“Dekat dari instalasi pengolahan air bersih dan dilintasi transmisi listrik, namun warga Teluk Lengung belum menikmatinya”
Bendungan (dam) Duriangkang menjadi jalan pintas warga Telagapunggur-Tanjungpiayu. Tampak di kejauhan Kampung Teluk Lengung (kanan) dari Kampung Bagan.
Matahari begitu menyengat kulit, badan yang terbungkus jaketpun menjadi gerah ketika menelusuri perkampungan tua tak jauh dari Dam Duirangkang, Rabu siang (27/4) lalu.
Debu berterbangan ketika roda sepeda motor melindas tanah merah di area instalasi pengelolahan air bersih PT Adhya Tirta Batam (ATB) di Kampung Bagan, Kecamatan Seibeduk.
Pesona Dam Duriangkang dan rimbunnya pepohonan hutan tampak memesona dipandang dari tanah tinggi di pinggir dam penyuplai air bersih itu.
Dam yang juga dipakai sebagai penghubung Kampung Bagan dan Telagapunggur itu digunakan penduduk setempat sebagai jalan pintas. ”Orang Punggur (dari arah Telagapunggur) selalu lewat sini jika ingin ke Tanjungpiayu atau Mukakuning, orang Piayu juga begitu sebaliknya. Kalau mutar lewat Batam Centre kejauhan,” kata Ahmad Khoiri, 30.
Di sebelah kiri air tawar, air laut yang dibendung untuk kebutuhan warga Batam, dan di sebelah kanan adalah air laut, dipisah oleh dam itu. Di pesisir sekaligus di pinggir Hutan Telagapunggur itulah rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu penduduk Kampung Teluk Lengung berjejer.
Di sebelah kiri air tawar, air laut yang dibendung untuk kebutuhan warga Batam, dan di sebelah kanan adalah air laut, dipisah oleh dam itu. Di pesisir sekaligus di pinggir Hutan Telagapunggur itulah rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu penduduk Kampung Teluk Lengung berjejer.
Kampung itu sebenarnya terdiri dari dua kampung, yakni Teluk Mambang dan Telung Lengung. Teluk Mambang berada tak jauh dari areal Bumi Perkemahan Telagapunggur. Hanya beberapa meter saja. Sedangkan Teluk Lengung agak jauh lagi, kita harus melewati jalan tanah beberapa kelok lagi untuk mencapai kampung Teluk Lengung.
Di Kampung Teluk Mambang, sedikitnya empat buah rumah beton sudah dibangun di area kebun. Tak lagi dibangun di pinggir pantai.
Penduduknya tak sebanyak yang ada di Teluk Lengung. Hanya beberapa rumah saja.”Kampung kami seperti hilang dari peta Batam sehingga banyak yang gak tahu tentang kampung kami ini. Sering orang yang ingin pergi ke Telagapunggur nyasar ke sini. Mereka kira ini (Kampung Teluk Mambang) Telagapunggur,” kata Muhammad Tik, 78, salah seorang yang dituakan di kampung itu ketika ditemui saat berbincang dengan warga Teluk Mambang lainnya di bawah pohon dekat rumah beton yang mereka garap.
Perawakan tubuhnya yang kurus dan kulitnya yang sudah keriput tak membuat gerak langkahnya melemah. Cara bicaranyapun tegas. Tik, begitu kakek berkacamata ini disapa dengan ramah mau bercerita dan bersedia menemani melihat kondisi pelantar rumahnya yang mulai reyot.
”Mayoritas pekerjaan kami adalah nelayan, yang menggantungkan hidup dari laut dan sungai di sekitar sini,” ungkap Tik memulai ceritanya sembari mengambil rokok dan koreknya yang ia bungkus dengan kantong plastik lalu menyulutnya.
Menurut Tik, sebelum Teluk Lengung dibendung (dam), ikan, kepiting, dan udang mudah mereka dapat.”Dapat lima kilo dulu biasa, sekarang untuk mendaptakan satu kilo saja susah,” keluhnya yang diamini warga lainnya.
Hasmadi, 45, warga lainnya mengatakan tidak hanya karena bendungan itu saja, faktor lainnya adalah sampah dan reklamasi.”Kalau hujan, airnya menjadi dua warnanya, cokelat dan hitam,” ujarnya kesal.
Hasmadi, 45, warga lainnya mengatakan tidak hanya karena bendungan itu saja, faktor lainnya adalah sampah dan reklamasi.”Kalau hujan, airnya menjadi dua warnanya, cokelat dan hitam,” ujarnya kesal.
”Kalau turun masang bubuh ke Sungai Deras (Sungai ini membelah Teluk Lengung sepanjang kira-kira 2 km) cari ketam dan kepiting, atau kalau sedang menjala udang, begitu kita naik ke darat badan seperti ada yg nusuk-nusuk gatal,” tukas Hasmadi.
”Baunya busuk!” celetuk Tik.
”Belum lagi lalat hijaunya, gelas teh pasti penuh kalau gak ditutupi,” keluh Hasmadi lagi..
Terdapat 60-an kepala keluarga yang mendiami dua kampung itu. Secara administrasi dua kampung itu disebut Teluk Lengung, masuk wilayah kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa.
Terdapat 60-an kepala keluarga yang mendiami dua kampung itu. Secara administrasi dua kampung itu disebut Teluk Lengung, masuk wilayah kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa.
Statusnya kini menjadi Kampung Tua. Ini ditandai dengan dibangunnya tugu Kampung Tua yang dibangun di tengah-tengah kampung pesisir itu. Ironisnya kampung tua tersebut belum menikmati layanan listrik dan air bersih, meskipun dekat dengan pusat instalasi air bersih dan dilewati menara transmisi PT PLN Batam.”Katanya, warga kami tidak memenuhi kuota, belum nyampe seratus KK, makanya listrik dan air belum masuk,” ungkap Hasmadi, 45.
Keluhan senada diucapkan Bujang, 40, ”Maunya listrik masuk, anak-anak kami kesulitan ketika akan belajar di malam hari. Katanya Batam madani, apalagi kampung kami sudah kampung tua, kenapa masih begini? Kami ingin seperti yang lain,” tukas mantan ketua RT ini.
Suasana sore di Kampung Teluk Lengung tampak asri. Sejumlah remaja tampak asyik bermain sepak bola di lapangan voly. Remaja puterinya juga nyaman bercanda dengan orang tuanya di serambi rumahnya. Sedangkan bapak-bapak mereka, sebagian membenahi alat tangkap ikan mereka untuk persiapan melaut. ”Kalau siang begini masih enak, kalau malam itu yang kurang nyaman. Untung ada bantuan mesin diesel dari wali kota yang dulu, jadi agak membantu kami meskipun hanya menyala dari jam 6 sore sampai 11 malam,” tutur Nursiah, 35, warga Teluk Lengung di depan warungnya.
Menurut Nursiah, warga Teluk Lengung harus urunan untuk membeli solar. ”Rp6 ribu per kepala keluarga,” katanya. (esont)***
Galeri Foto :
Rumah panggung Teluk Lengung berdiri di atas bibir pantai.
Suasana sore di Kampung Teluk Lengung.
Remaja Teluk Lengung bermain sepak bola.
Tugu kampung tua di tengah-tengah Kampung Teluk Lengung. (By esont)***