Wednesday, February 10, 2016

Kala Asap Kembali Mengancam (1)

Tahun lalu, sekitar dua juta hektar lahan di Indonesia di Sumatera, Borneo, dan separuh barat Papua, habis terbakar. Kebakaran besar menyebabkan polusi udara, ratusan ribu orang menjalani menderita sakit, dan pelemahan prekonomian daerah yang sudah terpukul akibat penurunan harga komoditas. Emisi karbon harian dari kebakaran selama puncak krisis bahkan lebih tinggi daripada emisi harian dari seluruh kegiatan ekonomi di Amerika Serikat.

Kebakaran di kebun akasia pada pemasok APP di Riau, yang bersiap menjadi kebun sawit.
Kebakaran di kebun akasia di Sumatera. 
Sebagian besar kabut asap karena kebakaran lahan gambut terdegradasi. Lahan gambut sehat mirip spons basah, kala kering sangat rentan kebakaran. Lahan gambut terbakar nyaris mustahil padam menggunakan teknik pemadaman konvensional. Hanya hujan terus-menerus yang dapat memadamkan kebakaran. Kekeringan diperkirakan terjadi lagi di Indonesia dan sekitarnya, berpotensi menimbulkan kebakaran lebih buruk daripada peristiwa Armageddon tahun lalu, yang disebut oleh beberapa pengamat sebagai bencana lingkungan terburuk abad ke-21.

Proyeksi ini tak hanya mengerikan bagi pemerintah daerah dan masyarakat, juga bagi perusahaan-perusahan yang punya konsesi di Sumatera dan Kalimantan. Perusahaan yang paling terekspos dalam peristiwa kebakaran lalu, adalah Asia Pulp & Paper (APP), perusahaan raksasa kehutanan yang memperoleh bubur kayu dari puluhan pemasok di ratusan ribu hektar lahan gambut. APP mendapat serangan langsung tahun lalu ketika ditemukan titik api di konsesi beberapa pemasok mereka. Meskipun APP tegas menyangkal mereka tak membakar, APP tetap diasingkan di Singapura, beberapa toko menyingkirkan produk-produk mereka secara masal dan pemerintah mengancam dengan denda jutaan dolar.

Ironisnya, bisa dikatakan, tak ada perusahaan Indonesia yang berbuat lebih dibandingkan APP untuk menebus kesalahan masa lalu. Sejak awal 2013, APP memulai upaya ambisius mengubah cara berbinis mereka, termasuk menerapkan larangan konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan baru, membangun protokol mengurangi konflik dengan masyarakat setempat, dan berjanji mendukung konservasi lansekap dan restorasi ekosistem inisiatif.

Tetapi peninggalan APP tidak mudah memutarbalikkan keadaan sebagaimana dibuktikan oleh peristiwa kebakaran yang terjadi baru-baru ini. Walaupun APP mungkin tidak membakar, praktik-praktik pengelolaan perkebunan tradisional memungkinkan kebakaran. Sebagai contoh, pengeringan lahan gambut–sebuah praktik yang secara luas di sektor perkebunan, termasuk industri bubur kayu, balok, dan minyak sawit—secara dramatis meningkatkan risiko kebakaran. Api di luar area konsesi dapat mudah menyebar ke perkebunan dan hutan rapat yang diperburuk kondisi drainase dan kekeringan.

Jadi, menghentikan deforestasi saja tidak cukup bagi APP untuk meminimalisir risiko kebakaran. Mereka harus mengembalikan fungsi dasar ekosistem di area mereka beroperasi dengan cara menaikkan level air lahan gambut. Karena itu, pada tahun ketiga sejak APP berkomitmen konservasi hutan, APP menjabarkan bagaimana permulaan melakukan hal ini.

Dalam sebuah acara di Jakarta Kamis lalu, APP menyoroti tiga restorasi lahan gambut dan inisiatif pengelolaan: pembangunan lebih dari 3.500 bendungan untuk membasahi lahan gambut kering, mempensiunkan 7.000 hektar perkebunan aktif, dan pendirian yayasan independen yang mendukung konservasi lahan gambut.

