Mahameru.. Mahameru.. Mahameru.. Kata MAHAMERU tersebut selalu terngiang
di kepalaku sejak lama kira - kira tiga tahun yang lalu saat aku mulai
mengenal dunia pendakian gunung. Mahameru impianku, mungkin kata- kata
inilah yang pas untuk menggambarkan keadaan saat itu. Memang aku selalu
memimpikan suatu saat nanti berada di puncak gunung tertinggi di pulau
Jawa itu entah kapan kesempatan itu datang.
Kamis 30 Agustus 2012 menjadi hari di mana Allah SWT mulai membukakan jalanku menggapai mimpi yang selama ini terkubur, menuju puncak Mahameru. Ajakan mas Adit dari Belantara Indonesia untuk menapakkan kaki di Semeru benar - benar sesuatu yang sulit untuk diabaikan. Bagiku kapan lagi aku mendapat kesempatan semacam ini..?
Hmm.. Namun Allah SWT tidak begitu saja memudahkan jalanku menggapai impian tersebut karena ternyata hanya akulah yang berangkat dari Yogyakarta, tentu saja ini adalah kejadian yang menguji mentalku, perjalanan menuju Semeru bukanlah perjalanan yang dekat sehingga aku masih perlu bimbingan mengenai bagaimana cara ke sana nanti. Untunglah aku bisa mengatasi ini, entah dari mana aku mendapat keyakinan untuk memutuskan “TETAP BERANGKAT”.
Persiapan pun segera aku lakukan setelah itu. Mengumpulkan perlengkapan pendakian sesegera mungkin sehingga masalah perlengkapan sudah tuntas pada esok sore harinya dan tinggal mempersiapkan transportasi menuju Semeru. Transportasi menuju Semeru ialah dengan naik KA Matarmaja dari stasiun Solo-Jebres sampai stasiun Kotabaru, Malang.
Perjalanan dilanjutkan dengan naik angkot menuju pasar Tumpang dan dilanjutkan dengan naik jeep menuju pos registrasi pendakian di Ranu Pani.Setelah kukira semuanya akan berjalan lancar, ternyata Allah SWT masih menguji keteguhan mentalku. Sangat disayangkan karena aku tidak mendapat tiket KA Matarmaja karena habis, benar - benar sebuah pukulan telak bagi keteguhan moral.
Entah darimana datangnya suatu keberanian dan kenekatanku karena saat itu juga aku memutuskan untuk tetap berangkat dengan menggunakan sepeda motor. Ya, sepeda motor padahal opsi untuk naik bus masih tersedia, namun keputusanku tetap bulat, “NAIK MOTOR MENUJU RANU PANI”.
Keesokan harinya di awal bulan September menjadi awal petualanganku menuju Mahameru. Setelah sebelumnya mencari surat keterangan sehat di puskesmas Pajang dan juga berkemas, akupun memulai perjalanan panjangku. Selamat tinggal Kota Solo, semoga aku bisa kembali pulang dengan selamat nantinya......
ROAD TO MALANG
Perjalanan dimulai pukul 12.30, dari Solo aku memutuskan untuk melalui “Jalan raya tertinggi di Indonesia” yaitu jalan raya yang menghubungkan Surakarta dengan Magetan yang berada di daerah Cemoro Sewu, gunung Lawu. Keputusanku melalui rute ini ialah untuk menghindari macet dan panasnya siang apabila melewati rute Sragen - Ngawi yang jalannya sempit.
Walaupun keadaan jalannya naik - turun, memilih rute melewati gunung Lawu merupakan keputusan yang tepat, selain karena udaranya sejuk, pemandangan di sepanjang jalan sangatlah indah sehingga bisa untuk mengusir rasa kantuk dan lelah. Terus menyusuri jalan ini akhirnya aku tiba di telaga Sarangan yang terletak di lereng Timur gunung Lawu ( Kabupaten Magetan ).
Berhenti sejenak lah sambil menikmati indahnya pemandangan di sini, sementara itu dari ketinggian wilayah Jawa Timur membentang luas di depanku, yang akan aku lalui setelah ini. Perjalanan aku lanjutkan kembali. Tak lama kemudian aku mulai memasuki wilayah Kota Magetan. Ya, pukul 14.00,- aku tiba di wilayah kota Magetan.
Walaupun sudah menempuh 2 jam perjalanan melewati gunung Lawu aku belum merasa lelah sama sekali, malah sebaliknya, semangatku makin berlipat untuk meneruskan perjalanan seiring dengan rasa keingintahuanku untuk menjelajah daerah yang belum pernah aku jelajahi sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota Magetan, sebuah kota di provinsi Jawa Timur yang damai.
Di sebelah barat gunung Lawu yang aku lewati tadi tampak gagah menjulang tinggi di bawah birunya langit pada siang itu. Sempat bingung juga saat mencari jalan keluar dari kota Magetan menuju Madiun jalan utama kota ini hanya satu arah, beruntung karena warga dan juga polisi yang baik hatinya memberitahuku jalan yang benar sehingga aku bisa keluar dari kota ini untuk meneruskan perjalanan menuju kota Madiun.
Tak lama kemudian aku tiba di kota “Pecel” yaitu kota Madiun, untuk pertama kalinya pula aku menginjakkan kaki di kota ini. Yah, berhenti sejenak untuk menghela nafas sambil mengambil foto kota “pecel” Madiun. Aku kembali bertanya kepada warga mengenai rute tercepat menuju Malang, mereka pun memberitahuku arah jalan yang harus aku ambil. Well, terima kasih untuk warga kota Madiun yang sudah memberitahuku arah jalan, semoga kota Madiun berjaya selalu.
Selanjutnya aku melewati kota Caruban, sebuah kota kecil di kabupaten Madiun yang berada di jalan utama jalur tengah provinsi Jawa Timur. Aku hanya melalui kota ini tanpa banyak berhenti karena lalu-lalang kendaraan di jalan utama sangatlah ramai sehingga tidak nyaman jika aku harus banyak berhenti. Aku tak perlu bertanya mengenai arah yang harus aku ambil di sini karena jalan utama hanya satu dan tidak bercabang.
Keluar dari kota Caruban dan juga kabupaten Madiun, aku mulai memasuki kabupaten Nganjuk. Sesaat setelah aku memasuki gapura perbatasan Madiun - Nganjuk, kemacetan langsung menghadangku. Akupun bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, tidak mungkin kemacetan ini karena arus balik karena hari raya Idul Fitri sudah lama berlalu.
Cukup susah juga untuk melewati kemacetan yang panjang ini, seringkali aku harus melewati jalan berpasir di bahu jalan agar bisa terus melaju tanpa harus mengantri di kemacetan. Setelah beberapa saat aku mencari jalan menembus kemacetan, aku akhirnya sampai di sumber kemacetan tersebut. Ternyata ada dua buah truk besar yang mengalami kecelakaan, wew semoga saja perjalananku kedepan tidak mengalami kecelakaan seperti kedua truk tersebut.
Aku tidak mengambil foto kecelakaan itu dan terus melaju. Hari sudah mulai sore saat aku tiba di kota Nganjuk, ishoma dahulu lah di sekitar alun - alun Nganjuk dan juga masjid Agung Nganjuk yang berada di dekat alun - alun. Saat petang tiba aku tetap melanjutkan perjalananku, keadaan yang mulai gelap membuatku semakin waspada dan juga berkonsentrasi di jalan untuk menghindari hal - hal yang tidak diinginkan.
