Greenpeace hari ini melakukan aksi damai tanpa kekerasan di kantor Wilmar International di Jakarta, guna mendesak pedagang minyak sawit yang berbasis di Singapura ini untuk segera berkomitmen menerapkan kebijakan nol deforestasi dalam seluruh rantai produksinya.
Dalam aksi ini tujuh aktivis Greenpeace berkostum harimau Sumatra membentangkan karpet ‘harimau’ raksasa berukuran 2 x 20 meter di depan pintu masuk gedung, mengusung pesan ‘Wilmar: Perlindungan atau Perusakan?’ serta ‘Wilmar: Jangan Injak-Injak Rumah Kami’.
“Dalam aksi ini Greenpeace membentangkan karpet harimau di depan kantor Wilmar sebagai perlambang bahwa perusahaan ini masih menolak berkomitmen menghentikan perusakan hutan alam Indonesia dalam rantai produksinya. Sudah lebih dari satu bulan semenjak Greenpeace mengeluarkan laporan ‘Izin Untuk Menghancurkan’ yang menunjukkan betapa Wilmar mencuci minyak sawit kotor ke pasar global,” ujar Teguh Surya, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
"Sebagai pemain di sektor minyak kelapa sawit terbesar dunia, Wilmar memiliki kekuatan untuk mengubah industri minyak sawit. Namun, hingga Wilmar berkomitmen untuk kebijakan nol deforestasi, perdagangan minyak sawit mereka dengan merek-merek rumah tangga besar seperti P&G, Mondelez, dan Reckitt Benckiser tanpa disadari membuat konsumen turut mendorong kepunahan 400 harimau Sumatera yang tersisa di Indonesia," imbuhnya.
Pada 22 Oktober 2013, Greenpeace meluncurkan laporan ‘Izin Untuk Menghancurkan’ 1) dimana investigasi Greenpeace mengungkap merek-merek produk rumah tangga termasuk Colgate Palmolive, Mondelez Internasional, raksasa biofuel Neste Oil, Procter & Gamble, produsen perawatan pribadi Reckitt Benckiser dan beberapa perusahaan lain membeli minyak sawit kotor yang dicuci ke pasar global oleh Wilmar.
Greenpeace memiliki bukti bahwa perdagangan yang dilakukan oleh Wilmar berasal dari perusahaan yang kegiatan usahanya meliputi pembukaan ilegal, kebakaran di lahan gambut, dan pembukaan habitat harimau. Wilmar telah mengambil langkah untuk melestarikan hutan nilai konservasi tinggi (HCV) dan lahan gambut di konsesi sendiri. Namun konsesi tersebut hanya memasok kurang dari 4% atas total minyak sawit yang diperdagangkan dan yang diolah, sedangkan sisanya dihasilkan oleh pemasok pihak ketiga. Sementara saat ini Wilmar tidak memiliki sistem yang tepat untuk memastikan keterlacakan dalam rantai pasokan mereka.
“Greenpeace menuntut Wilmar agar berhenti mencuci minyak sawit kotor ke pasar global, termasuk menuntut merek produk rumah tangga segera membersihkan rantai pasokan mereka. Kami juga menuntut RSPO (Roundtable of Sustainable Palm Oil) menetapkan standar keberlanjutan yang lebih kuat. Karena Wilmar, salah satu anggota RSPO, terbukti masih terus merusak habitat harimau dan melakukan praktek ilegal dalam operasinya,” pungkas Teguh.