Tindakan ini sekaligus mengumumkan model baru pencegahan kebakaran dan strategi pengelolaan serta program yang mendorong masyarakat lokal menggunakan lahan tanpa melakukan pembakaran.

Taruhannya besar bagi APP: di luar potensi terpaan hukum atas kebakaran tahun lalu dan citra yang baru dipulihkan atas kerusakan yang sudah terjadi, mereka dapat kehilangan ribuan hektar lahan konsesi jika pemerintah pusat ketat memberlakukan peraturan lahan gambut yang dibuat Presiden Joko Widodo. Skenario terburuk, pasokan serat pabrik terbaru APP terancam.

Tentu saja APP menghindari kemungkinan ini dan inisiatif mereka menciptakan paradoks bagi pemerintah Indonesia. Sembari APP secara legal mungkin bertanggungjawab atas kebakaran di konsesi pemasok mereka tahun lalu, barangkali ini merupakan penempatan terbaik untuk mendorong penyelesaian masalah nyata melalui menempatkan investasi pada program-program baru dan kemitraan serta kekurangan reforestasi dan restorasi oleh pemerintah sebelumnya. Sekalipun hal-hal yang berangkat dari titik ini masih harus dikaji namun APP tidak membuang-buang waktu untuk membuat kemajuan.

“Sudah jelas cara-cara bisnis biasa tidak bisa dipakai lagi,” kata Aida Greenbury, Managing Director of Sustainability and Stakeholder Engagement APP, kepada Mongabay.

“Meningkatnya insiden kebakaran hutan, menurunnya keragaman hayati, dan konflik lahan bukti nyata. Yang diperlukan model bisnis baru untuk pengelolaan lansekap di Indonesia dan APP ingin berperan dalam menciptakan model itu.”

Greenbury menanggapi rinci atas isu-isu ini, tantangan dihadapi APP dalam persoalan kebakaran, dan lebih lanjut dalam sesi tanya-jawab dengan Mongabay. Berikut petikannya.

Menurut pendapat anda, apakah prestasi APP sejak mendirikan Forest Conservation Policy?

Apa yang telah kami raih tiga tahun terakhir adalah dengan menggunakan unsur-unsur FCP sebagai blok-blok pembangunan untuk mencapai penciptaan model bisnis baru. Ini memungkinkan kami meningkatkan produktivitas sembari melindungi hutan dan merangkul masyarakat sebagai bagian integral dari rantai pasokan kami. Kami berharap, model bisnis ini dapat menjadi dasar menjamin kehidupan lebih baik bagi generasi mendatang seraya melindungi hutan dalam waktu bersamaan.

Pencapaian terbesar kami sebagai bagian dari proses ini sekaligus menjadi tantangan terbesar. Ini adalah unsur yang kami atau program lain yang didanai oleh pemerintah (termasuk REDD+) sudah sadari sebelumnya, dan hal tersebut adalah nasib sektor swasta dan masyarakat lokal dalam lansekap terkait. Sektor swasta dan masyarakat lokal adalah dua kelompok dengan risiko terbesar dalam menjamin keberlanjutan lansekap hutan.

Pertama, untuk sektor swasta, lansekap adalah investasi kami, dan kami menanggung kehilangan paling besar jika itu terdegradasi. Jadi, kami memiliki kepentingan untuk bertanggungjawab. Kedua, bagi masyarakat, masalah hingga saat ini adalah mereka diperlakukan sebagai obyek. Yang ingin APP lakukan secara berbeda adalah memperlakukan masyarakat sebagai mitra dan merangkul mereka sebagai bagian integral dari rantai pasokan kami. Kami mengakui bahwa produktivitas kami sendiri dan kesejahteraan serta masyarakat yang tinggal di sekitar konsesi kami terhubung satu sama lain. Itu mengapa kami meluncurkan agroforestri dan program pertanian yang terintegrasi untuk menyediakan mata pencaharian alternatif sekaligus mengurangi ancaman kehancuran hutan.