Dari Nganjuk perjalananku sekarang ialah melewati Kertosono, di sini jalan utama bercabang, yang lurus ke Timur menuju Jombang, sementara yang belok ke Selatan menuju Kediri. Dari pertigaan ini aku mengambil rute ke arah Selatan, tapi tidak sampai ke Kediri karena pada lampu merah kedua aku berbelok ke arah kiri melewati Pare, Kabupaten Kediri yang merupakan jalan tembus menuju Malang.
Tiga jam kemudian sekitar pukul 21.00 WIB aku tiba di kota tujuanku yaitu Malang. Rasanya benar-benar lega setibanya di Malang karena kondisi fisikku saat itu benar - benar sudah letih, lelah, mengantuk, lapar serta kedinginan. Segera saja aku membuat rencana mencari tempat untuk tidur, dan atas saran dari bapak - bapak saat aku melintasi kota Batu beberapa saat tadi aku memutuskan untuk menginap di kantor polisi dengan alasan lebih aman apabila aku menginap di sana.
Segera saja, setelah aku mengisi perut aku segera mencari kantor polisi terdekat. Untunglah saat aku meminta izin kepada petugas polisi yang sedang berjaga, mereka mengizinkanku untuk menginap. Alhamdulillah lah, aku mendapatkan tempat untuk menginap di sini, di musholla kantor polisi, terima kasih pak polisi Malang yang baik, semoga sukses selalu.
Keesokan harinya aku memulai perjalananku menuju Ranu Pani. Sebelumnya tentu saja aku mengisi perut terlebih dahulu sambil jalan-jalan keliling kota “apel” Malang. Beberapa saat kemudian aku tiba di sebuah warung makan yang berada di samping jalan utama kota Malang. Untuk detail kuliner yang disajikan silakan kunjungi TRIT berikut.
Usai mengisi perut hingga kenyang, perjalananku dari Malang menuju Semeru pun dimulai. Dari Malang ambil arah menuju pasar Tumpang, beruntung pula karena warga Malang yang baik hati memberitahuku jalan mana yang mesti aku ambil. Sesampainya di pasar Tumpang terlebih dahulu aku berhenti untuk memfoto copy surat keterangan sehat dan juga KTP untuk perizinan pendakian di Ranu Pani nanti.
Dari Tumpang perjalanan menuju Ranu Pani sudah
tak lagi susah karena sudah tersedia banyak papan petunjuk arahnya. Perjalanan
menuju Ranu Pani searah dengan perjalanan menuju Bromo yaitu melewati desa
Ngadas, hanya saja nanti akan dijumpai sebuah pertigaan yang mana apabila belok
kiri menuruni sebuah lembah itu adalah jalan menuju Bromo, sedangkan jika lurus
adalah jalan menuju Ranu Pani.
Pemandangan di tempat ini sangat disayangkan apabila hanya dilewatkan begitu saja, jalur menuju Bromo yang melewati lembah pegunungan terlihat sangat kecil dari ketinggian. Perjalanan dari gerbang masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sampai Ranu Pani bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Kondisi jalan yang sangat menanjak dan berliku - liku cukup membuat sepeda motor Fit-S ku kewalahan, terlebih lagi di beberapa titik terdapat jalan yang hanya terdiri dari pasir yang membuatku hampir jatuh sebanyak tiga kali.
Untunglah Allah SWT menghendaki aku bisa tiba di Ranu Pani dengan selamat walaupun motorku jadi penuh pasir usai melalui medan yang berat tadi. Yah, akhirnya setelah menempuh jarak sekitar 200 Kilometer aku tiba di Ranu Pani, Gunung Semeru, Jawa Timur.
puncak Mahameru. Aku belum sepenuhnya lega karena aku hanya seorang diri
di sini tanpa rombongan. Sebenarnya aku masih menunggu teman dari
Jakarta yaitu bang Ijul, satu - satunya orang yang ku harapkan hadir saat itu karena Cuma
dia orang yang aku kenal. Cemas tentu saja karena di Ranu Pani telepon
genggamku tidak berfungsi sebab tidak ada sinyal sehingga aku tidak bisa
menghubungi bang Ijul.
Tapi untunglah aku sempat mengirim SMS sebelum sinyal HP ku lenyap bahwa aku mengenakan jaket Manchester United berwarna merah sehingga bang Ijul tahu aku yang mana saat dia juga sampai di Ranu Pani ( kami belum pernah bertemu sebelumnya.. hags hags ).
Perjalanan menggapai Mahameru dimulai beberapa saat lagi. Packing ulang terlebih dahulu supaya benar - benar siap untuk menghadapi perjalanan panjang menuju puncak Semeru yang tentu saja berbeda dengan gunung-gunung lainnya seperti Merapi, Merbabu, dan juga Lawu. Setelah semuanya siap perjalananpun dimulai, di sini aku bergabung dengan rombongan dari Jakarta. Dan inilah perjalanan menggapai puncak abadi para dewa dimulai. BISMILLAH....!!
ROAD TO MAHAMERU
Perjalanan dimulai, track awal pendakian ialah menyusuri jalan aspal di sekitar base camp Ranu Pani dengan perkebunan penduduk di sisinya. Jalan aspal berakhir saat kami menjumpai gerbang selamat datang bagi pendaki gunung Semeru. Mulai dari titik ini perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalan setapak, dari jalan utama perjalanan menuju puncak dilanjutkan dengan mengambil jalur yang berbelok ke arah kiri melewati bukit. Setelah beberapa saat berjalan, kami tiba di pos 1 Lendengan Dowo.
Istirahat sejenak di sini kamipun melanjutkan perjalanan, tak lama
kemudian kami sampai di sebuah tempat yang memiliki pemandangan nan
indah. Di sini puncak Mahameru terlihat tegar berdiri, beruntung bagi
kami karena saat kami sampai di tempat ini puncak Mahameru meletup
dan mengeluarkan awan panas yang mengepul di puncaknya, tentu saja kesempatan
ini diabadikan melalui foto.
Di tempat inipun terlihat pula pos selanjutnya yaitu “Watu Rejeng”.Keadaan sudah semakin gelap saat kami melanjutkan perjalanan dikarenakan matahari semakin tenggelam di ufuk barat. Pos selanjutnya ialah Watu Rejeng, sayang dikarenakan sudah gelap maka pemandangan di sini tidak terlihat, padahal jika terang pemandangan di tempat ini ialah berupa tebing.
Selain gelap, suhu udara juga menjadi semakin dingin seiring dengan hadirnya sang malam yang semakin dekat terlebih lagi perjalanan kami semakin mendekati “Ranu Kumbolo” yang memang merupakan titik terdingin di gunung Semeru. Dari kejauhan nyala senter dan api unggun pendaki yang mendirikan camp di sekitar Ranu Kumbolo sudah mulai terlihat, pertanda bahwa pos Ranu Kumbolo sudah dekat. Tentu saja kami semakin bersemangat untuk terus melangkahkan kaki supaya segera sampai di Ranu Kumbolo walaupun udara dingin semakin menggigit kulit dan menusuk sampai ke tulang.
Saat kami tiba di Ranu Kumbolo terlihat danau tersebut seakan - akan mengeluarkan asap yang sebenarnya itu adalah kabut. Pemandangan sebenarnya sangat indah di sini, walaupun malam cahaya bulan purnama mampu untuk menerangi danau Ranu Kumbolo dengan selimut kabutnya. Sayang dinginnya udara membuat kami tidak bisa menikmatinya, fokus kami ialah segera mendirikan tenda, mengisi perut, dan tidur sekaligus menghangatkan diri dari dinginnya Ranu Kumbolo.
