Oleh Dedy Zulkifli
Awan
menggumpal di atas langit yang masih cerah. Udara dingin sejurus
menyapu wajah. Sekitar pukul dua belas siang saya berjalan
tertatih-tatih mendekati pilar trianggulasi
(penanda puncak gunung) dengan kode S 227, setinggi bahu orang dewasa di
puncak Gunung Loser (3404 mdpl). Setelah delapan hari yang melelahkan,
berjalan melewati beberapa puncak dari Dusun Kedah, Blang Jerango, Gayo
Lues, akhirnya tiba juga di puncak yang menjadi impian banyak pendaki
gunung di Indonesia. Namun kelegaan ini sementara saja, perjalanan yang
sebenarnya baru saja di mulai. Kami bertujuh yakni, Saya, Agi, Anton dan
empat warga kampung Kedah (mereka adalah guide dan porter)
yakni, Mister Jali, Pak Wo, Bang Udin dan Husin kembali harus berkemas
menuju puncak Gunung Leuser (3119 mdpl) untuk turun menuju ke arah barat
daya Aceh yang sudah terkenal rapat hutannya dan belum ada jalur
pendakiaannya.
17:15
Wib. Kami tiba tidak jauh dari Puncak Leuser sekitar lima ratus meter
disisi tenggara. Dengan keadaan alam yang terbuka dan hanya di tumbuhi
rerumputan, lokasi ini menjadi arena hembusan angin kencang
tanpa penghalang. Namun begitu mau tidak mau kami harus bertenda
disini. Di samping hari yang mulai malam, juga tidak ada pilihan tempat
lainnya. Saat usai tenda terpasang di semak perdu yang tersisa, Pak wo,
Bang Udin dan Husin mulai menyalakan api sembari memasak nasi. Agi
membuka peta dan mencoba membuat ploting jalur pada GPS (Global Positioning System).
Turun Ke Barat Daya
Berdasarkan pengamatan lapangan (scouting) yang kami lakukan sebelum bertenda, Saya, Agi dan Mister Jali melihat
ada punggungan yang terlihat sambung menyambung hingga mendekati garis
pantai barat daya. Dan tanda yang khas di ujung punggungan adalah
sebuah muara sungai yang cukup lebar, yang kalau dilihat pada peta
bernama Labuhan Haji. Namun yang jadi kendala adalah, punggungan tipis
dan curam saat nanti menuruni Gunung Leuser ini tidak
terlihat jelas dari tempat kami berpijak. Di peta, punggungan ini
terlihat biasa saja, tapi gambaran dilapangan menunjukan, punggungan
terlalu terjal. Menurut pengalaman saya, biasanya punggungann
ini memiliki kecendrungan patah atau terputus oleh sungai. Seperti
jembatan yang terputus, maka kalau ini adanya hanya ada dua pilihan
terus memaksa turun dengan resiko jatuh (karena tidak membawa tali untuk
rappeelling) atau kembali naik punggungan dan berpindah jalur yang
bakal membuat waktu perjalanan jadi molor.
Dan
memang patut di sayangkan juga adalah peta yang terbawa adalah peta
tofografi dengan skala 1:250.000. Hingga membuat tidak terbacanya detail
kontur Gunung Leuser. Demi mengecilkan resiko tersebut kami memutuskan
untuk melakukan survey terlebih dahulu keesok harinya.
Hari ke 9 (Minggu, 17 Juli 2011)
09:05 Wib. Saya dan Agi dengan membawa tas kecil mulai
beranjak menuju ke Puncak Leuser dan mulai menuruni punggungan yang
kami curigai terputus. Mister Jali dan Pak Wo sudah bergerak lebih dulu
dengan mencoba beberapa alternatif jalur. Sementara itu yang lainnya
tetap tinggal di tenda.
11:10
wib. Bertemu dengan Mister Jali di jalur yang rapat di tumbuhi belukar
yang terselimuti lumut. Saya melihat Mister Jali memanjat pohon. Dengan
nafas yang tersengal-sengal saat turun dari sebuah pohon Mr Jali
menjelaskan bahwa sejauh ini punggungan tidak terputus. Tapi tetap juga
belum bisa di pastikan dan harus di survey ke bawah lebih jauh lagi.
13:05 Wib. Survey di lanjutkan. Setelah dua jam berjalan tetap tidak menemukan patahan yang kami cari tersebut. Melihat hari yang semakin sore maka diputuskan untuk kembali ke camp.
18.35
Wib. Dari tempat kami bertenda hari terlihat cerah. Sore yang beranjak
ke malam mulai menyingkapkan keindahannya. Langit perlahan-lahan
berwarna merah bercampur jingga. Warna kelabu dan biru terkuas di batas
pantai barat sumatera. Sementara itu matahari yang menyala kecil di
batas cakrawala turun sedikit demi sedikit. Seperti pertunjukan cahaya
laser di panggung musik, pergerakan matahari ke peraduan mengubah-ubah
warna di langit. Hingga saat matahari menghilang warna biru yang
menggelap itu menghadirkan bintang-bintangnya.