Kami juga bangga karena stakeholder nasional dan internasional kini melihat keseriusan komitmen kami. Kami terlibat dan memimpin beberapa inisiatif seperti New York Declaration, the Bonn Challenge, the Tropical Forest Alliance, dan the Australian Asia Pacific Rainforest Recovery Programme (APP memimpin roundtable sektor swasta dalam inisiatif ini). Kami merupakan satu-satunya perusahaan swasta yang terlibat dalam the Bonn Challenge, kami menyampaikan komitmen kami untuk mengembalikan dan melindungi 1 juta hektar hutan di Indonesia, serta inovasi kami dalam strategi pengelolaan lahan gambut dan menjadi perusahaan komersial pertama yang memutuskan untuk mempensiunkan perkebunan produksi untuk melindungi lingkungan.

Apakah anda memiliki model yang diikuti dalam mengembangkan beberapa inisiatif atau merupakan pionir?

Ketika kami menandatangani FCP pada 2013, tentu saja kami menyadari dampak komersial dari kebijakan terhadap rantai pasokan kami dan seberapa keras kami harus bekerja untuk mengubah bisnis kami. Kami tidak mempunyai perencanaan yang detil. Kami merasa seperti terjun dari tebing dan menumbuhkan sayap selama perjalanan ke bawah. Tapi kami beruntung karena dalam perjalanan kami memiliki mitra baik yang menolong kami seperti, TFT dan Greenpeace, pemimpin yang mendunia dalam pengelolaan hutan tropis berkelanjutan yang memainkan peranan penting dalam membentuk dan menolong kami dalam mengimplementasikan FCP.

Kami sangat senang karena gerakan yang kami prakarsai sekarang tersebar luas di sektor kehutanan di Indonesia – dari sawit ke perusahaan pulp dan kertas. Kami berharap stakeholder dapat belajar dari perjalanan dan pencapaian kami dan pembelajaran ini akan membantu untuk memastikan standar yang lebih tinggi dalam pengelolaan hutan, perlindungan lingkungan, dan pengurangan emisi karbon di Indonesia atau lebih dari itu.

Dalam rilis, anda mengatakan mengalokasikan 600.000 hektar di konsesi pemasok untuk konservasi dan restorasi. Berapa persentase konsesi yang terwakili oleh ini? Bagaimana dengan persentase area yang ditanami?

Pada 2014, APP berkomitmen mendukung perlindungan dan restorasi 1 juta hektar hutan. Jumlah ini meliputi, konservasi hutan alami di rantai pasokan APP di Indonesia 586.000 hektar, lahan gambut dipensiunkan di rantai pasokan APP hingga saat ini 7.000 hektar, dan restorasi eksositem konsesi di bawah APP 8.300 hektar. Lalu, rea pan-carbon di rantai pasokan APP 15.000 hektar, restorasi ekosistem konsesi dalam proses 44.200 hektar. Total 660.500 hektar.

APP dan pemasok mendapat banyak kritik selama kebakaran dan kabut asap akhir tahun lalu di Sumatera Selatan. Apakah APP sudah membuat kemajuan dalam memastikan asal-usul kebakaran berkenaan dengan dimana lokasi awal kejadian dan siapa pelakunya?

Pada 2015, komitmen kami terhadap konservasi hutan mengalami kemunduran akibat kebakaran.

Indonesia dan APP mendapatkan informasi bahwa badai El-Nino sudah datang. Dalam rantai pasokan APP, kami sudah mulai memblokir kanal dan mempensiunkan lahan gambut kritis (pengumuman besar dibuat Agustus 2015). Yang tak kami ketahui tingkat kekuatan El-Nino. Kami tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi badai yang kuat.

Bukan hanya kami, orang lain di seluruh dunia juga tidak siap, seperti dapat dilihat dalam kebakaran mengamuk dari Amerika Utara hingga Australia. Ini menunjukkan, kebakaran hutan tantangan lingkungan bagi seluruh dunia, tak hanya Indonesia atau APP. Itu sebabnya, kita perlu bekerja sama mengembangkan strategi global penanggulangan kebakaran.

Sepanjang paruh kedua tahun lalu, seluruh tim APP bekerja tanpa lelah memadamkan api. Biarpun pemadam kebakaran tak dapat berhenti ketika langit berubah menjadi biru, kami berkomitmen bekerja bersama seluruh stakeholder menemukan solusi jangka panjang dan berkelanjutan.

