Lokasi : Tanakeke - Takalar |
Pulau Tanakeke bersama Pulau Bauluang, Pulau Satangga, dan Pulau Dayang-dayang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar di Provinsi Sulawesi-Selatan. Pulau Tanakeke sendiri sebelumnya terdiri atas dua desa yang kemudian dimekarkan menjadi empat desa pada tahun 2011, yaitu Desa Mattiro baji, Desa Tompo tanah, Desa Rewatayya dan Desa Maccini baji
Perjalanan kami ke Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan terasa lebih cepat dari biasanya. Hembusan angin timur memacu perahu lebih kencang. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam lebih akhirnya perahu bermuatan belasan orang tersebut merapat di dermaga Tompotana. Di dermaga sekaligus pelindung pantai dari ombak inilah perahu-perahu antar pulau pertama kali bongkar muatan sebelum satu persatu dijemput perahu yang lebih kecil sampai ke tujuan akhirnya.
Beberapa meter dari dermaga telah menunggu gerobak barang dan orang-orang. Seorang anak lelaki balita duduk di dalamnya. Dia menyita perhatian, saya mengajaknya bicara dan memotretnya. Dia gugup. Ayahnya terlihat mengangkat dua karung beras dan meletakkannya tepat di depan si anak.
Satu per satu penumpang turun. Beberapa wanita sibuk mengangkut karung. Penumpang lainnya, yang juga perempuan membantu mengangkut beban berat seperti kompor, kardus makanan, dan sayur-sayuran. Ada yang bawa jerigen. Menurut cerita mereka, hampir setiap hari mereka membeli air di daratan seberang seharga Rp. 2.500 perjerigen ukuran 30 liter. Hidup yang dinamis.
Setelah kami mengaso beberapa menit, tumpangan pun datang. Perahu lancip panjang, warga setempat menyebutnya jollorok dan terkenal laju.
“Kita akan menuju kampung Lantangpeo,” Kata Darwis, anak muda setempat yang menemani kami. Selain Darwis ada Basri Daeng Rangka, warga desa Cambaya berumur 23 tahun. Dia mengaku masih kuliah. Juga Bahar, warga Lantangpeo. Bersama Rahman, Nurlinda, Salma, Iwan dan dua warga, kami pun melaju. Kami ada sepuluh orang.
Lokasi : Tanakeke - Takalar |
Perahu pun bertolak dari Tompotana, pulau yang dicirikan oleh rumah warna-warni. hijau, oranye, kuning hingga pink. Jamaknya rumah-rumah di pulau-pulau banyak rumah panggung warga menggunakan warna cat menyolok. Kami juga lewati hamparan lokasi budidaya rumput laut. Ada bentangan tali yang digantung oleh pelampung dari botol air mineral. Temali tersebut rupanya diikat pada patok yang diambil dari dahan bakau yang memang banyak ditemui di dalam kawasan.
Antara lokasi budidaya rumput laut dan pemukiman warga terdapat vegetasi bakau yang menghijau namun tidak terlalu rapat. Bakau yang mengapit permukiman warga.
Langit mendung, laut beriak. Perahu kami meliuk di antara lokasi rumput laut meninggalkan pusaran air, membuih. Bunyi mesin yang keras membatasi obrolan kami. Kami mengarah ke utara. Suasana terasa misterius karena tiba-tiba mendung tebal menghalang perjalanan kami. Darwis yang berdiri di buritan perahu terlihat aneh, dia bentangkan kedua tangannya dengan penutup kepala menyerupai tukang sulap. Dia memang beri petunjuk arah kepada juru mudi di belakang perahu. Melihatnya dari belakang terasa ada aura magis. Kami melewati laut yang dibatasi oleh tali. Semacam kotak budidaya.