Malam semakin larut, tendapun sudah berdiri lengkap dengan “flysheet”nya. Pada malam itu aku mendapat kenalan teman - teman baru yaitu Yanah, Doni, dan Yasir, mereka semua berasal dari Jakarta. Usai tenda digelar kami segera makan lalu tidur mengisi tenaga untuk perjalanan yang masih panjang di keesokan harinya.
Jam 2 pagi aku terbangun dari tidurku, bukan karena rasa kantuk yang sudah terobati, namun karena udara dingin yang semakin menjadi - jadi, ditambah lagi kondisi tenda saat itu basah karena kabut tebal Ranu Kumbolo yang ternyata sampai ke dalam. Rasanya udara dingin benar - benar menusuk hingga ke dalam tulang, benar - benar dingin udara pagi itu sehingga kami harus berdempet - dempetan saat tidur agar tidak kedinginan.
Setelah beberapa jam bertahan di dalam dingin dan selimut kabut Ranu Kumbolo akhirnya fajar pun sebentar lagi tiba. Langit timur yang berada di antara dua bukit sudah tampak sedikit cerah, kegelapan malam perlahan sirna. Walaupun demikian dinginnya Ranu Kumbolo seakan enggan untuk beranjak, udara masih tetap dingin, oleh karena itu aku memutuskan untuk keluar tenda dan berjalan - jalan sekaligus menghangatkan tubuh yang kedinginan ini.
Lambat laun langit menjadi semakin cerah seiring pagi yang tinggal menunggu hitungan menit. Keadaan yang mulai terang membuat aku mulai mengeluarkan kamera untuk mendokumentasikan keadaan sekitar. Ternyata untuk mengambil foto pada kondisi udara dingin tidaklah mudah, tanganku bergetar menahan dingin, bahkan untuk mengambil foto aku harus menahan nafas agar tanganku tidak bergetar saat menahan dingin.
Perlahan sang surya mulai muncul dibalik tirai kabut, menyinari Ranu Kumbolo yang dingin. Aku sempat tidak percaya akan apa yang aku lihat saat itu, pemandangan benar - benar terlihat seperti di dalam mimpi. Matahari yang muncul di antara dua bukit mengingatkanku pada gambaran masa kecilku, yang mana matahari keluar di tengah - tengah antara dua gunung, sementara danau Ranu Kumbolo yang terlihat seakan-akan mengeluarkan asap semakin menambah indah dan menakjubkannya kondisi saat itu.
Indah dan hangatnya Ranu Kumbolo seakan - akan melupakan saat - saat berjuang menahan dingin tadi malam. Momen tersebut tentunya aku manfaatkan untuk mengambil gambar sebanyak - banyaknya, kapan lagi aku bisa ke Ranu Kumbolo lagi..?
PERJALANAN BERLANJUT
Detik demi detik berlalu, saatnya untuk bersiap - siap kembali untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang, sayang bang Ijul tidak bisa melanjutkan perjalanan karena fisik drop, jadilah aku melanjutkan perjalanan bersama teman - teman baru yang baru saja aku kenal. Pukul 9 pagi usai sarapan dan berkemas kami mulai bertolak meninggalkan Ranu Kumbolo.
Terdapat
tanjakan yang menjulang di depan kami dengan kemiringan kurang lebih 40
derajad
yang dijuluki “Tanjakan Cinta”. Diberi nama tanjakan cinta karena
tanjakan ini
memiliki mitos yaitu apabila pendaki sanggup untuk mencapai puncak dari
tanjakan tanpa menoleh ke belakang sambil membayangkan orang yang di
idam - idamkan, maka kelak dialah yan menjadi jodoh di masa depan
( Aamiin ).
Bagiku tentunya percaya tidak percaya sih, tapi aku tetap mencobanya sambil membayangkan orang yang ada di hatiku saat itu dan akupun berhasil mencapai puncak tanjakan tanpa menoleh ke belakang ( yang sebenarnya menyajikan pemandangan Ranu Kumbolo yang sangat indah ). Tentu saja aku tetap berdoa kepada Allah SWT mengenai apa yang aku inginkan.
Tanjakan Cinta telah terlewati, kini terbentang luas di hadapan kami sebuah padang rumput luas yang dinamai “Oro-oro Ombo”. Di sini kami harus melewati tengah - tengah padang rumput tersebut. Sayang musim kemarau menyebabkan padang rumput tak lagi berwarna hijau, warna kuning adalah warna ilalang yang berdiri di samping kiri - kanan kami.
Keadaan tanah juga sangat
berdebu di pencak musim kemarau ini sehingga masker sangat dibutuhkan untuk
mencegah agar debu tidak masuk ke saluran pernafasan. Yang sedikit membuatku
kecewa ialah keadaan lavender yang ikut kering sehingga tidak menampakkan
keindahan bunganya. Sayang sekali tentunya karena jika mekar maka bunga ini
berwarna ungu dan terlihat indah.
Sementara itu puncak Mahameru mengintip di balik bukit yang membentang di depan kami. Akhirnya kamipun tiba di ujung dari “Oro-oro ombo”, kamipun tiba di tempat selanjutnya yang dinamai “Cemoro Kandang”. Tempat yang kami lalui selanjutnya ini berupa hutan yang ditumbuhi oleh banyak pohon cemara. Dari sini jalan mulai menanjak walaupun tidak terlalu terjal, bagiku tanjakan seperti ini masih terlalu mudah karena hampir terasa seperti jalan - jalan di tempat yang datar.
Perjalanan kami kali ini ialah mengitari sebuah bukit untuk menuju pos selanjutnya yang ternyata cukup jauh walaupun hanya mengitari bukit yang “kelihatannya” kecil. Setelah beberapa lama akhirnya kamipun tiba di pos selanjutnya.
Pos selanjutnya bernama “Jambangan” yang berada di ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut. Pemandangan di sini sungguh bisa membuatku merinding karena “Atap pulau Jawa” yaitu kubah Mahameru tampak menjulang tinggi di depan, merinding bukan karena Mahameru nya, tapi karena itulah salah satu bukti kebesaran Illahi.
Pos Jambangan yang membuat merinding bukan berarti tempatnya menyeramkan, Jambangan tetap saja merupakan suatu tempat yang indah terutama karena bunga Edelweiss yang banyak tumbuh di tempat ini. Beruntung karena bunga sedang mekar-mekarnya, memancarkan warna kuning cerah nan cantik rupawan.
Perjalanan kami berlanjut, kondisi jalan yang kami tempuh sekarang kondisinya berupa turunan yang tidak terlalu curam. Tentu di dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa semakin dekat menuju kubah kondisi jalur malah menurun..? Mungkinkah menjelang puncak nanti akan ada tanjakan super tinggi yang menghadang kami..? Yah, we’ll find it soon..Pukul 13.00 WIB kami tiba di pos “Kalimati”.
Diberi nama Kalimati karena di sekitar pos ini terdapat bekas sungai aliran lahar gunung Semeru yang telah mati. Sekitar 15 menit dari pos Kalimati terdapat pula sumber air bernama “Sumber Mani” yang merupakan sumber air terakhir menuju puncak. Rombongan memutuskan untuk nge-camp di Kalimati dan mempersiapkan diri menuju puncak. Setelah makan, kami langsung saja tidur di dalam tenda untuk mengisi tenaga.