20:00
Wib. Usai makan malam kami mendiskusikan tentang hasil survey.
Berdasarkan peta dan pengamatan di jalur, Puncak Leuser ini bercabang ke
arah tenggara dan barat daya. Punggungan tenggara akan membawa ke
Peulumat dan Meukek, Aceh Selatan. Sementara punggungan barat daya
membawa ke Desa Manggeng, Aceh Barat daya. Sedangkan punggungan yang
kami survey adalah punggungan barat daya. Walau punggungan tenggara
terlihat landai namun cukup jauh dari desa terdekat. Ada usulan juga
untuk mengambil punggungan tenggara namun kami sepakat memutuskan untuk
tetap turun dari punggungan barat daya, dengan tetap mengambil resiko
belum di ketahuinya batas punggungan yang aman.
Hari ke 10 (Senin, 18 Juli 2011)
07.05
Wib. Pagi terlihat cerah. Langit yang bersih menampakkan Puncak Loser
seperti batu besar. Sementara itu lapisan punggungan dan bebukitan di
sisi tenggara tersapu kabut tipis. Angin pagi masih terasa dingin hingga
membuat tangan terasa pedih.
08.45
Wib. Setelah sarapan dan berkemas-kemas. Tenda langsung di lipat dan
dimasukkan ke dalam carrier. kami lalu bergerak menuju puncak Leuser.
09:10
Wib. Tiba di Puncak Leuser. Tempatnya cukup terbuka dan dapat memandang
lepas kearah Samudra Indonesia. Kami istirahat sejenak sambil kembali
mengamati gambaran medan (bentangan alam) yang akan di lalui. Terus
terang keraguan masih terus saja membayangi di hati. Kami tidak boleh
“salah langkah”. Saya memandangi gugusan bukit-bukit yang berlapis
dengan lekatnya. Saya tidak ingin kami sampai kehilangan orientasi saat
di jalur. “ Mudah-mudahan punggungan ini tidak terputus. Karena ini
jalur yang paling dekat dengan desa.” Kata Mr Jali mencoba meyakinkan
kami.
Sejak tahun delapan puluhan Mr Jali yang kini berusia 47 tahun sudah menjadi guide Leuser di Blangkejeren. Beliau adalah guide senior
yang sudah banyak makan asam garam tentang pengalaman di hutan
khususnya Gunung Leuser. Walaupun ini pertama kali mendampingi tim ke
arah barat daya, namun kemampuan hidup di hutan tak perlu diragukan
lagi. Ini bisa dilihat dari ketrampilannya mencari sumber air, memilih
alternatif jalur dan membuat api bahkan dari ranting yang basah sekali
pun.
Kami
cukup beruntung karena hari yang cerah. Penampakan alam berupa lembah,
puncak gunung dan sungai terlihat jelas. Bahkan adanya perladangan
masyarakat juga terlihat walau memakai binokular. Sementara itu juga
tanda-tanda alam berupa longsoran yang mudah dilihat tetap di jadikan
acuan agar bila nanti turun bisa di jadikan pedoman.
Sebuah Cerita di Jalur Selatan
Mr
Jali kemudian menunjukan sebuah tempat di kejauhan di mana pernah
seorang mahasiswa pecinta alam di evakuasi pada era tahun 90an. Musibah
ini menjadi kehebohan yang menasional. Mereka para mahasiswa tersebut
mencoba menembus Leuser dari sisi selatan. Namun karena kehabisan bekal
makanan hingga terpaksa di evakuasi.
Pendakian
dari jalur selatan dan barat daya sama-sama masih rintisan. Sama-sama
memakan waktu yang berminggu-minggu atau nyaris sebulan. Bahkan dari
beberapa sumber informasi hanya beberapa kelompok saja
yang berhasil menembus belantaranya hingga tiba di Puncak Leuser. Kini
jalur yang ada dan umum di lalui dari Dusun Kedah, Gayo Lues. Pendakian
ini memakan waktu kira-kira dua belas hari dimana akan kembali pulang
dengan jalur yang sama ke Dusun Kedah. Sementara itu yang hendak kami
lakukan saat ini mendaki Gunung Leuser dari Desa Keudah lalu turun
merintis jalur kearah barat daya (Aceh barat daya). Dengan
perencanaan perjalanan memakan waktu delapan belas hari, jalur ini
mudah-mudahan menjadi alternatif untuk menikmati keindahan Gunung
leuser.
inilah cerita kami, trim's plh Indonesia