Mengenal Suku Dayak Pulau Kalimantan. Dalam arti luas Pulau Kalimantan meliputi seluruh pulau yang juga disebut dengan Borneo, sedangkan dalam arti sempit Kalimantan hanya mengacu pada wilayah Indonesia.
Pada umumnya, semua penduduk di Negara Indonesia berasal dari Cina Selatan, termasuk Suku Dayak di Kalimantan. Asal mula Suku Dayak di Kalimantan adalah migrasi bangsa Cina dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan pada 3000-1500 SM (Sebelum Masehi). Sebelum datang ke wilayah Indonesia, mereka mengembara terlebih dahulu ke Tumasik dan semenanjung Melayu.
Berikut ini kami paparkan berupa artikel seri sedikit mengenenal bagaimana dan apa saja adat-istiadat, dan dunia supranatural Suku Dayak Pulau Kalimantan pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Yang kami paparkan ini, tidak lain agar para pengunjung tahu apa saja adat istiadat Suku Dayak Kalimantan.
Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi suku Dayak sangatlah sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya ( sandung ), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya ( Sandung ).
Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak Pulau Kalimantan memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Asal para pembaca tahu saja karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ) . Tetapi walaupun begitu suku Dayak bukanlah seperti itu, sebenarnya suku Dayak cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena.
Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya. Contohnya, Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. Panglima atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa pangkalima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak pangkalima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang pangkalima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber Tariu ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti pangkalimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah sebenarnya mangkok biasa saja terbuat dari tanah liat. Hanya di dalamnya tersimpan barang-barang yang penuh makna dan magis.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak pulau kalimantan itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
Mengenal Suku Dayak Pulau Kalimantan bersambung ke judul artikel Asal usul Dayak dan Pengelompokannya.
Apo kayan, dari udara daerah ini tampak seperti lanskap yang mencolok diantara kerimbunan belantara. Diantara perbukitan, hutan lebat, atap rumah pemduduk tampak memencar. Inilah daerah di ujung utara Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Terletak di dataran tinggi seluas sekitar 60 km2., Apokayan seperti menutup diri dengan dunia luar. Selain jaraknya amat jauh dengan kota lain, alat transportasi ke Apo Kayan juga tak gampang.
Apo kayan hanya bisa dicapai dari tiga kota : Samarinda, Tarakan dan Tanjung Selor. Dari ketiga tempat ini perjalanan bias dilakukan lewat udara menggunakan peswat berbadan kecil seperti merpati dan cesna milik misionaris. Selain itu transportasi juga bisal dilakukan melalui sungai. Biasanya penduduk melewati sungai Kayan, Namun seringkali mengalami kesulitan, karena dihadang olehRiam Afun – Niagara kecil sepanjang 35 km. Penduduk biasanya lebih memilih jalan melingkar menghindari riam Afun, dengan waktu tempuh lebih lama.
Kehidupan di Apo Kayan sesungguhnya, dapat ditelusuri sepanjang sungai Kayan. Penduduk daerah ini berjumlah sekitar 4700 jiwa, sebagian besar membuat rumah sepanjang tepian sungai. Isini terdapat dua kecamatan yaitu Kecamatan Kayan Hulu dan Kayan Hilir. Di Kayan Hulu tredapat lima desa yakni Long Ampung, Long Nawang, Long Nawang Baru, Long Temuyat, dan Long Payau. Sedangkan di Kayan Hilir ada tiga desa yakni sei Anai, Metun I, dan Data Dian.
Rumah rumah tinggal mereka masih khas. Uma Da’du atau Lamin adalah rumah asli peninggalan Dayak Kenyah yang masih utuh. Rumah adat ini dibuat dari kayu ulin, beratap sirap. Lamin di hiasi lukisan daun paku simetris dengan aneka warna. Bentuknya sebagian menyerupai tattoo di tangan kaum wanitanya . Mereka juga dikenal mahir membuat manik-manik dan pemahat handal patung Totem.
Kaum wanitanya cantik-cantik, berkulit putih. Keciali bertatto, mereka juga dapat dikenali dengan saratnya anting gelang ditelinganya. Dalam acara-acara tertentu misalnya pesta perkawinan, mereka kerap nenarikan Burung Enggang dan Tarian Gong. Belakangan tarian ini menjadi komuditas bagi para Turis yang datang ke daerah itu. Pemandangan ini dapat dilihat di desa Long bagun dan Long Iram.