Pukul 23.00 WIB, setelah berkemas rombongan mulai bersiap menggapai sang Mahameru yang berdiri tegak di bawah gelapnya langit malam saat itu. Dari sini kami tidak lagi membawa carrier dan perlengkapan lengkap lainnya, kami hanya membawa minum beberapa botol saja dan barang - barang kami lainnya ditinggal di dalam tenda.
Memang inilah yang harus dilakukan mengingat beratnya medan yang akan kami lalui nanti ( padahal aku belum pernah melewatinya ). Dan akhirnya kami mulai bergerak. Dari Kalimati kami menuju arah timur sedikit, kemudian berbelik ke arah utara dan melewati turunan. Setelah turunan kami mulai masuk hutan kembali sekaligus disambut oleh tanjakan yang cukup terjal. Kondisi medan selain menanjak juga berdebu sehingga kembali kami harus mengencangkan masker kami agar debu tidak masuk ke saluran pernapasan.
Cukup melelahkan juga, sampai akhirnya kami tiba di pos “Arcopodo”
yang merupakan pos terakhir menuju “Puncak Abadi Para Dewa”, Mahameru. Di
Arcopodo kami beristirahat sejenak. Pos terakhir menuju Mahameru ini diberi
nama Arcopodo karena di pos ini konon terdapat dua buah arca (patung) kemba
yang misterius. Patung tersebut misterius karena kata orang patung itu adalah
patun ghaib yang hanya bisa dilihat oleh orang - orang tertentu.
MAHAMERU..!!
Setelah mengisi tenaga di Arcopodo kami segera kembali berjalan. Beberapa saat kemudian sampailah kami di perbatasan antara hutan dan medan berpasir. Meskipun malam kubah Mahameru tampak samar-samar menjulang tinggi di langit malam. Di hadapan kami tersaji pula sebuah tanjakan yang benar-benar menguji mental. Kami pun segera naik melewatinya. Sementara itu cahaya lampu senter para pendaki terlihat berjajar menuju puncak. Dari sini rombongan terbagi 2.
Beberapa orang berjalan duluan, sementara aku dan beberapa orang belakangan. Sayang, 2 orang temanku yaitu Yanah dan Doni tidak bisa melanjutkan perjalanan. Kondisi fisik Yanah drop dan ia turun didampingi oleh Doni. Jadilah sisa yang belakangan tinggal aku, Yasir, dan satu teman lagi asal Bogor yaitu mbak Sani. Perjalanan kami bertiga bisa dibilang sangat lamban, terlebih lagi kondisi mbak Sani yang saat itu tidak begitu baik membuat aku harus mendampinginya.
Rute Arcopodo – Mahameru benar-benar berbeda dari rute yang sebelumnya. Rutenya ialah rute khas menuju puncak gunung api yang terdiri dari pasir halus dan bebatuan yang selain melelahkan juga berbahaya. Meleleahkan..! Ya, selain menanjak terjal jalan jalan yang terdiri dari pasir membuat usaha untuk naik semakin berat, seperti yang dikatakan banyak orang yang melakukan summit menuju Mahameru “Naik tiga kali turun dua kali”. Bahaya..!!
Tentu saja, selain rutenya yang hanya sempit ancaman longsoran batu juga siap mengancam beberapa kali. Bahaya longsoran batu paling sering disebabkan oleh pendaki yang menginjak batu dan batu tersebut longsor sehingga pendaki di bawahnyalah yang harus bersiap - siap menghindari batu tersebut karena bisa saja nyawa melayang jika kena, bahkan kami bertiga dua kali nyaris terkena longsoran.
Sementara itu langit yang gelap perlahan mulai terang. Dari ufuk timur sang surya mulai menunjukkan tanda akan menampakkan dirinya. Walaupun begitu kami belum sampai di puncak. Beberapa saat kemudian aku bertemu dengan salah satu rombongan depan, jadilah aku memasrahkan mbak Sani padanya dan segera aku manuver ke puncak.
Aku akui fisik ku juga turut drop karena terlalu banyak istirahat sehingga aku harus menggunakan tongkat yang aku temukan di jalan sebagai alat bantu. Sang surya pun akhirnya keluar. Aku terus melangkahkan kaki menuju “Tanah Tertinggi Pulau Jawa”. Dan akhirnya sekitar pukul 06.30 WIB aku berhasil menggapainya.
Tak ada kebanggaan saat aku berdiri di atas sang Mahameru. Seperti liriknya “MAHAMERU SADARKAN ANGKUHNYA MANUSIA”, di puncak Allah SWT benar - benar menunjukkan kuasanya melalui pemandangan alam yang menakjubkan. Selain itu beratnya medan menuju puncak tadi seakan - akan adalah suatu teguran dari Allah SWT untukku agar semakin dekat dengan-Nya.
Dan inilah aku di puncak Mahameru, tempat yang ku impikan selama ini. Ya, sebuah keberhasilan tanpa kebanggaan. Alangkah menakjubkan nya pemandangan dari puncak. Di sebelah timur puncak Argopuro berdiri memanjang dengan lautan awan di sekitarnya, di sebelah utara aku bisa melihat kompleks gunung Bromo terutama gunung Batok yang terlihat, di sebelah barat tampak gunung Arjuno-Welirang menjulang tinggi di bawah langit biru, di sebelah selatan kawah Jonggring Saloka menganga sembari mengeluarkan letupan setiap kurang lebih lima belas menit sekali.
SUBHANALLAH..!! Itulah kata yang berulang-ulang keluar dari mulutku, mengagumi kebesaran Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Walaupun matahari bersinar cerah, namun suhu udara di puncak benar-benar sangat dingin, saat itu kurang lebih hanya 4 derajad celcius. Ditambah lagi angin yang saat itu berhembus kencang menambah dinginnya "Puncak Abadi Para Dewa".
Waktu terus berlalu, para pendaki mulai turun meninggalkan puncak. Tibalah saatnya aku juga harus meninggalkan puncak Mahameru. Perlu diketahui bahwa semakin siang arah angin akan berubah menuju puncak, membawa gas beracun dari kawah Jonggring Saloka. Yah, selamat tinggal wahai Mahameru. Semoga aku bisa kembali lagi menyapamu..
PERJALANAN TURUNPerjalanan turun dari puncak Mahameru bisa dibilang cukup mudah karena medan pasir bisa digunakan untuk "sandboarding" saat turun. Hanya membutuhkan setengah jam saja hingga sampai batas vegetasi kembali. Hmm.. Untuk naik saja butuh enam jam, ternyata turunnya cepat sekali.
Terdapat satu hal penting saat perjalanan turun dari Mahameru sampai Arcopodo. JADIKAN BENDERA / CEMARA TUNGGAL SEBAGAI PATOKAN..!!!! Mengapa sampai demikian..? Karena terdapat jalur yang mengarah ke "DEATH ZONE" Semeru yaitu Blank 75, jurang sedalam 75 meter. Tempat ini berada di sebelah timur laut puncak, sedangkan jalan turun ialah tepat di sebelah selatan puncak.
