Peneliti UGM Sarankan Pembukaan Hutan untuk Lahan Sawit Dihentikan |
Pakar lingkungan dan juga dosen di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Tjut Sugandawaty Djohan, mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan pembukaan hutan bagi lahan industri perkebunan kelapa sawit dengan memperpanjang kebijakan moratorium izin kehutanan.
Menurutnya, hal itu dilakukan untuk melindungi keberadaan hutan hujan tropis yang hanya tersisa sekitar 33 persen atau 43 juta ha dari luas hutan yang mencapai 130 juta ha.
"Di Sumatera hutannya hanya tinggal 30 persen. Itu pun hutan yang paling banyak berada di Aceh. Di Jawa, hutan sudah tinggal 3 persen. Kerusakan hutan ini akibat pembukaan lahan untuk kelapa sawit," kata Tjut Suganda yang dikutip dari Mongabay.
Menurut Tjut Suganda, kerusakan hutan Indonesia sudah sangat massif dalam 30 tahun terakhir. Salah satu sebabnya adalah makin banyaknya daerah yang membuka izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Bahkan termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak luput dari dampak izin pembukaan lahan kelapa sawit tersebut.
"Hutan taman nasional Tesso Nilo di Riau saja sekitar 60 persen luas hutannya sudah jadi kebun sawit. Ini sangat memperihatinkan, sampai-sampai Harrison Ford saja marah saat bertemu dengan Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan) waktu itu," tambahnya.
Peneliti ekologi dan konservasi dari Fakultas Biologi UGM ini menegaskan tidak mudah mengembalikan lahan perkebunan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali. Satu-satunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru. Menurutnya ini membutuhkan tindakan tegas menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sitti Nurbaya.
Dia mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengambil langkah tegas menyelamatkan sumber daya laut dengan melarang kapal-kapal asing mengambil ikan secara ilegal. Oleh karena itu, Menteri KLHK meniru langkah serupa di bidang kehutanan.
"Saya belum melihat ke arah itu, gebrakan Ibu Susi jelas dalam pengelolaan laut, tapi kebijakan di darat (hutan) belum ada. Sementara kerusakan hutan kita sangat luar biasa," tukasnya.
Pada kesempatan yang sama, Prof Noel Holmgren, pengajar Theoritical Ecology dari Universitas Skovde Swedia, mengatakan pendekatan modeling ekologi bisa digunakan untuk memprediksi fenomena yang terjadi di alam. Bahkan teknik modeling ini bisa untuk memperkirakan dampak ekologi di kemudian hari dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia maupun hewan.
"Pendekatan ini bisa digunakan untuk memprediksi laju kerusakan alam sehingga bisa membantu pengambilan sebuah kebijakan," kata Noel Holmgren. (*)