Penyebab kebakaran itu cukup rumit diuraikan. Faktor sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan memiliki peran dan sebagian besar berada di luar kendali APP dan perusahaan-perusahaan lain. Potret citra satelit tak dapat menyajikan cerita seutuhnya. Melalui seperangkat utuh kronologi dari citra satelit, Anda akan melihat sebagian besar kebakaran di konsesi pemasok APP dimulai dari luar konsesi atau di area yang dapat diakses eksternal (tak ada pagar di sekitar konsesi pemasok kami). Kemudian terdapat masalah APP sebenarnya tidak biasa peta konsesi-konsesi terbuka untuk umum, sesuatu yang juga terjadi pada kebanyakan perusahaan yang menghadapi kasus kebakaran. Tantangan sistemik seperti konflik tanah dan tidak ada alternatif bagi pertanian yang memangkas dan membakar juga berkontribusi pada masalah kebakaran ini.

Apakah operator serat kayu memiliki alasan lain untuk membakar, misal membersihkan lahan dengan akasia yang berkinerja buruk?

APP memiliki peraturan jelas untuk tidak membakar sejak 1996. Pelanggaran pemasok berakibat pada pemutusan hubungan kerja.

Apakah operator serat kayu memiliki alasan lain untuk melakukan pembakaran, misal untuk membersihkan lahan dengan akasia yang berperforma buruk? Jawabannya, tidak, sekalipun area tertentu memiliki performa buruk, pembakaran tidak masuk akal secara ekonomi karena Anda telah menginvestasikan $1.500-$2.000 per hektar pada penanaman pertama lahan itu. Pemasok akan mendapatkan keuntungan lebih banyak dari penjualan kayu daripada pembakaran.

APP secara konsisten melayangkan keluhan terkait “pelanggaran batas” pada konsesi dan pencadangan hutan legalnya. Apakah pemerintah memberikan bantuan pada isu ini? Apakah ada agensi atau setingkat pemerintahan lebih proaktif daripada yang lain? Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini dengan lebih baik?

Kami terus mendukung pemerintah daerah dan pusat mengatasi deforestasi. Untuk itu, pada 2016, kami mengumumkan integrasi program kehutanan dan pertanian. Karena meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan merangkul mereka sebagai bagian integral rantai pasokan kami adalah solusi untuk masalah ini.

Apakah penurunan harga minyak sawit berdampak nyata pada pelanggaran batas pada konsesi APP? Atau adakah dampak yang dari kekeringan akibat El-Nino?

Penurunan harga minyak sawit terjadi selama 18 bulan terakhir. Saya tak menemukan data apapun berdampak pada insiden pelanggaran batas.

Sebagai komentar umum, perekonomian lansekap itu rumit dan beraneka ragam : perkebunan sawit yang dikelola tidak bertanggungjawab menjadi komoditas nomer satu yang berdampak pada hutan. Namun, hubungan antara harga, pasokan dan pelanggaran batas juga rumit. APP bekerja dengan mitra termasuk pemerintah Norwegia dan IDH–inisiatif perdagangan berkelanjutan untuk memperoleh pemahaman lebih baik tentang ekonomi pengelolaan lansekap di Indonesia, dan insentif untuk berbagai komoditas perusahaan, petani kecil atau masyarakat dan pemerintah daerah. Salah satu tujuan dari integrasi agroforestri dan program pertanian untuk menyediakan alternatif mata pencaharian bagi masyarakat dengan menggabungkan perkebunan dan hasil bumi dan pertanian untuk meningkatkan pendapatan bagi masyarakat yang mampu bersaing dengan minyak sawit. Dengan cara ini, masyarakat masih dapat meningkatkan taraf hidup sekaligus menghargai kebijakan nol-deforestasi.

Tidak diragukan lagi, El-Nino sebagai fenomena global signifikan memperparah kebarakan lebih dari enam bulan dan akan terus menjadi tantangan bagi kita pada bulan-bulan mendatang. 
bersambung....
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Kala Asap Kembali Mengancam (1) Rating: 5 Reviewed By: http://awalinfo.blogspot.com/