PADA 29 MEI 2013 tragedi
luapan lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo memasuki tahun ketujuh. Namun demikian
penyelesaian sejumlah masalah yang diakibatkan darinya masih menyisakan tanda
tanya. Semburan masih nampak. Pembayaran ganti rugi pada korban belum tuntas.
Diterangkan oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), rata-rata volume
lumpur yang menyembur berkisar 10 hingga 15 ribu meter kubik per hari.
Tumpukan 4.129 berkas dari 13.286
keseluruhan berkas korban lumpur belum dilunasi. Nilai ganti rugi mencapai
sekitar Rp 920 miliar. Bahkan mereka yang dinyatakan belum lolos verifikasi
sengketa lahan, belum mendapat pembayaran sama sekali, yaitu sebanyak 73 berkas
dengan nilai ganti rugi Rp 27,5 miliar.
Lapindo hanya bisa menjanjikan Rp
400 miliar yang akan didistribusikan pada Juli mendatang dengan prioritas ganti
rugi di bawah Rp 500 juta. Sedangkan sisanya ‘belum jelas’.
Enam Tahun Menyisakan Tangis
Senin (28/5/2012) (kilas balik) lalu, Nanik Mulyani
warga Desa Jatirejo Kecamatan Porong tak kuasa membendung derai air matanya.
Sambil terisak ia bercerita tentang hidupnya yang mendadak berubah drastis
semenjak lumpur membanjiri desanya dan terutama tempatnya bekerja.
Dalam diskusi enam tahun Lumpur
Lapindo di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, Kota Surabaya,
Jawa Timur, Senin (28/5) ini Nanik dan sejumlah perempuan lain korban lumpur
bercerita, sambil terisak mereka menumpahkan endapan masalah yang tak kunjung
usai.
Wanita yang sebelumnya bekerja di
pabrik ini mesti menanggung kehilangan pekerjaan, karena tempatnya bekerja
terendam lumpur. Belum lagi rumahnya ikut pula terendam. Lengkap sudah,
pekerjaan hilang, rumahpun tak punya. Untuk menghidupi diri dan keluarganya,
kini Nanik bekerja sebagai pembantu rumah tangga mulai pagi hingga sore. Pada
malam hari, ia mencari uang dengan menjadi tukang ojek.
Dalam hal ganti rugi, dia yang
hingga kini masih mengungsi ini memilih skema pembayaran cash and carry dari PT
Minarak Lapindo Jaya dengan pola pembayaran 20 persen lalu 80 persen. Tapi
itupun tak menyelesaikan persoalannya. “sampai sekarang saya baru terima 20
persen, itu pun harus dibagi dengan saudara ada delapan orang,” ujarnya sambil
terus terisak.
“Saya ingin uang saya dibayar.
Ini sudah enam tahun. Kemarin saya ikut demo ke Surabaya, malah dilempari gas
air mata,” lanjutnya.
Bertema “Pulihkan Hidup Kami,
Selamatkan Negeri Ini”, dalam diskusi itu ditampilkan film dokumenter tentang
kehidupan korban lumpur Lapindo. Tampak kondisi taman kanak-kanak siswa korban
lumpur yang hanya berdinding triplek minim fasilitas, dindingnya pun hanya
menutupi separuh bangunan.
Dampak Sosial
Menurut aktivis Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia, Yuliani, enam tahun masalah lumpur lapindo hanya menimbulkan
dampak sosial.
Masalah kesehatan misalnya. Data
di Puskesmas Porong menunjukkan tren sejumlah penyakit terus meningkat sejak
2006. Penderita infeksi saluran pernapasan (ISPA) yang pada 2005 sebanyak
24.719 orang, pada 2009 meningkat pesat menjadi 52.543 orang. Selain itu,
gastritis yang pada 2005 baru 7.416 orang, pada 2009 melonjak tiga kali lipat
menjadi 22.189 penderita.
Kemudian masalah pendidikan,
setelah 33 sekolah ditenggelamkan lumpur. Hingga saat ini, belum ada satu pun
sekolah pengganti yang dibangun pemerintah.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
menambahkan, potensi masalah lain yang timbul adalah masalah kecemburuan sosial
dan konflik antarwarga. Mengapa demikian?
Koordinator Nasional JATAM Andrie
S Wijaya menjelaskan, penetapan wilayah terdampak lumpur Lapindo di Porong,
Sidoarjo, Jawa Timur, semakin tidak jelas. Hal ini lah yang berpotensi
memunculkan kecemburuan sosial dan konflik antarwarga dari daerah yang terkena
dampak lumpur.
“Bibit konflik horisontal di
tingkat warga akibat buruknya pembayaran ganti rugi lahan,” kata Andrie.
Banyak warga yang belum mendapat
ganti rugi padahal daerah mereka ditetapkan sebagai wilayah terdampak sejak
pertama kali semburan lumpur terjadi, 29 Mei 2006. Dalam ketidakpastian itu,
pemerintah malah menetapkan wilayah terdampak baru dan mempercepat pembayaran.
Ini tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Pemerintah menetapkan wilayah
lain sebagai wilayah terdampak baru dan proses pembayaran dipercepat, sementara
wilayah yang jelas-jelas terdampak dari awal, pembayarannya malah belum jelas.
Tuntutan
Mulai 16 April lalu, lebih dari
2.000 orang secara bergantian memblokade tanggul lumpur di titik 25, Porong,
Sidoarjo. Meski terhitung menjadi korban pertama yang terusir dari kampung
halaman sejak 2006, hingga kini proses ganti ruginya belum tuntas. Padahal,
proses ganti rugi kepada rekan-rekan mereka yang kampungnya tenggelam
belakangan malah sudah banyak yang beres.
Selama blokade, warga melarang
truk-truk BPLS masuk. Praktis selama enam minggu belakangan sama sekali tak ada
penguatan tanggul.
Padahal, Humas Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Kusairi mengatakan, curah hujan
yang akhir-akhir ini cukup tinggi mengakibatkan kondisi tanggul kritis. Ia
khawatir akan kondisi tanggul jika warga tetap bersikeras menduduki tanggul
titik 25 sampai ada kejelasan status.
kalau sudah begini, siapa yang salah ???
Saksikan juga video yang ini
Silahkan sobat sobat merenungkan, kalau sobat sobat yang mengalami ini semua
( Tiko Septianto / CN32 )