Sampai di Kalimati aku kembali lagi bersama rombongan, setelah istirahat dan makan kami mulai melanjutkan perjalanan turun sekitar pukul 14.00 WIB. Pukul 17.00 WIB kami tiba kembali di Ranu Kumbolo. Di sini kami bertemu lagi dengan bang Ijul yang memang menunggu kami di sini. Setelah beristirahat sejenak dan juga berfoto, rombongan segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di sini aku dan juga rombongan berpisah dengan bang Ijul, Doni, Yanah, dan Yasir yang memutuskan untuk nge-camp selama satu malam lagi di Ranu Kumbolo. Semoga kita bertemu lagi kawan..!!
Pukul 21.00 WIB akhirnya kami tiba di Ranu Pani kembali setelah perjalanan yang panjang menggapai Puncak Abadi Para Dewa. Kami menginap di salah satu penginapan di dekat pos registrasi yang memang disiapkan untuk pendaki yang ingin bermalam.
Pagi harinya aku menyempatkan diri terlebih dahulu untuk mengunjungi Ranu Regulo yang terletak tak jauh dari Ranu Pani. Dan setelah makan dan berpacking, akupun siap untuk menempuh perjalanan panjang menuju Solo. Well, akhirnya inilah akhir dari petulanganku menggapai Puncak Abadi Para Dewa. Semua pengalaman, teman - teman baru, dan juga pelajaran - pelajaran berharga ini tak akan pernah aku lupakan sepanjang hayat...
RINCIAN BIAYA SOLO - RANU PANI
KA Matarmaja Solo Jebres - Malang : Rp 35.000,-
Angkot St. Kotabaru, Malang - Tumpang : Rp 5.000,-
Jeep Tumpang - Ranu Pani : Rp 30.000,-
PERSYARATAN IZIN PENDAKIAN
Surat keterangan sehat
Materai Rp 6.000,-
Kartu identitas
Foto copy Surat keterangan sehat dan kartu identitas (dua kali)
smbr info : http://www.belantaraindonesia.org
Kamis 30 Agustus 2012 menjadi hari di mana Allah SWT mulai membukakan jalanku menggapai mimpi yang selama ini terkubur, menuju puncak Mahameru. Ajakan mas Adit dari Belantara Indonesia untuk menapakkan kaki di Semeru benar - benar sesuatu yang sulit untuk diabaikan. Bagiku kapan lagi aku mendapat kesempatan semacam ini..?
Hmm.. Namun Allah SWT tidak begitu saja memudahkan jalanku menggapai impian tersebut karena ternyata hanya akulah yang berangkat dari Yogyakarta, tentu saja ini adalah kejadian yang menguji mentalku, perjalanan menuju Semeru bukanlah perjalanan yang dekat sehingga aku masih perlu bimbingan mengenai bagaimana cara ke sana nanti. Untunglah aku bisa mengatasi ini, entah dari mana aku mendapat keyakinan untuk memutuskan “TETAP BERANGKAT”.
Persiapan pun segera aku lakukan setelah itu. Mengumpulkan perlengkapan pendakian sesegera mungkin sehingga masalah perlengkapan sudah tuntas pada esok sore harinya dan tinggal mempersiapkan transportasi menuju Semeru. Transportasi menuju Semeru ialah dengan naik KA Matarmaja dari stasiun Solo-Jebres sampai stasiun Kotabaru, Malang.
Perjalanan dilanjutkan dengan naik angkot menuju pasar Tumpang dan dilanjutkan dengan naik jeep menuju pos registrasi pendakian di Ranu Pani.Setelah kukira semuanya akan berjalan lancar, ternyata Allah SWT masih menguji keteguhan mentalku. Sangat disayangkan karena aku tidak mendapat tiket KA Matarmaja karena habis, benar - benar sebuah pukulan telak bagi keteguhan moral.
Entah darimana datangnya suatu keberanian dan kenekatanku karena saat itu juga aku memutuskan untuk tetap berangkat dengan menggunakan sepeda motor. Ya, sepeda motor padahal opsi untuk naik bus masih tersedia, namun keputusanku tetap bulat, “NAIK MOTOR MENUJU RANU PANI”.
Keesokan harinya di awal bulan September menjadi awal petualanganku menuju Mahameru. Setelah sebelumnya mencari surat keterangan sehat di puskesmas Pajang dan juga berkemas, akupun memulai perjalanan panjangku. Selamat tinggal Kota Solo, semoga aku bisa kembali pulang dengan selamat nantinya......
ROAD TO MALANG
Perjalanan dimulai pukul 12.30, dari Solo aku memutuskan untuk melalui “Jalan raya tertinggi di Indonesia” yaitu jalan raya yang menghubungkan Surakarta dengan Magetan yang berada di daerah Cemoro Sewu, gunung Lawu. Keputusanku melalui rute ini ialah untuk menghindari macet dan panasnya siang apabila melewati rute Sragen - Ngawi yang jalannya sempit.
Walaupun keadaan jalannya naik - turun, memilih rute melewati gunung Lawu merupakan keputusan yang tepat, selain karena udaranya sejuk, pemandangan di sepanjang jalan sangatlah indah sehingga bisa untuk mengusir rasa kantuk dan lelah. Terus menyusuri jalan ini akhirnya aku tiba di telaga Sarangan yang terletak di lereng Timur gunung Lawu ( Kabupaten Magetan ).
Berhenti sejenak lah sambil menikmati indahnya pemandangan di sini, sementara itu dari ketinggian wilayah Jawa Timur membentang luas di depanku, yang akan aku lalui setelah ini. Perjalanan aku lanjutkan kembali. Tak lama kemudian aku mulai memasuki wilayah Kota Magetan. Ya, pukul 14.00,- aku tiba di wilayah kota Magetan.
Walaupun sudah menempuh 2 jam perjalanan melewati gunung Lawu aku belum merasa lelah sama sekali, malah sebaliknya, semangatku makin berlipat untuk meneruskan perjalanan seiring dengan rasa keingintahuanku untuk menjelajah daerah yang belum pernah aku jelajahi sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota Magetan, sebuah kota di provinsi Jawa Timur yang damai.
Di sebelah barat gunung Lawu yang aku lewati tadi tampak gagah menjulang tinggi di bawah birunya langit pada siang itu. Sempat bingung juga saat mencari jalan keluar dari kota Magetan menuju Madiun jalan utama kota ini hanya satu arah, beruntung karena warga dan juga polisi yang baik hatinya memberitahuku jalan yang benar sehingga aku bisa keluar dari kota ini untuk meneruskan perjalanan menuju kota Madiun.
Tak lama kemudian aku tiba di kota “Pecel” yaitu kota Madiun, untuk pertama kalinya pula aku menginjakkan kaki di kota ini. Yah, berhenti sejenak untuk menghela nafas sambil mengambil foto kota “pecel” Madiun. Aku kembali bertanya kepada warga mengenai rute tercepat menuju Malang, mereka pun memberitahuku arah jalan yang harus aku ambil. Well, terima kasih untuk warga kota Madiun yang sudah memberitahuku arah jalan, semoga kota Madiun berjaya selalu.
Selanjutnya aku melewati kota Caruban, sebuah kota kecil di kabupaten Madiun yang berada di jalan utama jalur tengah provinsi Jawa Timur. Aku hanya melalui kota ini tanpa banyak berhenti karena lalu-lalang kendaraan di jalan utama sangatlah ramai sehingga tidak nyaman jika aku harus banyak berhenti. Aku tak perlu bertanya mengenai arah yang harus aku ambil di sini karena jalan utama hanya satu dan tidak bercabang.
