DELAPAN tahun berlalu semburan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang belum juga berhenti. Bencana nasional itu mulai diteliti oleh para ilmuwan untuk dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang memiliki nilai manfaat.
Dosen Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Kristen Petra Surabaya, Prof Dr Ir Djwantoro Hardjito MEng PhD, menilai, lumpur Lapindo dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih bernilai, terlepas dari persoalan politik dan sosial di balik itu. Pakar di bidang teknologi beton ini menyebutkan, hasil penelitian dan uji laboratorium yang dilakukan menyebutkan potensi lumpur yang dapat dimanfaatkan sebagai material konstruksi.
"Dari hasil uji coba dan tes di lab kami, material lumpur itu bisa dimanfaatkan sebagai pengganti sebagian semen pada pembuatan beton," terang Djwantoro.
Penggunaan material lumpur yang terlebih dahulu diproses dan dipanaskan, dikatakan Djwantoro, mampu menggantikan hingga 60 persen material semen pada pembuatan beton konstruksi. Lumpur yang memiliki sifat mikrostruktur semikristalin yang tidak relatif ini terlebih dahulu diolah dengan menerapkan kalsinasi dengan suhu mencapai 600 - 800 derajat Celcius untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Bahkan dengan tambahan bahan kimia tertentu, material lumpur itu dapat menjadi semen yang tidak kalah kuat bila diaplikasikan menjadi beton.
"Beton yang seperti itu tanpa semen sama sekali. Tetapi memang kami perlu larutan kimia tertentu untuk mereaksikan material lumpur yang telah diproses. Kami pakai larutan alkali. Itu untuk membuat bahan-bahan yang terkandung dalam lumpur ini, terutama silikon oksida, aluminium oksida, itu menjadi rekatif, dan lumpur kering ini bisa menjadi seperti semen, bisa mengikat," terang Djwantoro, kepada Mongabay-Indonesia.
Jutaan meter kubik material lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, menurut Djwantoro, seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk menjadi bahan pembuat semen maupun beton yang lebih ramah lingkungan.
Djwantoro mengatakan, untuk membuat semen sebagai bahan utama pembuat beton diperlukan bahan bakar fosil yang itu juga menghasilkan polusi atau keluarnya gas karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar. Hal intulah yang menjadi salah satu penyumbang terjadinya pemanasan global di bumi.
"Proses pembuatan beton menggunakan material lumpur sebagai bahan pengganti semen ini dapat mengurangi dampak pemanasan global yang itu ditimbulkan dari proses produksi semen oleh industri," ujarnya.
Selain material lumpur Lapindo, material lain yang bersifat limbah seperti abu sisa pembakaran batu bara pada PLTU, maupun abu material vulkanik gunung berapi, menurut Djwantoro Hardjito, juga dapat dimanfaatkan sebagai material pembuat semen dan beton.
"Setiap pembakaran batu bara kan punya sisa abu. Nah, abu itu kalau dicampur air begitu saja dia tidak bisa menjadi material pengikat seperti semen. Tetapi dengan teknologi yang kami kembangkan, itu bisa menggantikan semen bahkan bisa 100 persen tanpa semen," ungkap Djwantoro yang menyebut angka 60 hingga 80 mpa untuk kekuatan beton yang dihasilkan dari bahan lumpur maupun abu pembakaran batubara.
Selain lebih ramah lingkungan, Djwantoro menjamin beton yang dibuat dengan bahan lumpur dan abu pembakaran batu bara merupakan beton dengan mutu tingi. Ke depan, Djwantoro berharap penggunaan semen dapat dikurangi, meski tidak dapat langsung dikurangi secara drastis.
"Pada proses pembuatan semen, seharusnya karbon dioksidanya dapat lebih rendah, terutama saat proses pembakaran yang dapat menimbulkan pencemaran," tukasnya.
Sementara itu Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Kristen Petra Surabaya, Timoticin Kwanda, mengungkapkan, pengembangan pembuatan semen dan beton menggunakan bahan pengganti dari lumpur maupun abu sisa pembakaran batu bara ini dapat diaplikasikan secara langsung. Namun demikian, perhitungan ekonomis harus dilakukan terkait kemungkinan diproduksi secara massal dan dalam jumlah besar.
"Jadi, sangat dimungkinkan untuk diaplikasikan dalam bidang konstruksi. Bisa jadi untuk bangunan, jalan dan sebagainya. Tapi semua kembali pada kebijakan politik pemerintah terkait masih belum selesainya yang ada di Porong sana," ujar Timoticin Kwanda.
"Sebagai ilmuwan kami hanya memberikan pemikiran kami untuk mamanfaatkan sesuatu yang dianggap tidak berguna menjadi bernilai guna," pungkas Djwantoro. (*)