orang pengajian dari Pulau Jawa mendaki bukit dan menginap di sana selama 15 hari.

Namun pria kelahiran Pulau Bakong ini tak ambil pusing dengan apa yang dilakukan orang saat berada di atas bukit. Dia hanya berniat memandu siapa saja yang meminta pertolongannya untuk menunjukkan jalan ke puncak bukit tersebut.

Masyarakat sekitar juga mengenal bukit itu sebagai daerah yang menyimpan aura mistis yang kuat. Pernah ada sekelompok orang mendaki puncak itu hingga tujuh kali turun naik, namun tidak menemukan lokasi terowongan di puncak Bukit Cina itu.

“Mereka menemui saya setelah tujuh kali turun naik melintasi Bukit Cina itu,” ujar Arifin.

Ketika Batam Pos meminta bantuan untuk memandu menaiki Bukit Cina, terlihat Arifin memang sudah biasa berjalan mendaki bukit itu, walau kondisi jalan tanah kuning yang licin dan curam, pria berpenampilan sederhana itu terlihat santai sembari mengayun-ayunkan sebilah golok membuka jalan yang ditutupi ranting dan semak yang menghalang. Tanpa meneteskan keringat lelah.

Tepat di atas anak Bukit Cina itu, Arifin berhenti dan menunjukkan satu pohon yang menurutnya aneh. Dia menjamin tidak ada pohon berdaun rimbun dan kecil itu seluruh bukit yang pernah didakinya di Pulau Singkep ini. Dia beranggapan pohon berdaun lancip pada kedua sisinya tersebut bukan berasal dari daerah Indonesia.

Setelah melewati pohon itu dan menuruni anak Bukit Cina beberapa meter, sebelum jalan setapak kembali menanjak menuju puncak Bukit Cina paling atas, Arifin kembali berhenti di daerah yang  sedikit rendah, dia memberitahukan ada setumpuk batu bata. Batu itu bertuliskan TEKONG.

Sembari menunjuk timbunan batu bata itu, dia mengatakan tempat tersebut dahulu adalah dapur para pekerja paksa. Namun di lokasi itu tidak ada bangunan atau bekas lain. Selain bata merk TEKONG di lokasi itu juga terdapat satu drum dan potongan seng, setengah meter yang sangat tebal. Saking tebalnyam berat seng itu mencapai 9 kilogram.

Warga lain yang pernah mendaki Bukit Cina mengatakan, di lokasi tersebut terdapat gua batu yang terletak di dinding Bukit Cina yang curam. Gua itu ditutup pintu besi yang tebal dikaitkan ke dinding batu bukit. Mereka mengatakan gua itu dibuat Jepang menjadi penjara bagi siapa saja yang membangkang dan menentang.

Jika mendaki bukit itu ditempuh dari jalan utama yang dahulunya sebagai tempat hilir mudik militer Jepang, terletak di batu delapan, masih terlihat peninggalan masa lalu, seperti rongsokan mobil jeep tua sebagai transportasi militer negeri matahari terbit itu.

Beberapa peninggalan Jepang juga masih terlihat di beberapa sudut kota Dabo, seperti sumur dan benteng. Sayang  semua peninggalan itu dibiarkan begitu saja bahkan sudah rusak tanpa ada perawatan.

Padahal peninggalan itu sebagai bekal sejarah kaum penerus untuk mengetahui betapa kaya dan pentingnya daerah mereka di mata dunia.

Bukit Cina, nama itu disematkan warga karena menurut masyarakat Dabo Singkep dahulu kala Jepang membuat terowongan itu mempekerjakan warga Tionghoa yang bermukim di di pulau berbentuk ceret ini.

Hal itu disampaikan Supri, pria yang lahir di Desa Air Salak, 49 tahun lalu. Pria berbadan tegap itu menceritakan warga Tionghoa menghuni Dabo Singkep sudah sejak zaman dahulu kala.

“Warga Tionghoa terdapat dimana saja di belahan bumi ini, tak terkecuali Dabo Singkep,” ujar Supri. 
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Menengok Terowongan Jepang Bukit China di Pulau Singkep, Lingga Rating: 5 Reviewed By: http://awalinfo.blogspot.com/