Wednesday, September 4, 2013

Pernak Pernik Penetapan Hutan di Batam

DALAM penetapan hutan, pada suatu wilayah tertentu seperti di Batam, memerlukan proses tahapan dan berbagai kegiatan dilakukan. Bahkan dibentuk yang namanya Tim Padu Serasi, berdasarkan surat keputusan, juga instansi terkait atau pemangku kepentingan seharusnya ada di dalamnya, bahkan sosialisasi dan publikasi kegiatan pada setiap tahapan kegiatan, namun mengapa semua pemangku kepentingan seolah-olah terperanjat, dan seolah bingung, ini ada kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
Masalah dan persoalah hutan di Batam bukanlah baru, bahkan hampir sama dengan di mulainya pembangunan di Batam ini pada khususnya, mengapa dikatakan demikian, karena berdasarkan Kepres Daerah Industri Pulau Batam sudah dengan di atur bahwa seluruh lahan yang ada di Pulau Batam dan sekitarnya yang ditunjuk pengelolaannya berada di satu Otoritas/penguasa yaitu Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau yang dari dahulu sering di sebut OB, dan sekarang beralih menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Batam atau di sebut juga BP Kawasan.
Kalau ada pihak yang mengarahkan sumber kelengahan/ke-alpaan ini ada pada lembaga yang di maksud, hal itu tentu tidak dapat di salahkan pada keseluruhannya, karena memang seharusnya otoritas yang di wajibkan membuat “master plan” pembangunan Batam pada saat itu satu-satunya hanya OB bukan yang lain, pertanyaannya sekarang adalah, mengapa tidak  peta-peta, atau batas-batas hutan, dan jenis-jenis hutan, padahal telah sekian puluh tahun Batam ini di kelola OB, atau pertanyaan berikut, kalau dari awal sudah di tetapkan “master plan” pembangunan Batam tentu sudah ada batasan dan peta-peta yang mana yang boleh di aloasikan kepada pihak ketiga yang membutuhkan, karena tugas OB memang di atur untuk mengalokasikan lahan kepada pihak ketiga yang membutuhkannya.
Situasi seperti sekarang ini terus terang sunggu ironis, dan telah menimbulkan ketidak pastian hukum, bagi pihak ketiga yang menerima pengalokasian lahan dari OB, selama ini semua pihak memahaminya OB memiliki otoritas penuh menetapkan lokasi mana yang dapat di berikan kepada perusahaan atau pribadi sebagai pihak ketiga yang membutuhkan lahan, otoritas itu harus di jamin oleh hukum, baik dari sisi hukum administrasi Negara, maupun dari sisi hukum keperdataan, sebab jika tidak demikian, namanya bukan Otorita, sebab di manapun di dunia ini secara universal pemegang Otoritas itu dijamin penuh kewenangannya oleh Hukum apapun termasuh hukum tata Negara, makanya Professor DR A P Parlindungan, SH, mantan Rektor Universitas Sumatera Utara, pernah berpendapat, bahwa Wilayah OB itu seperti Negara diatas Negara, wilayah kerja OB itu sifatnya khusus, seharusnya seluruh ketentuan perundang-undangan yang di terbitkan harusnya menjaga kekhususan Otoritas itu untuk menjaga terjaminnya kepastian Hukum, yang tujuannya menjaga kepercayaan kegiatan investasi.
Oleh karena itu, yang berwenang menetapkan mana hutan dan segala jenis-jenisnya hanya OB, maka peta-peta, yang lengkap menunjukkan batas-bataspun seharusnya sedari awal di mulainya pembanguan Batam sudah ada, kemudian kalau memang semua yang penting itu di abaikan, pertanyaannya adalah dasarnya pembangunan di Batam ini di implementasikan menjadi patut dipersoalkan, terlalu sederhana jika semua persoalan ini hanya di jawab lembaga OB, karena otoritas itu di berikan kepadanya untuk di jalankan, selama ini Kementerian Sekretaris Negara juga berperan penting dalam menjalankan otoritas yang di berikan oleh Negara kepada OB, begitu juga dengan lembaga kepresidenan. Yang perlu di benahi adalah keterbukaan institusi-institus yang ada di Republik ini, pertanyaan penting yang mendesak untuk di jawab adalah, masihkah  serius untuk memberikan “Otoritas” yang selama ini kepada OB yang sekarang telah beralih menjadi BP kawasan, sebab kalau BP tidak lagi memiliki legitimasi, atau semua sudah ingin mempreteli “otoritas” yang pernah di berikan kepada OB/BP, maka ada baiknya di cari formula untuk menata ulang dan mendefinisikan ulang makna dan tujuan pembangunan Batam, sebab bila semua pihak sekarang sudah orientasi berpikirnya adalah Otonomi Daerah yang seluas-luasnya, maka makna dan tujuan OB/BP telah terreduksi secara sistematis.