Hubungan kekerabatan mereka mengikuti garis keturunan patrilinial. Dalam satu lamin dapat dijumpai hidup beberapa keluarga, mulai dari orang tua, anak, cucu, sepupu hingga keponakan. Dahulu kala sebuah lamin malah dapat menampung lebih dari 100 KK, sehingga tidak ada bentuk keluarga batih mutlak. Batih baru ada kalau sekiranya pasangan suami istri mau memisahkan diri dari lamin. Namun hal ini jarang dilakukan, karena pertimbangan ekonomi. Sebab, dengan memilih tinggal didalam lamin, segala persoalan dan kebutuhan sehari-hari menjadi tanggung jawab bersama. Hidup komunal demikian, tentu ada resikonya. Kerahasiaan menjadi kosakata yang nyaris tak mereka kenal. Kerahasiaan personal menjadi demikian tipis, agaknya hanyalah setebal kelambu.
Namun demikian mereka tetap taat pada adat lamin yang sehari-hari dikendalikan oleh kepala adat. Di dalam lami, kepala adapt menempati kamar bagian tengah. Bagi mereka, kepala adat adalah orang yang dipilih menurut garis keturunan bangsawan, yang dapat melindungi dan berwawasan luas tentang adat setempat. Dalam struktur masyarakat, posisi kepala adat berada dibawah kepala desa. Namun, dalam keseharian, kepala adat tampak lebih dihormati ketimbang kepala desa.
Transportasi darat di daerah ini belum berkembang baik. Mereka lebih menggunakan jalan setapak sebagai sarana komunikasi darat antara satu rumah atau satu tempat. Alat transportasi populer yang cukup membantu adalah lewat sungai. Mereka menggunakan ketinting (perahu motor) sebagai alat angkut, baik untuk manusia maupun hasil pertanian.
Mata pencaharian mereka memang bertani. Umumnya, sebagai peramu hasil hutan dan peladang berpindah. Perladangan dilakukan dengan sistem rotasi alam selama 4-7 tahun. Di desa Long Payao, Sei Anai, dan Metun I, sistem rotasinya sampai 10 tahun. Inilah, agaknya, mengapa suku Dayak kerap dituding sebagai perusak lingkungan hutan.
Suku dayak Kenyah, yang menjadi penduduk asli Apo Kayan, sebagian besar beragama Kristen dan Katolik. Sebagian kecil, terutama orang tua, masih ada yang animisme. Belakangan, seiring dengan masuknya para pendatang ke daerah ini, pemeluk islam sudah mulai bermunculan. Suku Kenyah adalah klan besar suku dayak- diantara klan Dayak di Kalimantan, Serawak, dan Sabah di Malaysia. Sebagai pengantar sehari-hari, mereka menggunakan bahasa Kenyah, yang mengenal 14 dialek. Belakangan, munculnya generasi muda suku Kenyah yang mendiami Apo Kayan, bahasa indonesia mulai dikenal.
Klan besar Dayak Kenyah, konon, berasal dari keturunan para pedagang Cina dan suku Barunai (Brunai Darussalam). “Kami berasal dari Sungai Baram, wilayah suku Barunai,” ujar Labu Usad, kepala desa Nawang Baru. Karena sering berperang dengan suku Barunai lainnya, akhirnya berpencar menjadi empat wilayah. Satu diantaranya mendiami Dataran Apo Kayan.
Dalam perkembangannya, Klan ini terbagi menjadi 30 subsuku, yang memiliki nama tersendiri dan masing-masing memiliki kepala adat. Tak jelas, sejak kapan terjadi perpecahan dalam Klan besar ini. Namun, mengapa sampai terjadi perpecahan, itu hanya dapat diterangkan dengan “kata Sahibul Hikayat”.
Alkisah, Batang Laing-salah seorang kepala suku – menugaskan delapan warganya, empat lelaki dan empat wanita, untuk membuat Yunan (alat peras tebu). Yunan adalah syarat meminta restu kepada Dewa Peselong Loan. “Tum ta mita tan ya leka - Tolonglah kami mencari tanah subur.” Seorang dukun yang memimpin upacara kesurupan, sembari berkata, “A Untana ya suk tana Lurah Tana ya leka ya bileng – Ada tanah yang subur dan luas di lembah lurah yang jauh.”
