Banjir yang terus menggenangi Jakarta tampaknya membuat Pak Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, kesal dan uring-uringan. Betapa tidak? Dalam bulan Desember lalu dan Januari ini, banjir telah berkali-kali merendam wilayah-wilayah vital Ibu Kota, mulai perumahan, perkantoran, pasar, dan jalan-jalan protokol. Bahkan jalan raya utama Jakarta --Sudirman dan Thamrin-- beberapa kali tenggelam dan menyebabkan kendaraan lumpuh total.
Saking kesalnya, ketika banjir surut --seperti buruh bangunan-- Pak Jokowi masuk ke saluran air di Jalan Thamrin untuk melihat seberapa besar gorong-gorong di bawah jalan raya itu sehingga tidak mampu menyalurkan air hujan. Ternyata, kata Pak Jokowi, gorong-gorongnya kecil. Hanya berdiameter 60 cm sehingga kurang memadai untuk menampung air hujan yang besar. Lantas, bagaimana untuk mengatasi banjir Jakarta jika gorong-gorongnya sekecil itu?
Jokowi pun punya rencana besar: membangun deep tunnel, yaitu gorong-gorong raksasa berdiameter 16 meter di bawah permukaan jalan, dengan kedalaman 40-60 meter, sepanjang 19 kilometer dari Cawang sampai Pluit, dengan biaya yang amat mahal, Rp 16,4 trilyun. Luar biasa! Jokowi mendapat ide itu dari terowongan besar yang ada di Kuala Lumpur (KL), Malaysia, yang bernama Stormwater Management and Road Tunnel (SMART).
SMART yang dibangun pada 2003 itu merupakan proyek terowongan terpanjang di Malaysia. Diameternya 13,2 meter, panjangnya 9,7 kilometer. Terowongan raksasa itu, di samping untuk mengatasi banjir di KL, sebagian dipakai juga untuk jalur kendaraan. Total investasi yang dihabiskan untuk SMART adalah M$ 1,887 juta atau sekitar US$ 514 juta. Tujuan utama terowongan SMART itu adalah mengatasi masalah banjir dan mengurangi kemacetan --persis seperti deep tunnel-nya Jokowi.
Ide ini jelas gagah dan membuat bulu kuduk merinding. Ternyata Jokowi tak hanya akrab dengan urusan kaki lima dan orang miskin, melainkan juga akrab dengan urusan hi-tech dan orang-orang pinter dengan gagasan selangit. Ibarat kata, ide-ide Jokowi berseliweran dari ujung bawah bumi sampai ujung atas langit. Hebat.
Lantas, apakah ide-ide sederhana seperti pembuatan biopori dan sumur resapan tak bisa diimplementasikan untuk mengurangi banjir di Jakarta? Soalnya, ide-ide sederhana belum tentu buruk, walaupun harganya murah meriah dan gampang dikerjakan. Kenapa demikian? Untuk kasus Jakarta, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, apakah pembangunan deep tunnel cocok di Jakarta yang secara geologis tanahnya lembek dan berpasir? Tanah di KL tersusun dari batuan beku bekas magma yang keras, sedangkan tanah Jakarta tersusun dari endapan lumpur dan pasir bekas delta sejumlah sungai. Sampai di sini saja, orang harus berpikir jauh, mana yang lebih cocok: sumur resapan atau gorong-gorong raksasa?
Dalam sebuah uji coba "amatiran" di Kebayoran Baru, misalnya, sebuah sumur resapan dengan ukuran 2 x 1 meter dan kedalaman 6 meter ternyata mampu menyerap hampir seluruh tumpahan air hujan besar sepanjang hari. Artinya, air hujan yang masuk ke sumur itu langsung habis terserap tanah. Ini terjadi mungkin karena tanahnya terdiri dari pasir dan lumpur itu tadi.
Saya membayangkan, jika di setiap RT dan setiap tanah kosong pada jarak tertentu dibuat sumur resapan seperti itu --dengan panjang dan lebar yang disesuaikan dengan lokasi yang ada-- niscaya limpahan air hujan dapat terserap dan tidak menggenangi wilayah DKI. Di tengah perkotaan seperti Sudirman dan Thamrin, misalnya, sumur resapan seperti itu bisa dibuat di pelataran gedung, trotoar, bahkan di tengah jalan utama sekalipun dengan cara bagian atasnya ditutup dengan besi atau beton berlubang, sehingga jalan tersebut tetap berfungsi.
