Wednesday, January 20, 2016

Menengok Sampan Jong, Permainan Bahari Masyarakat Pesisir Bintan, Kepulauan Riau

MENYAMBUT JONG: Keseruan helatan balapan jong pada musim utara di Bintan, beberapa waktu lalu. Kearifan lokal ini bukan hanya bernilai budaya, tapi juga berdaya ekonomis.
Musim utara tiba. Angin berembus sekencang-kencangnya. Menjungkalbalikkan sampan. Merobek layar. Meregang nyawa bagi yang nekat. Tapi, masyarakat pesisir Bintan justru bertempik sorai, merayakan kedatangan amuk badai.

Musim berganti. Sepanjang tahun begitu adanya. Tak dapat ditolak. Sudah jadi kehendak alam. Kini telah tiba musim utara. Musim angin laut berembus sekencang-kencangnya. Di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, musim angin utara tiba di sepanjang September hingga Januari. Ditandai dengan hujan yang mulai turun. Lalu jadi puncak amuk badai jelang pergantian tahun. Begitu dan begitu seterusnya. Setiap tahun musim ini terus berulang.

Nelayan adalah golongan yang menyahabati alam. Terlebih angin. Tapi dengan angin utara, mereka cenderung membalikkan punggung. Keganasan ombak serta amuk badai di laut tidak pernah dapat diduga. Bisa datang tanpa permisi. Seketika. Sampan motor bisa terjungkal. Hilang kendali. Dan nyawa menjadi taruhannya.

Sebab itu, sepanjang September-Januari, nelayan Kabupaten Bintan mendaratkan sampan motor. “Ini waktu bagi kami membenarkan sampan dan alat-alat nelayan,” ungkap Atan, nelayan Bintan yang sedang mengecek mesin sampannya, akhir Desember silam.

Menantang angin utara itu buruk padahnya. Sedari masa lampau, sudah banyak nelayan yang jadi korban keganasan angin laut ini. Bukan karena tak mampu menguasai gelombang, tapi memang angin laut di musim utara adalah keganasan tiada tara. Ketika muda, Atan sendiri sudah pernah menantangnya. Dan... “sampan saya terbalik. Beruntung, jarak dengan darat sudah dekat. Saya tinggal berenang saja,” kenang bapak dua anak ini.

Karena itu pula, musim angin utara bisa disebut juga sebagai paceklik bagi nelayan. Sampan motor tertambat di darat. Bertarung melawan gelombang setinggi lima meter yang disertai hujan lebat, petir bersambaran, dan angin berkecepatan lebih dari 30 knot adalah mimpi buruk. Semua nelayan menghindari itu.

Setiap pilihan punya konsekuensi. Memilih tak melaut berarti harus memutar otak untuk isi perut. Pada keadaan semacam ini, banyak nelayan yang beralih haluan pekerjaan. Bisa jadi tukang bangunan, pedagang kecil-kecilan, atau pilihan paling buruk sekalipun; berutang. “Mau bagaimana lagi. Kami tidak punya banyak pilihan,” ungkap Atan.

Kendati begitu, musim utara ada bukan untuk sekadar meratap penuh nestapa. Masyarakat nelayan Bintan yang sudah seumur hidupnya bersahabat dengan laut, sudah barang tentu punya cara lain untuk sebuah perjumpaan dengan sahabatnya. Sekalipun itu sahabat dalam wujud yang ganas.

Cara merayakan itu sudah diwariskan entah dari berapa lama masa lampau. Nenek moyang yang sudah bersebati dengan laut, punya pesta untuk menyambut musim utara. Dari sekian banyak pesta yang sudah dilangsungkan dan diwariskan turun-temurun itu adalah jong.

Jangan mengira jong di sini berarti pemuda seperti yang ternukil dalam kamus Belanda. Jong dalam kamus masyarakat Bintan adalah sampan kecil. Bukan untuk melaut. Juga bukan alat transportasi. jong adalah miniatur sampan layar seukuran sedepa sampai tiga meter.