Nah, petunjuk untuk menemukan “tanah perjanjian” itulah yang memunculkan perbedaan pendapa. Klan besar Kayak Kenyah mengalami pemencaran, sesuai dengan penafsiran masing-masing tentang letak tanah dimaksud, sampai kemudian membentuk kelompok menjadi 30 subsuku. Meski tempat tinggal antar – subsuku ini berpisah, tetap berada dilembah yang sama. Yaitu, membujur sepanjang Apo Kayan – Dataran Tinggi Kayan.
Masing-masing subsuku mempunyai “swing-awing” (keputusan adat tersendiri). Kecuali itu, setiap subsuku memiliki otonomi atas wilayah kerja tersendiri – misalnya atas daerah perburuan, ladang, sebagai hak ulayat masing-masing. Sebelum dataran Apo Kayan dimasuki misionaris, perbedaan antar-subsuku justru memunculkan pertentangan tajam yang berakibat buruk. Misalnya, hanya untuk mempertahankan ego subsuku, mereka tak segan-segan untuk mengayau (memenggal kepala) warga subsuku lain.
Seiring dengan masuknya misionaris, adapt jelek itu mulai hilang. Selain itu, juga karena kejenuhan mereka sendiri atas tingkah laku peperangan yang sadis dan melelahkan. Adalah peserang, kepala subsuku Umaq Tau, yang memprakarsai pertemuan antar subsuku. Ketika itu, diharuskan mengangkat sumpah bersama, yaitu sumpah Petutung yang dipimpin langsung oleh Peserang. Upacara dilangsungkan pagi hari, sembari minum air taring harimau dan babi, semua kepala suku menyatakan tobat. Maksudnya, “Kalau ada yang melanggar, hati, mata dan isi perutnya, akan dimakan harimau dan babi, “ujar Pue Pare, kepala adapt Long Temuyat.
Sejak itulah, warna kehidupan di Apo Kayan mulai bergeser. Peradaban mereka mulai jinak, dan mau diatur. Mereka mulai diliputi impian-impian akan perubahan gaya hidup. Tahun 1960-an, gelombang besar itu benar-benar terjadi. Sebagian penduduk keluar dari Dataran Apo kayan, menuju daerah baru yang relative dekat dan mudah dijangkau dari kota. “saya putuskan berpisah. Kita harus mencari kehidupan baru, “ujar Pelibut, kepala adat Kayak Kenyah Umaq, di Muara Wahau. Sepanjang sejarah eksodus suku Dayak Kenyah, adalah Pelibut yang banyak diikuti pengikut.
Upaya Pelibut dan teman-teman, sebenarnya, ditentang oleh kepala suku lain. Harapan mereka, Apo Kayan tak perlu ditinggalkan. Tetapi apa yang mesti dipertahankan?” Kehidupan sehari-hari di Apo Kayan susah.Garam saja sulit didapt.”kata Pelibut. Maka, ketika hari belum terang, rombongan Pelibut-yang meliputi anak dan istri serta harta benda – hijrah diam-diam, keluar dari Apo Kayan. Mereka menyusuri Sungai Boh, sambil bercocok tanam. Tak kurang dari setahun perjalanan menempuh hutan, sampai tiba di tempat tinggal sekarang Muara Wahau.
Agaknya, gelombang eksodus ini juga diikuti oleh sejumlah kelompok lain. Ada yang hijrah menyusuri Sungai Kayan sampai Sungai Oga Long Danum – kini Desa Metulang. Sampai disini, kelompok eksodus ini mengalami perpecahan lagi. Sebagian menuju Lalot Pubong (lumbung di tepi Sungai Nawang) sampai berakhir di Long Nawang.
Konsekuensi pergeseran gaya hidup ini adalah penerimaan berbagai bentuk perubahan dari budaya luar. Berbagai peralatan rumah tangga dan pertanian dari luar mulai dikenal, seiring dengan tersisihnya perlatan tradisional yang sebelumnya mereka miliki. Beberapa penduduk Apo Kayan mulai menantang kehidupan kota. Bahkan, tak sedikit kalangan generasi mudanya yang hijrah ke Samarinda, Tenggarong, Tanjung Selor. Malah, sudah ada yang mengadu nasib ke negeri jiran, sebagai buruh harian. “ Tiga bulan bekerja, saya bisa mengantongi uang sampai 1.000 ringgit”, ujar Amai Juk, yang bekerja di kebun cokelat, Serawak, Malaysia. Akibat banyaknya warga yang mengadu nasib keluar sejak tahun 1988, beberapa kampung kelihatan kosong. Sebut saja Desa Long Ikeng, Long Kelawit, Long Lemiliu, Long Sungan, dan Desa Marung.
