Monday, November 10, 2014

Mengunjungi Kampung Naga Tasikmalaya

Lokasi Kampung Naga - Tasikmalaya
Kampung Naga adalah perkampungan masyarakat yang masih kuat memegang adat istiadat karuhun (leluhur). Kehidupan masyarakatnya bersahaja dan penuh kearifan tradisi. Keunikan Kampung Naga dengan segala aspeknya, merupakan sebuah perbedaan mencolok dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. 

Kampung Naga secara administratif masuk dalam wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah sebelah barat oleh leuweung karamat (hutan keramat). 

Anak tangga menuju Kampung Naga
Di dalam hutan inilah terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Kampung ini merupakan miniatur masyarakat sunda tempo dulu. Perkembangan teknologi yang demikian ganas, tak dapat menembus kampung ini. 

Memasuki wilayah Kampung Naga, orang harus melewati sekitar 360 anak tangga. Jumlah 360 itu memiliki cerita yang unik. Ternyata, anak tangga yang menukik turun menuju lembah Kampung Naga ini tak pernah sama hitungannya. Setiap orang yang mencoba menghitungnya, pasti selalu berbeda. 

Ada yang menghitung kurang dari 360 anak tangga, tapi tidak sedikit yang menghitung lebih dari itu. Bahkan pernah ada dua orang orang yang penasaran, lantas mereka menghitung secara bersamaan. Namun tetap saja mereka tidak bisa memperoleh jumlah hitungan yang sama. Semua ini merupakan teka-teki bagi pengunjung yang datang kesana.

Rumah Panggung

Kampung Naga didominasi rumah panggung
Kampung Naga diapit oleh tebing dan sungai yang mengalir disepanjang kawasan tersebut. Sungai inipun mereka manfaatkan sebagai kolam ikan. Setiap 3 bulan sekali mereka menanam dan menggambil ikan dari kubangan (leuwi) yang dibuat khusus oleh masyarakat setempat.

Ornamen bangunan di Kampung Naga sangat langka kita temukan pada masyarakat sunda dewasa ini. Rumah itu berbentuk panggung dan posisinya seragam antara rumah satu dengan yang lain. Bahan baku utamanya berupa kayu, bambu serta atap injuk dari pohon aren yang diambil langsung dari hutan sekitar Kampung Naga. Dan secara keseluruhan, berjumlah 111 bangunan, yang terdiri dari 109 rumah hunian sebuah mesjid dan sebuah aula pertemuan yang kesemuanya menghadap arah Timur.

Menurut Punduh Kampung Naga, Abah Maun, alasan mendirikan rumah panggung adalah untuk menghindari kecemburuan sosial masyarakat. Lagi pula jika mendirikan rumah permanen akan mengeluarkan biaya yang cukup besar. “Untuk jumlahnya masyarakat Kampung Naga tidak akan yang sudah ada, karena keterbatasan lahan serta telah menjadi hukum adat,” katanya.

Sedang alasan mengapa semua bangunan menghadap arah timur, Abah Maun menjelaskan bahwa selain menyesuaikan dengan keadaan lahan dan menjaga kebersihan, juga agar sinar matahari bisa langsung sampai ke dalam rumah-rumah tanpa terhalangi oleh bangunan lain. Untuk membuat sebuah rumah atau memperbaikinya, hampir semua masyarakat ikut bergotong royong dalam pengerjaannya, sehingga pada proses pengerjaanya tidak menggunakan kuli bangunan.

Sebelum memasuki Kampung Naga, pengunjung sangat dianjurkan untuk meminta ijin terlebih dahulu pada sesepuh kampung. Selain meminta persetujuannya, diharap masyarakat kampung naga tidak merasa terganggu oleh kedatangan pengunjung. Seorang pemandu wisata Kampung Naga juga mengingatkan bagi pengunjung yang ingin memotret agar meminta ijin dulu, sebab hal itu tidak dilakukan, foto-fotonya tidak akan jadi atau terbakar. 

Di sebelah utara Kampung Naga, berderet kolam-kolam ikan yang sengaja dibuat warga. Memang telah menggunakan tembok untuk pinggirnya, namun hampir disetiap kolam memiliki jamban (pacilingan) yang masih terbuat dari anyamam bambu. Jamban tersebut dipergunakan warga sebagai tempat MCK. Meski sederhana namun masyarakat naga telah memandang kesehatan sebagi suatu kebutuhan utama.

Hasil sensus penduduk tahun 2004 masyarakat Kampung Naga kurang lebih 326 jiwa, yang terdiri dari 106 kepala keluarga. Mayoritas dari mereka bermata pencaharian petani, disamping ada yang berdagang dan merantau ke luar kampung. 

Kampung Naga, menurut kepercayaan masyarakatnya, adalah keturunan kerajaan Galunggung masa Islam. Mereka keturunan Sembah Dalem Singaparana, anak Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung VII. Prabu Rajadipuntang adalah Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke arah daerah Linggawangi. Menurut catatan sejarah, Kerajaan Galunggung runtuh di tangan Prabu Rajadipuntang pada 1520-an karena diserang oleh Kerajaan Pajajaran di bawah Prabu Surawisesa (1535-1543). 