Masalahnya pertanyaan yang timbul kemudian adalah, apakah Otonomi Daerah yang seluas-luasnya yang di maknai sekarang ini sudah berjalan. Karena fakta emperis, otonomi daerah yang berjalan selama ini prakteknya semua masih harus di konsultasikan ke Pusat, apakah itu Depdagri, Depkeau, dan lain-lain, untuk merangcang Peraturan Daerah saja sebelum menyusun Naskah Akademiknya saja judah harus perlu di konsultasikan ke Depdagri, pertanyaan selanjutnya, lalu letak Otonomi Daerah itu dimana, menetapkan hutan juga tidak berwenang secara “otonom”, anggaran juga mekanismenya tidak luput dari konsultasi ke Pusat, salah sedikit urusannya ke KPK, kita harus hati-hati, urusan hutan pun tetap bisa berujung di KPK, maka pertanyaannya otonomi daerah yang luas yang di maksud itu yang mana, kalau keadaan otonomi itu di pandang dari situasi era Orde Baru, memang jelas beda, namun substasinya bukan disitu, sehingga Otonomi Daerah yang sekarang berjalan bukan berdasarkan konsep Otonomi daerah yang Universal, melainkan hanyalah Otonomi Daerah berdasarkan UU Otonomi Daerah, sehingga persoalan penetapan hutanpun menjadi bermasalah hampir di seluruh wilayah NKRI, bukan hanya di Batam.
Oleh karena itu Dewan Kawasan(DK) selaku lembaga yang di berikan kewenangan oleh UU FTZ untuk mengawasi dan mengatur seluruh kegiatan di kawasan, seharusnya memiliki kewenangan regulatif mengatur masalah Hutan ini, makanya, lembaga DK FTZ itu perlu di maksimalkan, dan di perlengkapi dengan Tim Asistensi dan Tim Konsultasi, yang tujuannya merancang dan mengkaji serta melakukan tindakan mediasi baik antar institusi dan instansi, agar ketidak selarasan aturan-perundangan yang ada dan telah menghambat proses kegiatan di kawasan dapat di jembatani dapat juga dicarikan solusi, agar pembangunan dan kepastian hukum berlangsung terus dan para invertor menjadi percaya.
Dalam keadaan Negara belum mengadakan harmohisasi produk perundang-undangannya seperti sekarang, sepatutnyalah ada kemauan politik untuk memperkuat kelembagaan DK dan BP, supaya kegiatan di Kawasan dapat berjalan, karena kegiatan di Kawasan juga di harapkan dapat memberikan “Stimulus Ekonomi” untuk menopang Paket pemerintah untuk menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sebab jika kebijakan pemerintah seperti cara penetapan Hutan di Batam ini masih terus di pertahankan maka pada ahirnya sangat berakibat langsung kepada kegiatan ekonomi di Batam sebagai wilayah yang sudah di tetapkan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas/Free Trade Zone/FTZ, dan ini sangatlah bertentangan (anomali), di satu pihak ingin mengundang investor, namun disisi lain tidak mampu memberian kepastian hukum, semua instansi saling mementingkan sektor masing-masing, akhirnya aturan tidak selaras, terjadi benturan norma hukum Otonomi daerah dengan pengaturan dari Pusat, begitu pula dengan sistim FTZ, semua rancu, tidak saling mendukung.
Sehingga semua bersekap jadi penguasa, tidak berusaha mengerti yang di ayomi, atau yang di layani, semua mengondisikan supaya di hadap dan dihargai, soal cara tergantung tingkat dan tingginya diplomasi dan urgensi urusannya, sampai kapanpun KPK tidak akan berhasil memberantas korupsi, jika kultur birokrasi di republik ini tidak di reformasi total, sistem administrasi Negara yang ada sekarang belum cukup mendukung kearah sistem investor friendly. Menggugat itu memang cara yang sah, namun dapat menjadi penambah persoalan baru, karena yang kita perlukan bukan sekedar sah atau tidak sah, namun penataan dan pengaturan hutan ini juga di butuhkan agar masalah yang sama tidak berulang terus-menerus. ***

Oleh : Ampuan Situmeang
Praktisi Hukum, Berdomisili di Batam


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Pernak Pernik Penetapan Hutan di Batam Rating: 5 Reviewed By: Awaluddin Ahmad