Hal ini bisa terjadi karena Apo Kayan adalah gerbang perbatasan antara Indonesia-dan Malaysia. Kalau mau ke negeri sebelah, dapat ditempuh lewat dua jalur. Lewat Sungai Marung di Kecamatan Kayan Hilir, dan melalui hulu sungai Pengian di Kecamatan Kayan Hulu. Jalur Sungai Pengian adalah rute terpendek yang bisa dilewati. Dalam waktu sekitar tiga jam perjalanan dengan perahu dari Long Nawang, kita sudah bisa sampai perbatasan.
Dari Kubu Long Kenyah, jalan kaki selama tiga jam menembus hutan sampailah di Kubu Long Bulan dan Long Jawi di Serawak. Disini, sudah menunggu kendaraan taksi air milik Ma Laho- pedagang Cina asal Marudi. Kedua jalur ini dapat dilalui hilir-mudik oleh penduduk suku Dayak Kenyah, dan pelintas batas tradisional, tanpa dikenakan ketentuan imigrasi. Hanya dengan mengurus border pass di kecamatan seharga Rp. 500, mereka sudah bisa leluasa bolak-balik pergi dari Serawak ke Apo Kayan.
Apo Kayan, seperti halnya daerah lain di dataran bumi ini, memang tak bisa menghindar dari perubahan. Berbagai bentuk kegiatan penyembahan, misalnya kepada patung, mulai terkikis-menyusul masuknya misionaris ke daerah itu. Sekolah-sekolah dibangun, kegiatan sosial pun muncul. Tak sedikit generasi baru Apo Kayan yang meneruskan sekolah di jenjang perguruan tinggi di Samarinda. Di antara yang sukses, malah sudah ada yang bekerja di Pemda Kalimantan Timur.
Tinggal kaum tua dan sebagian warga yang mencoba tetap bertahan di Apo Kayan, dengan segala atribut : adat, tradisi, dan agama. Mereka memilih setia pada Apo Kayan, meski bahan pokok sehari-hari relatif mahal ketimbang kota. Toh, akibat pengaruh kaum pendatang, mereka juga mulai mengenal budidaya tanaman keras seperti lada, vanili, kopi- sebagai usaha sampingan. “ Kesulitan kami adalah transportasi, sehingga bahan pokok mahal, “ujar Marcus, pemilik sebuah toko di Long Nawang.
Kecuali itu, pada merekalah, masih dapat dilihat tatto, anting-anting, kerajinan mandau, manik-manik, tarian burung Enggang, dan tarian Gong. Agaknya, memang, tak semuanya mesti berubah.
Warga Dayak beranggapan bahwa gigi hitam adalah cantik. Semakin hitam gigi, semakin baik. Alasannya untuk ini adalah bahwa dengan gigi hitam tidak terlihat kepada roh-roh, sehingga dengan demikian dipimpin untuk mempercayai bahwa mereka telah terhindar sebagai bahaya dan dapat menjaga diri mereka sendiri.
Penghitaman dilakukan dengan pencelupan dengan membuat pasta dari daun tertentu yang mengandung tannin, dan erth whichin sangat kaya zat besi. Pasta ini menempel di gigi dan disimpan disuatu tempat sepanjang malam dengan sepotong daun pisang. Tannic asam tersebut yang membentuk warna gigi gigi.
Telinga Panjang menjadi ciri khas orang Dayak, pada jaman dahulu hampir semua orang Dayak baik laki laki maupun perenpuan bertelinga panjang. Menurut Amai Pebulung ( seorang tetua suku Dayak Pampang ), Orang dayak dahulu banyak hidup di hutan, ingin membedakan antara manusia dengan monyet, “Jika telinganya pendek berarti dia itu monyet…..” demikian dikatakan oleh amai Pebulung sambil tertawa terkekeh kekeh…
Untuk kaum wanita jika telinganya semakin panjang dan bandul telinganya semakin banyak maka dia semakin cantik. Untuk kaum lelakinya biasanya bandul telinganya dibuat ukir-ukiran.
Di desa Pampang masih ada beberapa ibu-ibu yang bertelinga panjang, dan juga beberapa tetua adat yang masih bertelinga panjang. Sementara itu untuk generasi mudanya sudah tidak lagi membuat teliga panjang