Saat itu ada perebutan kuasa antara kerajaan Islam dan asli. Kerajaan Galunggung telah menjadi pemeluk agama Islam dan berarti tidak lagi menjadikan Pajajaran sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu Singaparana dibekali ilmu kadigdayaan yang membuat dirinya bisa nyumput buni dina caang (bersembunyi di keramaian). 

Hutan Larangan

Inilah Hutang Larangan itu
Kampung Naga diapit dua bukit dan di sisi Sungai Ciwulan. Di seberang sungai itu terdapat bukit kecil yang dipenuhi pohon-pohon yang tampaknya berumur sangat tua. Itulah hutan yang oleh masyarakat Kampung Naga disebut dengan Leuweung Larangan atau hutan larangan. Sementara di sebelah barat atau di belakang perkampungan terdapat Leuweung Keramat. 

Leuweung Larangan, yang terletak di sebelah timur pemukiman, disebut sebagai hutan tempat para dedemit. Para dedemit itu mulanya menempati areal yang dihuni masyarakat Kampung Naga. Namun oleh Mbah Dalem Singaparana, para dedemit itu dipindahkan ke hutan tersebut. Leuweung Larangan merupakan tempat yang sama-sekali dilarang untuk diinjak oleh siapa pun, khususnya warga Kampung Naga. Jangankan memasukinya, menginjakkan sebelah kaki pun merupakan merupakan pantangan yang sangat keras. 

Secara kosmologis, masyarakat Kampung Naga memilah dunia dalam tiga wilayah, yaitu Leuweung Keramat (tempat nenek moyang mereka dimakamkan) yang ada di sebelah barat. Lalu wilayah perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam yang terletak di tengah-tengah. Dan Leuweung Larangan tempat yang dihuni para dedemit yang terdapat di sebelah timur. 

Posisi perkampungan tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung Larangan dibatasi oleh sebuah Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh tempat masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung (tempat penyimpanan harta pusaka). Leuweung Larangan di arah timur dan leweung Keramat di arah barat merupakan sumber kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. 

Sedangkan Leuweung Larangan merupakan wilayah kacau, tempat semua dedemit dan roh jahat berada. Leweung Karamat berada di sebelah barat adalah sumber kebaikan; masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan kesakralan ke arah barat. Hutan Keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid, di posisi kiblat, secara simbolis menunjukkan negosiasi ajaran Islam dan tradisi lokal. 

Menghadap ke kiblat berarti membayangkan penghadapan pada Kabah yang harus melalui penghadapan terhadap harta pusaka dan hutan keramat. Keinginan mendapatkan kesakralan Kabah didahului oleh penghubungan diri terhadap nenek moyang yang dikuburkan di Leuweung Keramat. 

Kosmologi ruang seperti ini barangkali yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji. Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Orang Suci. Yang berhaji telah secara langsung berhubungan karena itu tak lagi membutuhkan kiblat yang dibungkus Bumi Ageung dan Leuweung Keramat. 

Ritual Adat Warga Kampung Naga

Lokasi : Kampung Naga - Tasikmalaya
Warga Kampung Naga dikenal sebagai masyarakat yang taat melaksanakan tradisi karuhun. Ada beberapa upacara yang kerap dilakukan masyarakat Kampung Naga. Antara lain Menyepi, Hajat Sasih dan Perkawinan. Bagaimana pelaksanaannya? 

Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari Selasa, Rabu, dan hari Sabtu. Menurut Abah Maun, Punduh Kampung Naga, upacara ini sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Oleh sebab itu, jika ada kegiatan yang bertepatan dengan itu, maka waktunya di undurkan atau dipercepat pelaksanaannya.

Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka. 

Maun Punduh
Sedangkan Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.

Penduduk Kampung Naga mengaku beragama Islam, namun tetap taat memegang adat istiadat dan kepercayaan karuhun. Sehingga meski memeluk Islam, namun syariat yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk Islam lainnya. Misalnya salat limat waktu, hanya dilakukan pada hari jumat. Sedangkan pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan salat. 

Pengajaran mengaji bagi anak-anak dikampung Naga dilaksanakan pada malam senin dan malam kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, menurut anggapan mereka tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekah, tapi cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan hari raya haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung. Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri. 

Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan Muharam (Muharram) tanggal 26, 27, 28, Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14, Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18, Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16, dan Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12. Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. 

Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama Islam dapat dijalankan secara harmonis. Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan.

Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu juga kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju mesjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena mesjid merupakantempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.

Adapun kuncen, lebe, dan punduh / Tua kampung selesai mandi kemudian berwudlu dan mengenakan pakaian upacara mereka tidak menuju ke mesjid, melainkan ke Bumi Ageung. Di Bumi Ageung ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. 

Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam mesjid keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.

Setibanya di makam selain kuncen tidak ada yang masuk ke dalamnya. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen kemudian keluar lagi tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam. 

Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untukmemohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.

Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan ngengsod. Setelah bersalaman para peserta keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" mesjid. Sebelum disimpan sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan diBumi Ageung.

Acara selanjutnya diadakan di mesjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam mesjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi, kemudian memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah. 

Lokasi : Kampung Naga - Tasikmalaya

Lokasi : Kampung Naga - Tasikmalaya
Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut. 

Usai upacara dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di mesjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Mengunjungi Kampung Naga Tasikmalaya Rating: 5 Reviewed By: http://awalinfo.blogspot.com/