Kayu pulai menjadi pilihan utama sebagai bahan baku. Karena bobotnya yang ringan dan tak menyerap air, membuatnya mudah mengapung dan melaju kencang. Batang pohon pulai ini kemudian dipahat menyerupai tubuh sampan sebenarnya. Tapi, proses ini juga tak dapat dikata mudah. “Mesti hati-hati dalam menaksir rangka dan bentuknya. Salah-salah, tak seimbang jong yang dibuat,” kata Sambas, seorang pengrajin Jong di Bintan.

Dengan lihai, Sambas menuturkan, hal pertama yang dilakukan setelah kayu dipahat kulitnya adalah membuat dua garis lurus di titik tengah kayu untuk dibentuk menjadi empat segi dengan menggunakan siku. Lantas dipahat lagi sebelum ditambahkan lunas di kiri-kanan agar jong punya keseimbangan yang sepadan.

Selanjutnya, adalah membuat sauk. Sauk adalah seni dan ciri khas masyarakat Melayu. “Kalau tak ada sauk, jong tidak terlihat menarik,” kata Sambas. Ukuran sauk harus sama dengan kayu yang telah dipahat tadi. Guna sauk adalah untuk meluruskan atau menyeimbangkan. Satu lagi, sergah Sambas, dalam pembuatan jong ini biasanya tidak menggunakan paku. Karena paku cepat berkarat dan memberatkan.

Kayu pulai yang lantas dipahat seolah-olah membuat sampan. Jika kayu itu sudah melengkung ke dalam, bentuk kayu itu seolah-olah sudah boleh menampung orang. Kemudian baru dibuat jongo. Sama seperti sauk, fungsinya memberi imbangan.  Bentuk jongo lurus memanjang di depan jong yang bentuknya seperti moncong ikan todak. Dengannya, jong akan tetap stabil menghalau kecepatan angin. Dalam kata lain jongo adalah kemudi jong.

Proses pembuatan jong selanjutnya adalah pemasangan ganda kate, yaitu sebatang kayu lurus yang digunakan untuk memberi imbangan lain. Ganda kate ini dimasukkan ke lubang yang disediakan di tengah jong. Dipasang mengikut arah angin. Jika angin dari arah selatan, ganda kate akan dimasukkan dari kiri.  Jika angin dari arah utara, ganda kate akan dimasukkan dari kanan.

Satu peranti yang tak mungkin ditinggalkan adalah layar. Sebagai sampan yang murni mengandalkan kekuatan angin, keberadaan layar sangat signifikan. Sambas menjelaskan, layar adalah mesin penggerak jong. Bahannya bisa dari kain biasa maupun plastik lebar. “Tapi, yang terbaik adalah parasut,” jelasnya.

Ada dua bagian dari layar yang terpasang di bodi jong. Layar besar dan layar kecil. Ada pula namanya anak panah yang berfungsi untuk menunjukkan lubang memasukkan kayu layar. Ada satu lagi lubang di tebuk di buritan untuk mengeluarkan air yang masuk melalui lubang layar. “Setelah itu semua terpasang, baru bisa dicat sesuai selera,” tutur Sambas.

Sebenarnya, jong bisa dimainkan kapan saja. Namun, jangan pernah melupakan elemen angin sebagai energi utama penggeraknya adalah keniscayaan. Seperti penuturan narasi di atas, angin paling baik (baca; kencang) di pesisir Bintan adalah kala musim utara tiba.

“Kalau main di musim utara, angin bisa bikin jong terbang dan itu terlihat fantastis,” kata Michel Lippitsch, warga negara Perancis yang sudah lama menjadi pegiat jong di Bintan.