Keluar dari kota Caruban dan juga kabupaten Madiun, aku mulai memasuki kabupaten Nganjuk. Sesaat setelah aku memasuki gapura perbatasan Madiun - Nganjuk, kemacetan langsung menghadangku. Akupun bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, tidak mungkin kemacetan ini karena arus balik karena hari raya Idul Fitri sudah lama berlalu.
Cukup susah juga untuk melewati kemacetan yang panjang ini, seringkali aku harus melewati jalan berpasir di bahu jalan agar bisa terus melaju tanpa harus mengantri di kemacetan. Setelah beberapa saat aku mencari jalan menembus kemacetan, aku akhirnya sampai di sumber kemacetan tersebut. Ternyata ada dua buah truk besar yang mengalami kecelakaan, wew semoga saja perjalananku kedepan tidak mengalami kecelakaan seperti kedua truk tersebut.
Aku tidak mengambil foto kecelakaan itu dan terus melaju. Hari sudah mulai sore saat aku tiba di kota Nganjuk, ishoma dahulu lah di sekitar alun - alun Nganjuk dan juga masjid Agung Nganjuk yang berada di dekat alun - alun. Saat petang tiba aku tetap melanjutkan perjalananku, keadaan yang mulai gelap membuatku semakin waspada dan juga berkonsentrasi di jalan untuk menghindari hal - hal yang tidak diinginkan.
Dari Nganjuk perjalananku sekarang ialah melewati Kertosono, di sini jalan utama bercabang, yang lurus ke Timur menuju Jombang, sementara yang belok ke Selatan menuju Kediri. Dari pertigaan ini aku mengambil rute ke arah Selatan, tapi tidak sampai ke Kediri karena pada lampu merah kedua aku berbelok ke arah kiri melewati Pare, Kabupaten Kediri yang merupakan jalan tembus menuju Malang.
Tiga jam kemudian sekitar pukul 21.00 WIB aku tiba di kota tujuanku yaitu Malang. Rasanya benar-benar lega setibanya di Malang karena kondisi fisikku saat itu benar - benar sudah letih, lelah, mengantuk, lapar serta kedinginan. Segera saja aku membuat rencana mencari tempat untuk tidur, dan atas saran dari bapak - bapak saat aku melintasi kota Batu beberapa saat tadi aku memutuskan untuk menginap di kantor polisi dengan alasan lebih aman apabila aku menginap di sana.
Segera saja, setelah aku mengisi perut aku segera mencari kantor polisi terdekat. Untunglah saat aku meminta izin kepada petugas polisi yang sedang berjaga, mereka mengizinkanku untuk menginap. Alhamdulillah lah, aku mendapatkan tempat untuk menginap di sini, di musholla kantor polisi, terima kasih pak polisi Malang yang baik, semoga sukses selalu.
Keesokan harinya aku memulai perjalananku menuju Ranu Pani. Sebelumnya tentu saja aku mengisi perut terlebih dahulu sambil jalan-jalan keliling kota “apel” Malang. Beberapa saat kemudian aku tiba di sebuah warung makan yang berada di samping jalan utama kota Malang. Untuk detail kuliner yang disajikan silakan kunjungi TRIT berikut.
Usai mengisi perut hingga kenyang, perjalananku dari Malang menuju Semeru pun dimulai. Dari Malang ambil arah menuju pasar Tumpang, beruntung pula karena warga Malang yang baik hati memberitahuku jalan mana yang mesti aku ambil. Sesampainya di pasar Tumpang terlebih dahulu aku berhenti untuk memfoto copy surat keterangan sehat dan juga KTP untuk perizinan pendakian di Ranu Pani nanti.
Kiri : Bromo, Kanan : Ranu Pani |
Pemandangan di tempat ini sangat disayangkan apabila hanya dilewatkan begitu saja, jalur menuju Bromo yang melewati lembah pegunungan terlihat sangat kecil dari ketinggian. Perjalanan dari gerbang masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sampai Ranu Pani bukanlah sebuah perjalanan yang mudah. Kondisi jalan yang sangat menanjak dan berliku - liku cukup membuat sepeda motor Fit-S ku kewalahan, terlebih lagi di beberapa titik terdapat jalan yang hanya terdiri dari pasir yang membuatku hampir jatuh sebanyak tiga kali.
Untunglah Allah SWT menghendaki aku bisa tiba di Ranu Pani dengan selamat walaupun motorku jadi penuh pasir usai melalui medan yang berat tadi. Yah, akhirnya setelah menempuh jarak sekitar 200 Kilometer aku tiba di Ranu Pani, Gunung Semeru, Jawa Timur.
Road To Bromo |
Tapi untunglah aku sempat mengirim SMS sebelum sinyal HP ku lenyap bahwa aku mengenakan jaket Manchester United berwarna merah sehingga bang Ijul tahu aku yang mana saat dia juga sampai di Ranu Pani ( kami belum pernah bertemu sebelumnya.. hags hags ).
Perjalanan menggapai Mahameru dimulai beberapa saat lagi. Packing ulang terlebih dahulu supaya benar - benar siap untuk menghadapi perjalanan panjang menuju puncak Semeru yang tentu saja berbeda dengan gunung-gunung lainnya seperti Merapi, Merbabu, dan juga Lawu. Setelah semuanya siap perjalananpun dimulai, di sini aku bergabung dengan rombongan dari Jakarta. Dan inilah perjalanan menggapai puncak abadi para dewa dimulai. BISMILLAH....!!
ROAD TO MAHAMERU
Perjalanan dimulai, track awal pendakian ialah menyusuri jalan aspal di sekitar base camp Ranu Pani dengan perkebunan penduduk di sisinya. Jalan aspal berakhir saat kami menjumpai gerbang selamat datang bagi pendaki gunung Semeru. Mulai dari titik ini perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalan setapak, dari jalan utama perjalanan menuju puncak dilanjutkan dengan mengambil jalur yang berbelok ke arah kiri melewati bukit. Setelah beberapa saat berjalan, kami tiba di pos 1 Lendengan Dowo.
Basecamp Ranu Pani |
Di tempat inipun terlihat pula pos selanjutnya yaitu “Watu Rejeng”.Keadaan sudah semakin gelap saat kami melanjutkan perjalanan dikarenakan matahari semakin tenggelam di ufuk barat. Pos selanjutnya ialah Watu Rejeng, sayang dikarenakan sudah gelap maka pemandangan di sini tidak terlihat, padahal jika terang pemandangan di tempat ini ialah berupa tebing.
Selain gelap, suhu udara juga menjadi semakin dingin seiring dengan hadirnya sang malam yang semakin dekat terlebih lagi perjalanan kami semakin mendekati “Ranu Kumbolo” yang memang merupakan titik terdingin di gunung Semeru. Dari kejauhan nyala senter dan api unggun pendaki yang mendirikan camp di sekitar Ranu Kumbolo sudah mulai terlihat, pertanda bahwa pos Ranu Kumbolo sudah dekat. Tentu saja kami semakin bersemangat untuk terus melangkahkan kaki supaya segera sampai di Ranu Kumbolo walaupun udara dingin semakin menggigit kulit dan menusuk sampai ke tulang.
Saat kami tiba di Ranu Kumbolo terlihat danau tersebut seakan - akan mengeluarkan asap yang sebenarnya itu adalah kabut. Pemandangan sebenarnya sangat indah di sini, walaupun malam cahaya bulan purnama mampu untuk menerangi danau Ranu Kumbolo dengan selimut kabutnya. Sayang dinginnya udara membuat kami tidak bisa menikmatinya, fokus kami ialah segera mendirikan tenda, mengisi perut, dan tidur sekaligus menghangatkan diri dari dinginnya Ranu Kumbolo.
