Gbr Syekh Yusuf |
Makam Syekh Yusuf di Lakiung, Kabupaten Gowa. |
Menurut catatan sejarah, ulama bergelar Tuanta
Salamaka ini adalah juru dakwah yang pernah mensyiarkan ajaran Islam hingga ke
pelosok Afrika Selatan. Di negara tuan rumah Piala Dunia 2010 itu, putra angkat
Raja Gowa Sultan Aluddin ini mengislamkan beberapa penduduk di sana, dan
mengajarkan Tarekat Qadiniyyah, Shattariyyah, dan Rifaiyyah.
Bagi kita yang hidup, ziarah
kubur dilakukan untuk mengingat mati. Itu saja. Adapun membawa hewan, itu hanya untuk menyelesaikan
nadzar yang sudah mentradisi. Sebetulnya hal itu tidak berkaitan dengan ajaran
islam
Ketika wafat pada tanggal 23 Mei
1699 beliau dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal ‘Karamah’ dan
ramai diziarahi banyak orang dari penjuru negeri, hingga detik ini. Di masa I
Mappadulung Daeng Muttiang, Raja Gowa ke-19 ini
meminta kepada VOC agar jenazah Syekh Yusuf dibawa ke tanah
kelahirannya. Permintaan ini dikabulkan. Tepat pada 6 April 1705 dimakamkan
kembali di Lakiung, Kabupaten Gowa.
Siang itu, di pertengahan Maret
yang cukup basah, saya berkesempatan menziarahi Makam Syekh Yusuf di Kabupaten
Gowa. Dari gerbang pintu masuk utama, terlihat deretan kendaraan memadati bibir
jalan. Kondisi ini cukup menghalau sejumlah pengendara. Belum lagi keadaan jalan di depan makam dalam
kondisi rusak berat. Beberapa retakan telah membentuk “telaga kecil” yang kapan
saja digenangi air hujan bisa menghalau arus kendaraan dari dua arah brerlawana
menuju Gowa dan Makassar.
Tempat peristirahatan terakhir Syekh Yusuf, Tuanta Salamaka |
Kala itu waktu menunjukan tepat
pukul 12.00. Untuk sementara, saya
mengurungkan masuk makam, mengingat waktu Dzuhr telah masuk, dan
tentunya kesempatan berziarah ditunda hingga pukul 12.30.
Usai sholat, saya melintasi koridor penghubung masjid dan makam
tua sufi karismatik itu. Sebagai bentuk penghormatan pada tempat suci ini, saya
menanggalkan alas kaki, lalu melangkah pelan sambil melirik beberapa kuburan
tua di ke dua sisi koridor yang panjangnya sekitar 50 meter.
Pintu masuk ke Makam |
Di dalam kubah yang ketinggiannya
mencapai sembilan meter terdapat sembilan makam. Selain Syekh Yusuf, istri beliau I Sitti Daeng Nisanga dengan
setia menemaninya, tepat berada di sebelah kiri dari pintu masuk. Lalu makam
Raja Gowa ke-19, I Mappadulung Daeng Muttiang bersebelahan dengan makam
istrinya, Karaengta Panaikang.
Meski terasa adem dan nyaman,
suasana khidmat tak bisa jauh dari dalam kubah ini. Bau dupa bercampur aroma
khas irisan daun pandan dan aneka macam bunga menguat, bagai merayap di dinding-dinding kubah, dan
mengekor di setiap hembusan napas pengunjung serta alunan zikir yang terdengar
lamat-lamat.
Beberapa makam lain |
Sambil membaca wirid, pemuka
agama yang sekaligus juru kunci makam, memberikan isyarat untuk para pengunjung
menaburkan kembang di atas pusara Syekh Yusuf. Usai bermunajat, penziarah yang
datang bersama rekanya itu, mengambil bingkisan yang dibalut kain putih dari
kantong kecil di dekatnya. Bingkisan mini itu berisikan kembang kertas warna
merah muda bercampur daun pandan yang dipotong kecil. Mereka lalu menaburkan
seluruh isinya hingga tak ada satu kembangpun yang tersisa. Tidak hanya taburan
kembang, lelaki plontos yang menemani wanita berkulit putih itu mengeluarkan sebotol wewangian
dari kantong celana panjang hitamnya. Cairan kental berwana merah darah itu
lalu dibasahi ke seluruh permukaan
nisan. Seketika wangi melati menyeruak di antara bau kemenyan. Usai berdoa
penziarah lalu bersalaman dengan toko agama yang telah menemani mereka
berwirid. Tidak lupa menyisipkan beberapa lembar uang, sebagai imbalan atas
jasa wiridnya.
Beberapa menit kemudian, saya
lebih mendekat ke makam. Di dekat saya, seorang
wanita parubaya, berkaos lengan pendek tanpa kerudung sebagaimana
lazimnya penziarah lainnya, sedang asyik
menggengam seekor ayam hitam di tangan kanannya. Rekannya lebih heboh lagi, seekor kambing
hitam berjanggut, ia boyong masuk ke areal makam. Pemandangan ini kontan
menjadi perhatian saya. Kedua hewan itu
telah berada di depan nisan. Selain suara wirid, suara kambing ikut terdengar,
mengotori suasana khidmat. Kambing itu ternyata berulah. Hingga akhirnya
ditarik keluar secara paksa, meski dalam
keadaan leher terlilit temali.
Tempat pengunjung menunggu |
“Kambing dan ayam itu adalah
nadzar yang telah mereka janjikan ketika menginginkan sesuatu dulu. Sekarang
mereka datang untuk menyelesaikan nadzarnya. Selanjutnya, kambing dan ayam itu
diterima oleh yayasan Syekh Yusuf,” jelas Daeng Liong.
Juru kunci yang sudah 10 tahun
dipercayakan oleh yayasan ini menambahkan, dalam tardisi dan etika ziarah kubur
intinya mendoakan dan sekaligus sebagai renungan atau intropeksi umat Islam
untuk senantiasa mengingat mati. Adapun kebiasan warga membawa ayam atau
kambing adalah bentuk nadzar yang
dijanjikan penziarah, dan ini sudah
menjadi tradisi.
“Bagi kita yang hidup, ziarah
kubur dilakukan untuk mengingat mati. Itu saja. Adapun membawa hewan, itu hanya untuk
menyelesaikan nadzar yang sudah mentradisi. Sebetulnya hal itu tidak berkaitan
dengan ajaran islam,” ungkap Yusuf tegas.
Salah seorang penzirah asal
Palopo Hatta Kumala, mengatakan ”Kunjungan saya
ke makam ini untuk berdoa dan bernadzar agar bisnis tambang biji besi di
Palu bisa sukses”. Saat ditanya bentuk nadzar apa yang akan diberikan, pria
tinggi semampai itu mengatakan, akan memberikan sejumlah uang ke pihak yayasan
agar dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan masjid. Sementara di luar makam
beberapa pemuda sibuk bersiap diri, menyongsong penziarah keluar setelah
mengakhiri ritualnya –berharap para
penziarah mensedekahkan sedikit uang yang mereka bawa.
Makam Syekh bernama lengkap
Tuanta' Salama' ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati
Al-Makassari Al-Banteni, berada di perbatasan Makassar-Gowa, cukup dekat dari
pusat keramaian Kota Makassar dan ibu kota Kabupaten Gowa, Sungguminasa. Tidak
dipungut biaya, siapa saja diperkenankan masuk ke kubah makam Syekh, melihat
langsung kuburan beliau, dan mendoakannya secara khidmat.
Perpustakaan Syekh Yusuf |
plh Indonesia
diambil dari berbagai sumber di Intenet