WWF akhir pekan lalu (14/2) menerbitkan sebuah laporan baru dalam Bahasa Inggris tentang kebisingan di laut yang berpengaruh terhadap paus dan mamalia laut. Laporan berjudul “Reducing Impacts of Noise from Human Activities on Cetaceans: Knowledge Gap Analysis and Recommendations” itu menjelaskan berbagai masalah yang dialami paus dan mamalia laut yang hidup di perairan yang bising. Masalah yang dihadapi paus dan mamalia laut itu diantaranya kesulitan menemukan pasangan dan mencari makan. Selain itu, laut yang bising juga berpotensi menjauhkan paus dari habitat utama mereka.
Terdamparnya paus dan mamalia laut di berbagai belahan dunia masih diselimuti misteri. Polusi suara semakin kuat diduga sebagai salah satu penyebabnya, setelah dilakukan autopsi pada 7 ekor paus yang terdampar di pantai Kepulauan Bahama. Terjadi gangguan pada indera pendengaran mereka dengan ditemukannya pendarahan didekat telinga dan didalam cairan otak mamalia laut dari ordo Cetacea tersebut.
Menurut Aimee Leslie, Global Cetacean and Marine Turtle Manager untuk WWF, “Telah ditemukan bukti peningkatan kebisingan di seluruh perairan di dunia. Lalu lintas kapal berukuran besar, serta gelombang sonar yang dimanfaatkan untuk eksplorasi minyak lepas pantai dan pelatihan militer menambah kebisingan pada ekosistem laut.”
Bagi mamalia laut, mendengar sama pentingnya dengan melihat bagi manusia. Mamalia laut menggunakan berbagai jenis suara untuk komunikasi, dan biosonar untuk mencari makan dan mendapatkan petunjuk arah. Suara-suara asing yang ditimbulkan dari kegiatan manusia berpotensi besar menggangu komunikasi paus dan lumba-lumba dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Selain menyamarkan suara-suara yang diproduksi para mamalia laut tersebut, kebisingan di laut juga mengubah perilaku mereka dan membuat mereka menjauh dari habitat asalnya.
Kegiatan eksplorasi dan pengeboran industri minyak dan gas di laut lepas, terutama yang menggunakan alat echo-sounder, serta pelayaran komersial, memproduksi suara di kisaran pendengaran paus, lumba-lumba, dan mamalia lautnya, yaitu 10 Hz – 200 kHz. Kisaran suara ini tumpang tindih dengan kisaran suara mamalia laut sehingga dapat membingungkan atau bahkan berakibat fatal bagi hewan-hewan tersebut.
Mamalia laut terbesar di dunia, paus biru (Balaenoptera musculus), memproduksi suara dengan frekuensi sekitar 20 Hz. Manusia pada umumnya dapat mendengar percakapan satu sama lain pada kisaran 100 – 1000 Hz.
Hampir seluruh wilayah laut Indonesia merupakan habitat penting atau jalur migrasi mamalia laut. Sekitar 18 spesies paus, serta 12 spesies lumba-lumba dan porpois ditemukan bermukim atau melintas di laut Indonesia, khususnya di kawasan Segitiga Terumbu Karang atau Coral Triangle (Mustika et al., 2009).
Wilayah ini juga merupakan salah satu jalur perairan terpadat di dunia, baik oleh aktivitas perikanan artisanal dan perikanan skala besar, lalu lintas perdagangan dan pengiriman barang, pariwisata dan aktivitas eksplorasi (khususnya eksploitasi mineral dan gas).
Paus, lumba-lumba, juga ikan terbesar yaitu hiu paus, sering ditemukan terdampar di pantai-pantai di Indonesia. Sejumlah ilmuwan dan pegiat lingkungan sering menanggapi kejadian terdampar ini dengan upaya penyelamatan hewan tersebut. Namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab hewan tersebut terdampar dan bagaimana pencegahannya. Bila diketahui tingginya polusi suara didalam air sebagai penyebabnya, maka pemerintah perlu mengubah beberapa regulasi terkait lintasan kapal, termasuk penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), penataan wilayah eksplorasi dan aktivitas perikanan.
Beberapa metode yang direkomendasikan untuk menurunkan dampak kebisingan pada mamalia laut, antara lain: tindakan langsung untuk segera mengurangi sumber kebisingan di laut (seperti kapal), penelitian lebih lanjut tentang teknologi untuk mengurangi kebisingan dari eksplorasi dan pengeboran industri minyak di laut lepas serta pelayaran komersial, membatasi perairan-perairan habitat paus dari kegiatan yang menimbulkan polusi suara (khususnya selama periode-periode sensitif bagi paus seperti kelahiran anak), implementasi dan pengaturan yang cepat dan efektif berdasarkan panduan dari International Maritime Organization (IMO) dalam menurunkan kebisingan di laut dari pelayaran kapal.
Selain polusi suara, paus dan lumba-lumba juga terancam mati sebagai tangkapan sampingan (bycatch) dari praktik penangkapan ikan. Sangat diperlukan kerjasama yang penting dalam menangani dampak dari kegiatan antropogenik pada mamalia laut. Hal tersebut tidak hanya untuk mencegah penurunan populasi satwa-satwa tersebut, tetapi juga memberikan informasi kepada publik terkait pengelolaan kegiatan manusia dan konsekuensinya.