Ketika saya merantau di daratan Sumatera
pada tahun 2002 untuk melanjutkan sekolah di salah satu SMA di Medan,
masih membekas di dalam ingatan saya ada beberapa orang yang pernah
memberikan pertanyaan atau memberikan pernyataan seputar Nias;
daerahnya, karakter masyarakatnya, pendidikannya, pembangunannya, dll.
Ada yang positif dan tidak sedikit juga nada-nada minor yang kurang
sedap telinga pun pernah saya dengar. Reaksi saya pun berbeda-beda
menanggapinya, kadang bangga dan senyum mengembang jika terdengar
tanggapan yang positif, namun tidak jarang menahan perasaan sedih,
kecewa sambil berusaha tidak memperlihatkan muka dan telinga yang terasa
hangat cenderung panas dan saya yakin sudah memerah ketika mendengar
“nada-nada minor” tadi .
Nada-nada minor ini sengaja tidak saya perdengarkan di telinga anda
untuk mencegah anda terkena gangguan pendengaran akut. Dan pokok
pembahasan kita bukan mengenai nada-nada minor tersebut. Hehehehehehe…
Yang jelas, sejak mendengar nada-nada minor tersebut maka timbul sedikit sikap “chauvinisme” terhadap Nias. Baca, cuma sedikit loh, tidak sampai “overchauvinisme” yang mengakibatkan rasa nasionalisme saya hilang. Hehehehehe… Bagaimanapun Garuda masih tetap di dada kiriku, dan Beo Nias di dada kanan ku… Hahahaha…
Tapi, untuk kali ini saya akan teriakkan “Beo Nias di dadaku!!!”. Yah, tulisan ini saya angkat sebagai pencerahan bagi kita semua khususnya pemuda-pemudi Nias atau orang-orang Nias (Ono Niha) dan secara umum bagi pembaca di luar suku Nias untuk lebih mencintai daerahnya atau tanah kelahirannya.
Bagi yang belum mengenal Nias itu dimana? Anda bisa melihat peta-peta di bawah ini terlebih dahulu.
Sumber gambar: Google
Keadaan iklim Kabupaten Nias dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 25,9 ° C per bulan dengan rata-rata minimum 21,2° C dan rata-rata maksimum 30,3 ° C.
Kecapatan angin rata-rata dalam satu tahun sebesar 5,6 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata kecepatan maksimum sebesar 19,8 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara. Kondisi seperti ini disamping curah hujan yang tinggi mengakibatkan sering terjadinya badai besar. Musim badai laut setiap tahun biasanya terjadi antara bulan September, tetapi kadang-kadang terjadi juga pada bulan Agustus dan cuaca bisa berubah secara mendadak.
Nias itu ada di sebelah barat Pulau Sumatera, transportasi yang ditempuh bisa lewat laut maupun udara. Dari Sibolga anda bisa naik kapal Feri, Jet Foil atau kapal penumpang lainnya. Atau jika anda naik pesawat, maka dari Bandara Polonia Medan bisa langsung menuju Bandara Binaka Nias. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih memiliki budaya megalitik. Daerah ini merupakan obyek wisata penting seperti selancar (surfing), rumah tradisional, penyelaman, lompat batu. Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa.
Nah, menurut sumber Wikipedia,
Suku Nias adalah kelompokmasyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka “Ono Niha” (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai “Tanö Niha” (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah “Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Mitologi
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut “Sigaru Tora`a” yang terletak di sebuah tempat yang bernama “Tetehöli Ana’a”. Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana’a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Penelitian Arkeologi
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Makanan Khas
Tuo Nifarö (minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias “Pohon Nira” = “töla nakhe”) yang telah diolah dengan cara penyulingan), kata orang-orang yang doyan minuman ini sih, salah satu Tuo Nifarö paling mantap dari kampung saya di Humene.
Budaya Nias
Sumber gambar: Google
Apa ada yang masih ingat dengan ini?
Sumber gambar: Google
trim's plh Indonesia,
Inilah cerita kami di http://gancangp
mana ceritamu
Yang jelas, sejak mendengar nada-nada minor tersebut maka timbul sedikit sikap “chauvinisme” terhadap Nias. Baca, cuma sedikit loh, tidak sampai “overchauvinisme” yang mengakibatkan rasa nasionalisme saya hilang. Hehehehehe… Bagaimanapun Garuda masih tetap di dada kiriku, dan Beo Nias di dada kanan ku… Hahahaha…
Tapi, untuk kali ini saya akan teriakkan “Beo Nias di dadaku!!!”. Yah, tulisan ini saya angkat sebagai pencerahan bagi kita semua khususnya pemuda-pemudi Nias atau orang-orang Nias (Ono Niha) dan secara umum bagi pembaca di luar suku Nias untuk lebih mencintai daerahnya atau tanah kelahirannya.
Bagi yang belum mengenal Nias itu dimana? Anda bisa melihat peta-peta di bawah ini terlebih dahulu.
Sumber gambar: Google
Menurut letak geografis, Kabupaten Nias terletak pada
garis 0°12’-1°32’ Lintang Utara (LU) dan 97 °-98° Bujur Timur (BT)
dekat dengan garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah :
- Sebelah Utara :
berdasarkan dengan Pulau-pulau banyak Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). - Sebelah Selatan :
berbatasan dengan Kabupaten Nias Selatan, Propinsi Sumatera Utara. - Sebelah Timur :
berbatasan dengan Pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. - Sebelah Barat :
berdasarkan dengan Samudera Hindia.