Biaya pembuatan sumur resapan seperti itu juga tidak mahal. Biaya untuk satu sumur dengan lebar 3 meter dan kedalaman 4 meter sekitar Rp 4 juta. Dengan uang Rp 1 trilyun, misalnya, bisa dibuat 250.000 sumur resapan semacam itu. Luar biasa. Apakah Jakarta masih kebanjiran dengan sumur resapan sebanyak itu? Kita lihat nanti.Secara simultan, di RT dan RW yang padat penduduk bisa dibuat biopori yang diameternya 15 cm sampai 30 cm dengan kedalaman 1-2 meter.
Biaya pembuatan satu biopori pun sangat murah, hanya sekitar Rp 175.000. Biopori ini bisa dibuat di depan, samping, dan di belakang rumah. Pokoknya, asal ada tanah "nganggur", di situlah dibuat biopori dengan ukuran yang disesuaikan. Menurut penuturan seorang teman di kawasan Jatinegara, tempat tinggalnya kini tidak terkena banjir lagi setelah warga membuat ratusan biopori di wilayahnya.
Mengatasi banjir di perkotaan dengan sumur resapan dan biopori mungkin sudah kurang populer dibandingkan dengan membuat deep tunnel raksasa dengan biaya gigantik. Tapi, jangan dikira, membuat ribuan sumur resapan dan jutaan biopori di Jakarta tidak ada artinya bagi penanggulangan banjir. Saya yakin, manfaatnya akan besar sekali dalam mengatasi banjir. Ini mengingat tanah Jakarta dengan tekstur lumpur dan berpasir, yang mudah menyerap air. Apalagi jika warga yang membangun sumur resapan dan biopori itu mendapat insentif dari Pemda DKI.
Paduan antara pembenahan tata ruang dan gerakan penghijauan di sepanjang DAS (daerah aliran sungai) dan hulu sungai, normalisasi sungai, interkoneksi, perbaikan sistem drainase perkotaan, revitalisasi RTH (ruang terbuka hijau) dan daerah resapan air, peninggian dan perbaikan Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur, pembuatan biopori, dan sumur resapan memang gagasan sederhana dan praktis yang telah lama didengungkan para petinggi DKI dan pakar lingkungan. Namun, kenyataannya, sampai sekarang gagasan itu tidak berjalan.
Apakah tidak sebaiknya Pak Jokowi menghidupkan kembali sejumlah gagasan praktis dan murah tersebut, kemudian secara konsisten menerapkannya di DKI, lalu dilihat hasilnya tahun depan? Jika ternyata tidak ada hasilnya, barulah dipikirkan pembangunan deep tunnel. Kenapa? Dengan biaya Rp 16,4 trilyun, sebetulnya banyak yang bisa diperbuat Pemda DKI. Tidak hanya membangun ratusan ribu sumur resapan dan jutaan biopori, melainkan juga dapat membangun beberapa waduk di Depok dan Jakarta untuk menampung limpahan air hujan.
Selain biaya pembangunannya sangat mahal, pengoperasian dan pemeliharaan deep tunnel juga sangat rumit dan mahal. Lebih dari itu, fungsi pengendalian banjir yang dapat diperankan deep tunnel sebenarnya dapat digantikan dengan cara meninggikan tanggul Kanal Banjir Barat sebesar 30 cm dengan ketebalan 30 cm, yang hanya memerlukan biaya sekitar Rp 4,5 milyar (Siswoko Sastrodihardjo, Kompas 9/1/2013). Menurut Prof. Sudibyakto, guru besar hidrologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, solusi deep tunnel tidak sesuai dengan prinsip hidrologi, karena air yang tertampung tidak dikembalikan ke tanah, melainkan ke laut.
Sedangkan pembuatan jalan bawah tanah untuk mengurangi kemacetan, itu soal lain. Jalan bawah tanah untuk jalur kendaraan yang juga difungsikan sebagai saluran air ketika musim hujan seperti skenario deep tunnel jelas tidak optimum pemakaiannya. Dan, yang terpenting, pembangunan sumur resapan dan biopori --jika itu dianggarkan dalam APBD-- multiplier effect-nya terhadap perekonomian rakyat akan besar sekali. Jauh lebih besar ketimbang pembangunan deep tunnel yang menggunakan hi-tech. Dan yang untung hanya beberapa gelintir perusahaan besar. Menariknya lagi, jika Jakarta berhasil mengatasi banjir dengan sejuta sumur resapan dan biopori, kota-kota lain pun dengan mudah bisa menirunya. Bagaimana, Pak Jokowi?
Rokhmin Dahuri, Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
trim's plh Indonesia