Malam semakin larut, tendapun sudah berdiri lengkap dengan “flysheet”nya. Pada malam itu aku mendapat kenalan teman - teman baru yaitu Yanah, Doni, dan Yasir, mereka semua berasal dari Jakarta. Usai tenda digelar kami segera makan lalu tidur mengisi tenaga untuk perjalanan yang masih panjang di keesokan harinya.
Jam 2 pagi aku terbangun dari tidurku, bukan karena rasa kantuk yang sudah terobati, namun karena udara dingin yang semakin menjadi - jadi, ditambah lagi kondisi tenda saat itu basah karena kabut tebal Ranu Kumbolo yang ternyata sampai ke dalam. Rasanya udara dingin benar - benar menusuk hingga ke dalam tulang, benar - benar dingin udara pagi itu sehingga kami harus berdempet - dempetan saat tidur agar tidak kedinginan.
Setelah beberapa jam bertahan di dalam dingin dan selimut kabut Ranu Kumbolo akhirnya fajar pun sebentar lagi tiba. Langit timur yang berada di antara dua bukit sudah tampak sedikit cerah, kegelapan malam perlahan sirna. Walaupun demikian dinginnya Ranu Kumbolo seakan enggan untuk beranjak, udara masih tetap dingin, oleh karena itu aku memutuskan untuk keluar tenda dan berjalan - jalan sekaligus menghangatkan tubuh yang kedinginan ini.
Lambat laun langit menjadi semakin cerah seiring pagi yang tinggal menunggu hitungan menit. Keadaan yang mulai terang membuat aku mulai mengeluarkan kamera untuk mendokumentasikan keadaan sekitar. Ternyata untuk mengambil foto pada kondisi udara dingin tidaklah mudah, tanganku bergetar menahan dingin, bahkan untuk mengambil foto aku harus menahan nafas agar tanganku tidak bergetar saat menahan dingin.
Perlahan sang surya mulai muncul dibalik tirai kabut, menyinari Ranu Kumbolo yang dingin. Aku sempat tidak percaya akan apa yang aku lihat saat itu, pemandangan benar - benar terlihat seperti di dalam mimpi. Matahari yang muncul di antara dua bukit mengingatkanku pada gambaran masa kecilku, yang mana matahari keluar di tengah - tengah antara dua gunung, sementara danau Ranu Kumbolo yang terlihat seakan-akan mengeluarkan asap semakin menambah indah dan menakjubkannya kondisi saat itu.
Indah dan hangatnya Ranu Kumbolo seakan - akan melupakan saat - saat berjuang menahan dingin tadi malam. Momen tersebut tentunya aku manfaatkan untuk mengambil gambar sebanyak - banyaknya, kapan lagi aku bisa ke Ranu Kumbolo lagi..?
PERJALANAN BERLANJUT
Detik demi detik berlalu, saatnya untuk bersiap - siap kembali untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang, sayang bang Ijul tidak bisa melanjutkan perjalanan karena fisik drop, jadilah aku melanjutkan perjalanan bersama teman - teman baru yang baru saja aku kenal. Pukul 9 pagi usai sarapan dan berkemas kami mulai bertolak meninggalkan Ranu Kumbolo.
Tanjakan Cinta |
Bagiku tentunya percaya tidak percaya sih, tapi aku tetap mencobanya sambil membayangkan orang yang ada di hatiku saat itu dan akupun berhasil mencapai puncak tanjakan tanpa menoleh ke belakang ( yang sebenarnya menyajikan pemandangan Ranu Kumbolo yang sangat indah ). Tentu saja aku tetap berdoa kepada Allah SWT mengenai apa yang aku inginkan.
Tanjakan Cinta telah terlewati, kini terbentang luas di hadapan kami sebuah padang rumput luas yang dinamai “Oro-oro Ombo”. Di sini kami harus melewati tengah - tengah padang rumput tersebut. Sayang musim kemarau menyebabkan padang rumput tak lagi berwarna hijau, warna kuning adalah warna ilalang yang berdiri di samping kiri - kanan kami.
Oro - Oro Ombo |
Sementara itu puncak Mahameru mengintip di balik bukit yang membentang di depan kami. Akhirnya kamipun tiba di ujung dari “Oro-oro ombo”, kamipun tiba di tempat selanjutnya yang dinamai “Cemoro Kandang”. Tempat yang kami lalui selanjutnya ini berupa hutan yang ditumbuhi oleh banyak pohon cemara. Dari sini jalan mulai menanjak walaupun tidak terlalu terjal, bagiku tanjakan seperti ini masih terlalu mudah karena hampir terasa seperti jalan - jalan di tempat yang datar.
Perjalanan kami kali ini ialah mengitari sebuah bukit untuk menuju pos selanjutnya yang ternyata cukup jauh walaupun hanya mengitari bukit yang “kelihatannya” kecil. Setelah beberapa lama akhirnya kamipun tiba di pos selanjutnya.
Pos selanjutnya bernama “Jambangan” yang berada di ketinggian 2600 meter di atas permukaan laut. Pemandangan di sini sungguh bisa membuatku merinding karena “Atap pulau Jawa” yaitu kubah Mahameru tampak menjulang tinggi di depan, merinding bukan karena Mahameru nya, tapi karena itulah salah satu bukti kebesaran Illahi.
Pos Jambangan yang membuat merinding bukan berarti tempatnya menyeramkan, Jambangan tetap saja merupakan suatu tempat yang indah terutama karena bunga Edelweiss yang banyak tumbuh di tempat ini. Beruntung karena bunga sedang mekar-mekarnya, memancarkan warna kuning cerah nan cantik rupawan.
Perjalanan kami berlanjut, kondisi jalan yang kami tempuh sekarang kondisinya berupa turunan yang tidak terlalu curam. Tentu di dalam hati aku bertanya-tanya, mengapa semakin dekat menuju kubah kondisi jalur malah menurun..? Mungkinkah menjelang puncak nanti akan ada tanjakan super tinggi yang menghadang kami..? Yah, we’ll find it soon..Pukul 13.00 WIB kami tiba di pos “Kalimati”.
Diberi nama Kalimati karena di sekitar pos ini terdapat bekas sungai aliran lahar gunung Semeru yang telah mati. Sekitar 15 menit dari pos Kalimati terdapat pula sumber air bernama “Sumber Mani” yang merupakan sumber air terakhir menuju puncak. Rombongan memutuskan untuk nge-camp di Kalimati dan mempersiapkan diri menuju puncak. Setelah makan, kami langsung saja tidur di dalam tenda untuk mengisi tenaga.
Pukul 23.00 WIB, setelah berkemas rombongan mulai bersiap menggapai sang Mahameru yang berdiri tegak di bawah gelapnya langit malam saat itu. Dari sini kami tidak lagi membawa carrier dan perlengkapan lengkap lainnya, kami hanya membawa minum beberapa botol saja dan barang - barang kami lainnya ditinggal di dalam tenda.
Memang inilah yang harus dilakukan mengingat beratnya medan yang akan kami lalui nanti ( padahal aku belum pernah melewatinya ). Dan akhirnya kami mulai bergerak. Dari Kalimati kami menuju arah timur sedikit, kemudian berbelik ke arah utara dan melewati turunan. Setelah turunan kami mulai masuk hutan kembali sekaligus disambut oleh tanjakan yang cukup terjal. Kondisi medan selain menanjak juga berdebu sehingga kembali kami harus mengencangkan masker kami agar debu tidak masuk ke saluran pernapasan.