Keadaan iklim Kabupaten Nias dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 25,9 ° C per bulan dengan rata-rata minimum 21,2° C dan rata-rata maksimum 30,3 ° C.
Kecapatan angin rata-rata dalam satu tahun sebesar 5,6 knot/jam dan bisa mencapai rata-rata kecepatan maksimum sebesar 19,8 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara. Kondisi seperti ini disamping curah hujan yang tinggi mengakibatkan sering terjadinya badai besar. Musim badai laut setiap tahun biasanya terjadi antara bulan September, tetapi kadang-kadang terjadi juga pada bulan Agustus dan cuaca bisa berubah secara mendadak.
Nias itu ada di sebelah barat Pulau Sumatera, transportasi yang ditempuh bisa lewat laut maupun udara. Dari Sibolga anda bisa naik kapal Feri, Jet Foil atau kapal penumpang lainnya. Atau jika anda naik pesawat, maka dari Bandara Polonia Medan bisa langsung menuju Bandara Binaka Nias. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono Niha) yang masih memiliki budaya megalitik. Daerah ini merupakan obyek wisata penting seperti selancar (surfing), rumah tradisional, penyelaman, lompat batu. Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa.
Nah, menurut sumber Wikipedia,
Suku Nias adalah kelompokmasyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka “Ono Niha” (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai “Tanö Niha” (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah “Balugu”. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Mitologi
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut “Sigaru Tora`a” yang terletak di sebuah tempat yang bernama “Tetehöli Ana’a”. Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana’a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Penelitian Arkeologi
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999 dan hasilnya ada yang dimuat di Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik Humaniora menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut Vietnam.
Makanan Khas
- Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
- Harinake (daging Babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
- Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
- köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
- Ni’owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
Tuo Nifarö (minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam bahasa Nias “Pohon Nira” = “töla nakhe”) yang telah diolah dengan cara penyulingan), kata orang-orang yang doyan minuman ini sih, salah satu Tuo Nifarö paling mantap dari kampung saya di Humene.
Budaya Nias
- Sapaan Ya’ahowu. Dalam budaya Ono Niha terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.
- Lompat Batu dan Tarian (seperti Tari Perang, Maena, Tari Moyo, dll) (dalam gambar)
Sumber gambar: Google
Apa ada yang masih ingat dengan ini?
Sumber gambar: Google
- Rumah Adat. Berita-berita terkait Rumah adat Nias sudah cukup banyak tersebar di Internet dan telah banyak dilakukan penelitian ilmiah mengenai rumah adat ini. Dari segi arsitektur maupun dari segi struktur keindahan dan kekuatan Rumah Adat Nias tidak usah diragukan lagi. Salah satu berita terkait rumah adat nias ditinjau dari segi struktur sudah diangkat dalam blog Pak Wiryanto, berikut linknya
- Bahasa Nias, atau Li Niha dalam bahasa aslinya, adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih belum diketahui persis dari mana asalnya. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa yang unik karena merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang setiap akhiran katanya berakhiran huruf vokal.Bahasa Nias mengenal enam huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan “e” seperti dalam penyebutan “enam” ).
- Marga. Orang Nias menggunakan nama marga dari garis keturunan ayah. Berikut marga-marga yang ada di Pulau Nias bersumber dari Wikipedia:
A
AmazihönöB
Baeha, Baene, Bate’e, Bawamenewi, Bawaniwa’ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu’ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu’aro, Bago, BawauluD
Dachi, Dachi Halawa, Daeli, Dawölö, Dohare, Dohöna, DuhaF
Fau, Farasi, Finowa’aG
Gaho, Garamba, Gea, Ge’e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, GARI.H
Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, HuraL
Lafau, Lahagu, Lahömi, La’ia, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo’i, Lömbu, lamolo.M
Maduwu, Manaö, Mandrehe, Maru’ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya, MöhöN
Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, NakheS
Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihura, Sisökhi, SaotaT
Taföna’ö, Telaumbanua, TalunohiW
Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, WarasiZ
Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö- Budaya megalitik. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
- Alam. Salah satu keindahan yang dimilik pulau Nias adalah alamnya yang indah. Wisata pantai Nias sudah cukup terkenal di dunia internasional, khususnya bagi pecinta surfing.
- Burung Beo Nias. Hanya ada di Pulau Nias. Burung ini adalah salah satu jenis beo yang memiliki nama latin Gracula religiosa robusta kalau dalam bahasa Inggris, burung endemik ini biasa disebut Common Hill Myna. Burung yang populasinya lebih banyak terdapat di dalam sangkar ketimbang di alam bebas padahal burung endemik yang langka ini termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931, Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970, Undang-undang No. 5 Tahun 1990, dan Peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1999. Ironis sekali bukan? Ketika mengetahui bahwa burung endemik ini hampir punah dan sudah sangat jarang ditemukan. Bahkan IPB bersama Kementerian Kehutanan yang pernah melakukan penelitian dari 1996-1997 hanya bisa menemukan 7 ekor burung beo nias saja. Semoga “Sang Copy-Paste” ini tetap mendapat perhatian sehingga tidak tinggal nama saja.
trim's plh Indonesia,
Inilah cerita kami di http://gancangp
mana ceritamu