Sungai Carang Itu Harta Karun Sejarah Kerajaan Melayu Riau-Lingga |
PLH Batam - Buku pertama adalah gagasan Rida. Ada catatan panjang yang kini sedang dalam tahap akhir pengerjaan. Tentang perjalanan dan sejarah, konflik politik, dan etika orang-orang Melayu. Judulnya Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu (1293-1913). Sebuah buku semi sejarah yang, secara gamblang ditegaskan Rida, terinspirasi dari Sungai Carang, sungai yang pada tiap riaknya menyimpan sejarah.
Kian menyempurnakan penggarapan buku ini, Rida menggandeng Aswandi Syahri. Nama terakhir adalah sejarawan yang aktif menulis, merekam, sekaligus telaten merawat dokumentasi-dokumentasi sejarah Kepulauan Riau. Sehingga diharapkan buku ini kelak mampu menyodorkan sekaligus mendedahkan nilai-nilai abadi pada sebuah peradaban yang pernah gilang-gemilang sekali.
Lalu buku kedua adalah antologi tulisan-tulisan ihwal Sungai Carang. Sepenuhnya pengerjaan buku ini diserahkan kepada Yayasan Jembia. Sebagai lini sayap bakti Batam Pos kepada pembangunan kebudayaan, Rida ingin setiap tulisan yang membicarakan Sungai Carang dibukukan. Dari edisi ke edisi yang cetak setiap akhir pekan, kian semarak lagi semangat penulis-penulis Kepulauan Riau urun ide.
“Menarik sekali. Masing-masing penulis dari berbagai latar belakang mencoba mendedah Sungai Carang dalam segala perspektifnya,” kata Deputi Batam Pos Group, Ramon Damora.
Tidak saja menjaring naskah-naskah berkualitas, urun tulisan Sungai Carang kali ini, kata Ramon, juga ikut menemukan penulis-penulis baru di bidang kebudayaan. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.
“Mereka penulis yang lama vakum. Tapi, setelah Jembia mengumumkan mencari artikel Sungai Carang, mereka menulis dengan tajam dan mengungkapkan bukti-bukti yang tidak banyak diketahui orang,” ujarnya.
Hingga 15 September mendatang, Ramon beserta tim redaksi Jembia masih menerima kiriman naskah tentang Sungai Carang. Untuk kemudian nantinya akan dilakukan proses kurasi, memilih senarai naskah terbaik di antara yang baik-baik. Keberadaan antologi esai Sungai Carang ini, kata Ramon, diharapkan kian melengkapi buku semi sejarah yang disusun Rida.
“Kita perlu dua untuk menggenapi sesuatu bukan? Nah, antologi ini yang akan menggenapi sekaligus menemani perjalanan buku Pak Rida menuju pembacanya,” ujarnya.
Menarik menyimak pilihan Rida yang berjuang lewat aksara. Di era ketika kegiatan membaca dianggap sebagai aktivitas kuna nan semenjana, Rida masih percaya pada kekuatan kata-kata. Sekalipun ia tidak gentar dan ragu. Karena ingin langsung menukik ke akar permasalahan, tidak ada medium lain yang bisa dipercaya kecuali kata-kata.
“Masalah terbesar kita sekarang itu,” kata Rida, “tak mau belajar dari sejarah. Jadi penerbitan dua buku pada Festival Sungai Carang itu tak lain dan tak bukan untuk melawan lupa.”
Sekali lagi, kepada buku Rida senantiasa percaya. Baginya, buku adalah sebuah karya literasi warisan tamadun yang bisa melintasi zaman. Sejarah Melayu karya Tun Seri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji, misalnya. Pokok-pokok pikiran penulisnya masih terbaca hingga hari ini dan masih bisa ditual-tual manfaatnya sepanjang waktu. Rida menginginkan keabadian itu untuk melawan penyakit lupa yang seringkali juga punya daya tahan cukup lama dalam kepala. (FATIH MUFTIH, Tanjungpinang)