Bule yang menikah dengan warga lokal ini sudah bertahun-tahun jatuh cinta dengan jong. Kecintaan ini pula yang membulatkan tekadnya untuk mendirikan Sekolah Jong di kawasan Desa Teluk Bakau, Kabupaten Bintan. Dikelola bersama istrinya, tempat ini menjadi wadah belajar bagi setiap wisatawan lokal atau mancanegara yang datang ke Bintan. Tak sedikit pula warga tempatan yang turut bermain di sekolah Michel.

Ada Zakir, kompatriot Michel. Seorang warga Teluk Bakau sekaligus pengrajin jong. Zakir yang mengenalkan sampan balap tradisional masyarakat Bintan ini kepada Michel. Tak peduli perbedaan warna kulit, status negara, tinggi badan, kesamaan untuk mencintai jong pun membuat keduanya bertekad menggelar lomba jong kali perdana di Sekolah Jong, beberapa tahun silam.

Karena membutuhkan kecepatan angin, tak pelak lomba itu dihelat di tengah-tengah musim angin utara sedang puncak-puncaknya. Kecepatan angin darat di angka 13-15 knot menjadi sumber energi yang mampu melajukan jong. “Sampai terbang bahkan,” tutur Michel seraya tertawa.

Lomba ini bertajuk Balapan Utara. Mengacu pada waktu pelaksanaan yang sesuai dengan musim anginnya. Pada mulanya, kenang Michel, ia tak yakin perlombaan itu bakal diminati. Karena dalam menyiapkan lomba itu tidak menggunakan fasilitas pemerintah daerah. Ini sudah barang tentu berimbas pada nilai hadiah yang diperebutkan. “Awalnya hanya ingin menjadi wadah berkumpul sesama penyuka jong. Jadi saya hanya mengontak beberapa rekanan untuk jadi sponsor. Selebihnya, kami gotong royong,” tutur Michel.

Segala hal yang dilandaskan cinta tak berkhianat. Ratusan orang datang ke lokasi perlombaan. Pegiat jong dari enam desa terdekat berkumpul. Mereka datang membawa jong yang sudah lama tersimpan di rumah. Permainan warisan nenek moyang itu kini turun kembali ke palagan. Beradu kecepatan. Mengubah keganasan angin utara menjadi penggerak. Yang rupanya, juga menggerakkan stabilitas ekonomi mereka kala musim paceklik ikan melanda.

Bagaimana bisa? Tentu saja hadiah berupa uang tunai yang diperebutkan, sedikit-banyak bisa membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi, tak berhenti di sini. Dari tahun ke tahun, gelaran jong yang diselenggarakan Michel dan kawan-kawan mulai menarik perhatian. Termasuk juga menarik pandangan mata banyak wisatawan dari berbagai penjuru dunia yang sedang berlibur ke Bintan.

Dalam situs pribadinya, michellippitsch.weebly.com, Michel memublikasikan segala kegiatan sekolah yang dibentuknya. Selain pengumuman perlombaan jong setiap musim angin utara dan selatan, juga diwartakan bahwasanya bagi mereka yang tertarik dengan jong, Sekolah Jong bisa memfasilitasi ketertarikan mereka untuk bermain jong. Ada tarif yang dipatok. Peminatnya selalu ada sepanjang tahun. Michel dan Zakir bergantian menjadi instruktur.

“Ada dua hal yang terpenuhi di sini. Pertama nilai budaya, jong tetap lestari dan diminati. Kedua, juga membantu ekonomi pegiat jong setempat, yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan,” kata Michel. Karena ia juga tak menyangkal, musim angin utara yang melanda kerap memaksa nelayan-nelayan tak melaut. Tidak menurunkan sampan, artinya tidak ada pemasukan. Tidak ada pemasukan, artinya tidak makan. Tidak makan, artinya ....

