Tak hanya itu, masyarakat mencari makanan dan obat - obatan dari hutan, dan menanam hasil bumi di tanah subur itu. Bahkan, pewarna alami tenunan diperoleh dari tumbuh - tumbuhan alam ini. Hubungan spiritual warga dan lingkungan begitu kuat. Tak heran, kala alam hendak diganggu, penolakan muncul. Mama Aleta, tampil menjadi motor penggerak.
Di desanya, Mama Aleta dikenal gigih sebagai pejuang dan pembela hak - hak asasi manusia. LulusanSMA Kristen Timor Tengah Selatan ini mengaku tertarik dengan dunia pemberdayaan masyarakat melalui kisah masa kecilnya.
Lahir dari keluarga petani, anak ke - 6 dari 8 bersaudara ini mengaku sejak kecil dekat dan menyatu dengan alam. Baginya, tanah kelahiran itu memiliki keindahan yang membuat pihak lain terpesona. Belum lagi tanahnya memiliki situs batu bersejarah serta mengandung pualam dan marmer.
Dalam sebuah wawancara, Mama Aleta mengungkapkan motivasi terbesarnya dalam menantang korporasi besar untuk melindungi lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
Mama Aleta juga mengungkapkan aksi protesnya telah dia mulai para tahun 1999, tiga tahun setelah para perusahaan tambang marmer memulai kegiatannya di wilayah Molo. Dan baru tujuh tahun kemudian dia berhasil meyakinkan ratusan perempuan Molo untuk ikut mendukung aksi protesnya yang pada akhirnya berhasil menyingkirkan para penambang dari daerah tersebut.
Namun Mama Aleta menganggap tugasnya belum selesai. Untuk memastikan lingkungan wilayah Molo dan komunitas masyarakat didalamnya mendapat perlindungan dari undang - undang, masih banyak yang harus ia lakukan.
“Saya bekerja sama dengan suku adat Molo dan berbagai komunitas pribumi lain di kawasan ini dalam memetakan wilayah kami. Tujuannya ialah untuk memulihkan hak atas tanah kami dan memastikan bahwa tanah itu dilindungi oleh undang - undang, serta melestarikan dan melakukan rehabilitasi di area yang rusak,” lanjut Mama Aleta.
Bukan hanya itu, Mama Aleta juga masih berusaha melakukan pelestarian daerah hulu wilayah Molo yang merupakan sumber air bagi seluruh pulau Timor serta mengusahakan hak tanah bersama yang akan dikelola oleh komunitas masyarakat setempat. Mama Aleta berjuang utuk apa yang diyakininya dan banyak menginspirasi sesama tidak dengan wacana muluk - muluk, melainkan dengan melakukan apa yang ia bisa.
Perjuangan Mama Aleta demi mempertahankan kelestarian wilayahnya semakin berat manakala dia harus berhadapan dengan pemerintah setempat yang menuduhnya telah menyerobot hutan. Aparat pun memasang pengumuman untuk menangkap dan membunuh Mama Aleta.
Sukses Usir Investor
Pada 2001, perjuangan Mama Aleta dan masyarakat Molo membuahkan hasil manis. Mereka sukses mengusir investor tambang marmer dari wilayah Molo meskipun Gunung Anjaf dan Gunung Nausus yang menjadi tulang punggung masyarakat Molo terbelah karena ledakan dinamit. Keberhasilan Aleta terulang dua tahun kemudian. Perempuan yang pernah mendapat nominasiWomen’s Nobel Prize for Peace itu berhasil merebut tanah adat seluas 6 ribu hektare.
Selama ini, masyarakat Molo memang terbiasa hidup bersahabat dengan alam. Mereka memperlakukan alam seperti anggota tubuh mereka sendiri. Batu diibaratkan tulang punggung, hutan adalah rambut, dan air ibarat darah. Oleh karena itu, mereka pantang merusak alam yang telah memberikan kehidupan.