“Jalur yang akan kita lalui persis di antara dua hamparan pohon bakau,” Terang Darwis. Benar saja, kami sampai di hamparan laut yang lebarnya tidak lebih tujuh meter. Dari depan kami meluncur perahu yang memuat rumput laut yang baru saja di panen. Ada tiga orang di atas. Perahu kami melambat, memberi jalan kepadanya. Dari sini saya menyaksikan beberapa bagian hamparan di sisi jalan telah ditebang. Sisa ujung batang tebangan sesekali muncul ke permukaan karena muka air laut yang berubah. Di sepanjang jalan, kami mengamati beberapa pohon bakau yang baru saja ditebang.
Tumpukan bakau depan rumah warga
Lokasi : Tanakeke - Takalar |
Menurut Darwis, jalan yang jadi ruas lalu lintas perahu ini dulunya adalah hamparan bakau yang ditebas demi akses ke kampung sebelah. Menurutnya, selama ini kayu bakau selain digunakan sebagai patok untuk budidaya rumput laut juga digunakan untuk dijadikan kayu bakar, pagar pelindung maupun bahan bangunan rumah warga. Dan ini telah berlangsung dari waktu ke waktu. Warga nyaris tak pernah mengalami kesulitan untuk memperoleh kayu.
Jika selama ini kami hanya mendengar dari mulut ke mulut bahwa gugus pulau ini merupakan lokasi transmigran lokal Sulawesi Selatan maka kali ini kami benar-benar menjajalnya. Jika selama ini hanya melewati perairannya saat berlayar dari Makassar ke Taman Nasional Taka Bonerate di Laut Flores, maka kali ini saya menelusuri lekuk peraiaran pedalamannya. Kawasan Tanakeke juga dikenal sebagai kawasan yang rentan mengandaskan kapal-kapal pengangkut barang dari Makassar.
Ternyata bukan hanya itu, kawasan Tanakeke merupakan gugus pulau-pulau yang dijalin oleh hamparan vegetasi pohon bakau (mangroves), satu ekosistem yang dikenal mempunyai fungsi ekologi yang baik karena mampu meredam ombak sehingga pantai tidak mudah tergerus. Pada lokasi bakau yang padat dan subur, warga bisa mencari ikan, kepiting dan kerang-kerangan yang dapat mendatangkan nilai ekonomi.
Menurut laporan organisasi Yayasan Konservasi Laut di Makassar , organisasi swadaya masyarakat yang bertahun-tahun memfasilitasi masyarakat setempat, luas ekosistem bakau di Tanakeke antara tahun 80an dan 90an adalah 2.000 hektar. Namun kini menurut catatan aktivis Forum Peduli Tanakeke (PUKAT) luas hamparan ekosistem bakau tidak lebih 800 hektar atau telah berkurang lebih 50 persen dalam kurun waktu 20 tahun. Ada indikasi semakin berkurangnya ekosistem ini yang dikhawatirkan akan mengancam keberadaan perkampungan di dalamnya karena terjangan ombak musim barat.
Lokasi : Tanakeke - Takalar |
Dinamika pemanfaatan dan perubahan luasan bakau di Kepulauan Tanakeke adalah contoh bagaimana proses ancaman keberadaan ekosistem vital di daerah pesisir ini di Indonesia. Orang-orang mesti lebih arif mencermati perubahan ekologis dan dampak ke kehidupan sosial mereka. Ancaman kerusakan ekosistem bakau ini dapat terbaca dari obervasi kami selama melewati jalur laut kali ini.
Lokasi : Tanakeke - Takalar |
Kata Tanakeke berasal dari bahasa Makassar, bahasa warga setempat yang artinya tanah, dan keke artinya menggali, atau tanah yang digali. Menurut Darwis, nama ini bermula dari upaya warga pendatang dari daratan seberang ke kawasan ini pada awal tahun 70an. Mereka menebang pohon bakau dan menimbun beberapa lahan berlumpur, lambat laun kemudian menjadi permukiman hingga kini. Lantangpeo dan beberapa kampung dalam kawasan Tanakeke dibangun dari tumpukan batang, dahan dan ranting pohon bakau.