Perubahan iklim, kekeringan,
kerusakan keanekaragaman hayati, terus berdampak pada bisnis global. Hal ini
terungkap dalam laporan terbaru berjudul "GEO-5 for Business: Impacts of a
Changing Environment on the Corporate Sector" yang dirilis Jum'at (21
Juni) yang disusun oleh Program Lingkungan PBB (UNEP) dan SustainAbility and
Green Light Group.
Menurut UNEP, beradaptasi sejak
dini terhadap perubahan lingkungan akan membuka peluang bagi penerapan ekonomi
hijau yang menguntungkan perusahaan. Perubahan lingkungan dunia akan terus
menambah biaya operasi perusahaan, mengganggu pemasaran produk, ketersediaan
bahan baku dan bahkan bisa merusak reputasi bisnis perusahaan.
Sehingga masa depan sektor swasta
akan bergantung pada kemampuan mereka beradaptasi di kondisi lingkungan yang
terus berubah akibat perubahan iklim, cuaca ekstrem, kekeringan, polusi
berbahaya dari bahan-bahan kimia dan masalah-masalah lingkungan lainnya.
Namun semua tantangan tersebut
membuka peluang bagi perusahaan untuk mengelola risiko dengan baik dengan
bantuan teknologi, investasi dan jasa-jasa yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Melalui analisis mendetil di
berbagai industri: bangunan, kimia, pertambangan, pangan dan industri-industri
yang lain, GEO-5 for Business memberikan gambaran ancaman dan potensi untuk
beralih ke sistem ekonomi yang berkelanjutan yang memiliki dampak positif dalam
jangka panjang.
Laporan ini juga menunjukkan,
frekuensi cuaca ekstrem - akibat perubahan iklim - terus meningkat menimbulkan
kerugian besar di berbagai sektor. Banjir besar di Australia pada 2010-11,
misalnya, membuat perusahaan reasuransi, Munich Re, menanggung klaim sebesar
lebih dari $350 juta mengurangi 38% laba tiga bulanan perusahaan. Pada periode
yang sama di Australia, grup perusahaan pertambangan Rio Tinto juga merugi
hingga US$245 juta akibat cuaca ekstrem.
Peningkatan temperatur juga akan
mengganggu bisnis pariwisata. Jika suhu pada musim dingin naik antara 2,5°
hingga 4°F, separuh dari resort ski di bagian utara Amerika Serikat akan
terganggu operasinya dalam 30 tahun ke depan.
Penelitan UNEP mengungkapkan
lebih dari 80% modal yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim bisa
datang dari sektor swasta. Proses ini membuka peluang bisnis bagi terwujudnya
ekonomi hijau di sektor keuangan, teknologi efisiensi energi, transportasi yang
berkelanjutan dan infrastruktur rendah karbon yang lain.
Kota-kota dunia juga memerlukan
penambahan infrastruktur hingga 60% guna memenuhi kebutuhan populasi perkotaan
dunia pada 2050. Hal ini membuka peluang bagi perusahaan untuk menciptakan
infrastruktur yang lebih hijau dan bangunan yang lebih ramah lingkungan. Setiap
hari terdapat lebih dari 139,335 meter persegi bangunan yang memeroleh
sertifikasi hijau.
Kondisi kekurangan air tetap
menjadi tantangan terbesar bagi industri yang diulas dalam GEO-5 for Business.
Perusahaan pariwisata, kimia dan sektor lain bisa mengalami penambahan biaya
operasional. Di Afrika Selatan, tambang platinum di Sungai Olifants akan
menanggung biaya air 10 kali lipat pada 2020 dibanding biaya mereka saat ini.
Kompetisi dengan komunitas lokal dalam memerebutkan air atau sumber daya alam
yang lain inilah yang bisa merusak reputasi perusahaan jika tidak dikelola
dengan baik.
Hijau.Com