Sebelum terjadi kerusakan lingkungan akibat usaha pertambangan, Molo merupakan wilayah yang kaya dengan hasil perkebunan. Masyarakat Molo banyak yang bekerja sebagai petani. Mereka menanam kopi dan jeruk. Bahkan, Molo pernah pula dikenal sebagai kota apel sebelum adanya serangan hama wereng. Sayangnya, saat ini Molo telah berubah menjadi daerah yang rawan longsor, rawan pangan, kekeringan, dan hujan berlebihan.
Kerusakan lingkungan tersebut selain menghilangkan sumber pangan juga menjadi pemicu utama hilangnya budaya daerah. Sebagai contoh, selama ini dalam pandangan masyarakat Molo, batu merupakan kekayaan yang memiliki nilai budaya tinggi. Pasalnya, mereka menamakan marga penduduk dari nama - nama batu, seperti baxun. Namun, dengan adanya penambangan, batu - batu yang ada di pegunungan pun menjadi hilang yang artinya tidak ada lagi nama-nama marga warga Molo.
Meskipun ancaman demi ancaman terus diterima, Mama Aleta mengaku tidak gentar menghadapinya. Tekadnya telah bulat untuk menyelamatkan tanah kelahirannya. “Kampung kami sangat indah. Kami memiliki bukit, pohon ekaliptus, batu marmer, hutan, dan padang yang luas untuk menggembalakan hewan ternak,” tandasnya.
Perjuangan Mama Aleta pun tampaknya masih harus terus berlangsung. Di satu sisi, ia tak memungkiri, terkadang ia merasa lelah terus-menerus berupaya mempertahankan kelestarian alamwilayahnya. Namun, rasa lelahnya itu segera terkalahkan dengan tekadnya untuk tidak memberi ruang kepada orang lain yang ingin menguasai kampung halamannya.
Mama Aleta, perempuan yang pernah memperoleh penghargaan Saparinah Sadli, tidak ingin hanya terpaku pada pekerjaan rumah tangga. Tak heran jika dia dikenal sebagai salah satu pegiat lingkungan hidup yang sering melakukan advokasi ke berbagai tempat. Meskipun aktivitasnya di luar rumah cukup padat, Aleta tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang istri dan ibu. Bahkan, pelbagai aktivitas yang dilakukannya merupakan upaya untuk turut mencukupi kebutuhan pangan keluarga.
“Perempuan tidak hanya dapat melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, tetapi juga harus gencar memerangi kerusakan alam yang dapat menghilangkan sumber pangan. Jika tidak ada hutan, mereka tidak mempunyai kayu sebagai sumber bahan bakar. Jika tidak ada air, mereka juga tidak dapat memasak,” kata Mama Aleta.
Berdasarkan prinsip itu pula ia tidak pernah surut semangatnya dalam menjaga lingkungan alam. Tidak hanya itu, ia juga berprinsip kekayaan daerah tidak boleh direbut oleh orang lain. “Kalau saya tidak mempertahankan, kampung akan hilang,” tandasnya.
Di bulan April 2013, kegigihan Mama Aleta yang keras bagai baja dalam melindungi lingkungan Molo mendapatkan pengakuan internasional melalui penghargaan Hadiah Lingkungan Hidup Goldman 2013.
Selain Mama Aleta, masih ada lima pemenang lain yang berasal dari Amerika Serikat, Afrika Selatan, Kolombia, Irak dan Italia yang berjasa dalam berbagai usaha pelestarian lingkungan dari tingkat akar rumput. Viva Mama Aleta!
Tempat / Tanggal lahir : Lelobatan, Molo, Timor Tengah Selatan, 16 April 1963
Pekerjaan : Aktivis Perempuan dan Lingkungan Hidup
Pendidikan : SMA
Nama suami : Listhus Sanam
Nama anak : Maria ( 13 tahun ), Yordan ( 10 tahun ), AI Nina ( 5 tahun )
Penghargaan : Saparinah Sadli ( 2006 )