Bukan hanya upah mengajari wisatawan bermain jong saja yang menjadi sumber pemasukan baru. Karena Sekolah Jong juga membaca peluang. Seusai bermain jong, setiap wisatawan niscaya ingin membawa pulang jong yang telah dimainkannya di Bintan ke negara asal. “Bisa sebagai souvenir kenang-kenangan maupun ingin dimainkan kembali di negaranya,” tutur Michel.

Peluang itu tak dibiarkan berlalu. Sekolah Jong turut menyediakan souvenir. Harganya bermacam. Bergantung ukuran besar-kecilnya. Lebih besar, lebih mahal. Untuk jong mini ukuran sedepa orang dewasa dibanderol Rp 300-500 ribu. Patokan nominal tersebut juga bergantung pada motif corak warna dan layarnya. Semakin indah, semakin mahal. “Permintaan ini membuat para pengrajin jong semakin terpacu semangat dalam berkreasi,” kata Michel.

Endo, seorang wisatawan asal Jepang, mengatakan, bermain jong di Bintan itu sangat menyenangkan sekaligus berkesan. Pemuda 26 tahun ini menuturkan, adrenalinnya terpacu begitu turun ke laut. Jong di pundaknya. Rambut panjangnya tersibak angin kencang. “Tak mudah untuk memainkannya. Tapi, sangat menyenangkan,” katanya dijumpai usai bermain di Sekolah Jong.

Apakah ia akan membawa jong ini pulang ke negeri matahari? “Pasti. Saya akan memainkannya lagi di sana. Saya juga beli dua. Nanti akan dimainkan dengan teman-teman di sana,” ucapnya.

Warisan nenek-moyang untuk berbahagia di musim utara ini adalah warisan tak terbantahkan. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bintan, Luki Zaiman Prawira sepakat tentang itu. “Jong adalah jenis kearifan lokal yang punya nilai kebudayaan sekaligus nilai ekonomis. Ini adalah kekayaan masyarakat bahari, yang sukar dicari tandingannya,” ujarnya.

Sejak mengetahui kegiatan perlombaan jong di Teluk Bakau, Pemerintah Kabupaten Bintan, kata Luki, langsung tertarik. Bahkan Luki sendiri tak menyangka, meski diadakan seala kadarnya, lomba balap jong di musim utara itu bukan main ramainya.

Bukan sekadar tertarik saja. Kalau itu semua orang bisa menyampaikannya. Bukan pula sekadar apresiasi saja. Kalau itu semua jempol bisa mengacungkannya. Tapi, Pemkab Bintan melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan memberikan bantuan dalam bentuk nyata kepada setiap penyelenggaraan lomba jong, di kala musim utara maupun selatan.

“Bantuan dari kami sifatnya hanya ingin menambah semarak gelarannya. Sementara antusiasme mereka untuk kembali mempopulerkan itu juga sudah luar biasa. Kami perlu berterima kasih untuk itu,” ungkapnya.

Dan kini, Luki dan Michel berpartner. Saban ada kunjungan rombongan wisatawan ke Bintan, Luki selalu mengontak Michel. Memintanya menemani pelancong-pelancong itu bermain di Sekolah Jong. Begitu pula rekanan Luki di beberapa penginapan yang ada di Bintan. “Sebisa mungkin, apa yang bisa saya lakukan, ya saya lakukan. Dan ternyata, dengan membawa mereka ke tempat Michel, itu sangat menyenangkan bagi turis-turis,” ujarnya.

Musim utara kini tak lagi ditakuti masyarakat pesisir Bintan. Daripada mengutuk amuk badai, memang lebih baik mengambil jong dan memainkannya penuh keriangan.***

- See more at: http://batampos.co.id/read/2016/01/21/33230/Sampan-Jong-Permainan-Bahari-Masyarakat-Pesisir-Bintan-Kepulauan-Riau#sthash.0Uf1gor3.dpuf
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Menengok Sampan Jong, Permainan Bahari Masyarakat Pesisir Bintan, Kepulauan Riau Rating: 5 Reviewed By: http://awalinfo.blogspot.com/