Alih fungsi hutan di Jambi menjadi ancaman serius bagi kehidupan orang rimba atau biasa disebut suku anak dalam. Semakin maraknya pembukaan kebun kelapa sawit yang jadi penyebabnya.
Yang terancam tentunya termasuk biota hutan sumatera, selain keberadaan orang rimba tadi. Sayangnya, kasus yang sedang bergolak selama setahun terakhir ini kalah pamor dengan berita 'guyonan' politik.
Seperti apa dan bagaimana kehidupan adat suku anak dalam, tak ada salahnya kita mengenal lebih jauh lewat tulisan ini.
Suku anak dalam memiliki wilayah hidup yang cukup luas di Sumatera. Mulai dari Palembang hingga Riau dan Jambi. Namun, memang paling banyak terdapat di daerah Jambi.
Penduduk asli di Jambi -lebih tepatnya adalah penduduk yang nenek moyangnya menetap di daerah Jambi pada zaman dahulu, terdiri dari beberapa suku. Suku-suku tersebut adalah suku kubu (suku anak dalam), suku Bajau. Adapula Kerinci dan orang Batin. Terdapat pula orang Melayu Jambi yaitu orang Penghulu dan Suku Pindah yang kesemuanya adalah termasuk kategori penduduk asli yang memiliki ras Melayu.
Sesungguhnya, suku kubu (suku anak dalam) ini adalah percampuran suku bangsa suku bangsa dengan suku Wedda atau yang disebut suku bangsa Weddoid oleh para anthropologi.
Kehidupan dari suku kubu (anak dalam) terkenal dengan kebiasaannya yang suka hidup terisolasi dari kehidupan dunia luar yang mengakibatkan rendahnya tingkat kebudayaan dan peradaban dari mereka. Hal tersebut terlihat dari bentuk rumah baik dari segi susunan dan bahan bangunannya, kebudayaan material suku Kubu (Anak Dalam) yang masih sangat sederhana, kemudian alat-alat rumah tangga yang mereka gunakan, alat-alat bercocok tanam dan berkebun, pakaian sehari-hari dan upacara yang mereka kenakan.
Namun, suku Kubu (Anak Dalam) juga mengenal kebudayaan rohani yang meliputi kepercayaan akan setan-setan dan dewa-dewa, adat kelahiran, perkawinan, pelaksanaan kematian, pantangan atau tabu, hukum adat, kesenian dan bahasa yang memiliki cirri khas tersendiri dibandingkan dengan penduduk lainnya di daerah Jambi tersebut.
Mereka masih menerapakan budaya berburu, sistem barter, dan juga bercocok tanam untuk kelangsungan hidup mereka dan mereka termasuk suku yang menganut sistem hidup seminomaden karena kebiasaan berpindah-pindah yang mereka lakukan.
Kebiasaan mereka dalam berburu dan bercocok tanam tersebut ternyata memiliki suatu hukum adat sendiri-sendiri. Dalam artian, suatu suku Kubu (Anak Dalam) tertentu terdiri dari suatu kelompok induk masyarakat terasing yang terdiri dari beberapa kelompok besar yang terbentuk karena sesama hubungan darah/saudara dan biasanya mereka berdiam di hutan rimba besar yang terpencil dari masyarakat dusun.
Terdapat batas-batas tertentu yang ditentukan oleh bukit-bukit yang terdapat pada hulu anak sungai kecil yang mengalir ke sungai yang agak besar yang menunjukkan daerah kekuasaan mereka dalam berburu dan bercocok tanam.
Jika terdapat suku Kubu lainnya yang memasuki wilayah tersebut yang tidak memiliki hubungan darah/saudara maka mereka akan dianggap melanggar daerah kekuasaan dan dapat dihukum secara adat yang berlaku di kalangan mereka atau lebih parahnya akan terjadi perkelahian.
Adapun kebiasaan yang harus kita hindari jikalau bertemu dengan suku Kubu (Anak Dalam) jika kita berkunjung ke daerah Jambi. Mereka terkenal tidak pernah ‘mandi’ jadi hal terbaik jangan pernah menunjukkan gerakkan kalau kita merasa terganggu akan ‘bau badan’ mereka.
Jika kita atau mereka meludah ke tanah dan mereka menjilat ludah tersebut secara tidak langsung kita sudah menjadi bagian dari mereka (mereka memiliki ilmu gaib yang bisa dikatakan sakti). Percaya atau tidak percaya itulah kenyataan yang ada.
Seolah, gaya hidup mereka memang terbilang masih asli dan cenderung primitif - bila dibandingkan dengan kemajuan penduduk di kota-kota besar Indonesia.
Namun, masyarakat adat asli seperti suku anak dalam adalah satu dari sekian banyak kekayaan negeri ini. Seharusnya kita rawat dan ayomi.
Modernisasi serta pemaksaan norma (plus agama) malah memiskinkan warisan bumi Indonesia itu sendiri, percayalah.
Butet Manurung
Butet Manurung. Beliau adalah sosok perempuan yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1972, berasal dari keluarga berada yang mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan,
Tanpa mengecilkan arti pengajar-pengajar muda lain yang berjuang di daerah terpencil, peran Butet memang cukup besar di pedalaman Jambi.
Butet mendirikan sebuah ‘sekolah rimba’ di daerah Jambi tersebut, khususnya bagi suku anak dalam pada waktu itu. Hal itu dikarenakan rasa cintanya akan alam dan juga dunia anak-anak sehingga ia menginginkan agar seluruh anak-anak di Indonesia terlebih suku anak dalam semuanya mahir baca-tulis.