Kalimati |
MAHAMERU..!!
Setelah mengisi tenaga di Arcopodo kami segera kembali berjalan. Beberapa saat kemudian sampailah kami di perbatasan antara hutan dan medan berpasir. Meskipun malam kubah Mahameru tampak samar-samar menjulang tinggi di langit malam. Di hadapan kami tersaji pula sebuah tanjakan yang benar-benar menguji mental. Kami pun segera naik melewatinya. Sementara itu cahaya lampu senter para pendaki terlihat berjajar menuju puncak. Dari sini rombongan terbagi 2.
Beberapa orang berjalan duluan, sementara aku dan beberapa orang belakangan. Sayang, 2 orang temanku yaitu Yanah dan Doni tidak bisa melanjutkan perjalanan. Kondisi fisik Yanah drop dan ia turun didampingi oleh Doni. Jadilah sisa yang belakangan tinggal aku, Yasir, dan satu teman lagi asal Bogor yaitu mbak Sani. Perjalanan kami bertiga bisa dibilang sangat lamban, terlebih lagi kondisi mbak Sani yang saat itu tidak begitu baik membuat aku harus mendampinginya.
Rute Arcopodo – Mahameru benar-benar berbeda dari rute yang sebelumnya. Rutenya ialah rute khas menuju puncak gunung api yang terdiri dari pasir halus dan bebatuan yang selain melelahkan juga berbahaya. Meleleahkan..! Ya, selain menanjak terjal jalan jalan yang terdiri dari pasir membuat usaha untuk naik semakin berat, seperti yang dikatakan banyak orang yang melakukan summit menuju Mahameru “Naik tiga kali turun dua kali”. Bahaya..!!
Tentu saja, selain rutenya yang hanya sempit ancaman longsoran batu juga siap mengancam beberapa kali. Bahaya longsoran batu paling sering disebabkan oleh pendaki yang menginjak batu dan batu tersebut longsor sehingga pendaki di bawahnyalah yang harus bersiap - siap menghindari batu tersebut karena bisa saja nyawa melayang jika kena, bahkan kami bertiga dua kali nyaris terkena longsoran.
Sementara itu langit yang gelap perlahan mulai terang. Dari ufuk timur sang surya mulai menunjukkan tanda akan menampakkan dirinya. Walaupun begitu kami belum sampai di puncak. Beberapa saat kemudian aku bertemu dengan salah satu rombongan depan, jadilah aku memasrahkan mbak Sani padanya dan segera aku manuver ke puncak.
Aku akui fisik ku juga turut drop karena terlalu banyak istirahat sehingga aku harus menggunakan tongkat yang aku temukan di jalan sebagai alat bantu. Sang surya pun akhirnya keluar. Aku terus melangkahkan kaki menuju “Tanah Tertinggi Pulau Jawa”. Dan akhirnya sekitar pukul 06.30 WIB aku berhasil menggapainya.
Tak ada kebanggaan saat aku berdiri di atas sang Mahameru. Seperti liriknya “MAHAMERU SADARKAN ANGKUHNYA MANUSIA”, di puncak Allah SWT benar - benar menunjukkan kuasanya melalui pemandangan alam yang menakjubkan. Selain itu beratnya medan menuju puncak tadi seakan - akan adalah suatu teguran dari Allah SWT untukku agar semakin dekat dengan-Nya.
Dan inilah aku di puncak Mahameru, tempat yang ku impikan selama ini. Ya, sebuah keberhasilan tanpa kebanggaan. Alangkah menakjubkan nya pemandangan dari puncak. Di sebelah timur puncak Argopuro berdiri memanjang dengan lautan awan di sekitarnya, di sebelah utara aku bisa melihat kompleks gunung Bromo terutama gunung Batok yang terlihat, di sebelah barat tampak gunung Arjuno-Welirang menjulang tinggi di bawah langit biru, di sebelah selatan kawah Jonggring Saloka menganga sembari mengeluarkan letupan setiap kurang lebih lima belas menit sekali.
SUBHANALLAH..!! Itulah kata yang berulang-ulang keluar dari mulutku, mengagumi kebesaran Allah SWT, Tuhan Semesta Alam. Walaupun matahari bersinar cerah, namun suhu udara di puncak benar-benar sangat dingin, saat itu kurang lebih hanya 4 derajad celcius. Ditambah lagi angin yang saat itu berhembus kencang menambah dinginnya "Puncak Abadi Para Dewa".
Waktu terus berlalu, para pendaki mulai turun meninggalkan puncak. Tibalah saatnya aku juga harus meninggalkan puncak Mahameru. Perlu diketahui bahwa semakin siang arah angin akan berubah menuju puncak, membawa gas beracun dari kawah Jonggring Saloka. Yah, selamat tinggal wahai Mahameru. Semoga aku bisa kembali lagi menyapamu..
PERJALANAN TURUNPerjalanan turun dari puncak Mahameru bisa dibilang cukup mudah karena medan pasir bisa digunakan untuk "sandboarding" saat turun. Hanya membutuhkan setengah jam saja hingga sampai batas vegetasi kembali. Hmm.. Untuk naik saja butuh enam jam, ternyata turunnya cepat sekali.
Terdapat satu hal penting saat perjalanan turun dari Mahameru sampai Arcopodo. JADIKAN BENDERA / CEMARA TUNGGAL SEBAGAI PATOKAN..!!!! Mengapa sampai demikian..? Karena terdapat jalur yang mengarah ke "DEATH ZONE" Semeru yaitu Blank 75, jurang sedalam 75 meter. Tempat ini berada di sebelah timur laut puncak, sedangkan jalan turun ialah tepat di sebelah selatan puncak.
Sampai di Kalimati aku kembali lagi bersama rombongan, setelah istirahat dan makan kami mulai melanjutkan perjalanan turun sekitar pukul 14.00 WIB. Pukul 17.00 WIB kami tiba kembali di Ranu Kumbolo. Di sini kami bertemu lagi dengan bang Ijul yang memang menunggu kami di sini. Setelah beristirahat sejenak dan juga berfoto, rombongan segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Di sini aku dan juga rombongan berpisah dengan bang Ijul, Doni, Yanah, dan Yasir yang memutuskan untuk nge-camp selama satu malam lagi di Ranu Kumbolo. Semoga kita bertemu lagi kawan..!!
Pukul 21.00 WIB akhirnya kami tiba di Ranu Pani kembali setelah perjalanan yang panjang menggapai Puncak Abadi Para Dewa. Kami menginap di salah satu penginapan di dekat pos registrasi yang memang disiapkan untuk pendaki yang ingin bermalam.
Pagi harinya aku menyempatkan diri terlebih dahulu untuk mengunjungi Ranu Regulo yang terletak tak jauh dari Ranu Pani. Dan setelah makan dan berpacking, akupun siap untuk menempuh perjalanan panjang menuju Solo. Well, akhirnya inilah akhir dari petulanganku menggapai Puncak Abadi Para Dewa. Semua pengalaman, teman - teman baru, dan juga pelajaran - pelajaran berharga ini tak akan pernah aku lupakan sepanjang hayat...
RINCIAN BIAYA SOLO - RANU PANI
smbr info : http://www.belantaraindonesia.org