Malam satu surga di puncak Abiyoso ini merupakan lanjutan postingan saya sebelumnya, Jomblo Muncak Abiyoso Malam Satu Sura. Acara pendakian gunung yang terpaksa ‘gagal’ lantaran banyak teman-teman lain yang memaksa mengikuti kegiatan muncak di puncak Abiyoso. Abiyoso adalah salah satu puncak gunung Muria di Jawa Tengah. Di puncak ini bersemayam seorang tokoh spiritual Eyang Abiyoso. So, kegiatan tanpa perencanaan yang sedianya kami lakukan berempat berubah menjadi kegiatan muncak bareng.
Tanpa temu teknik dan hanya bermodalkan HP Nokia 3315 milik saya sebagai pusat kordinasi via sms, petualangan dimulai. Teman-teman dari Pati dan Rembang sepakat untuk berkumpul di Juwana kemudian bersama-sama naik bus ke Kudus yang di sana telah menunggu teman-teman dari Kudus dan Jepara.
Saya yang selalu on time telah stand by di TKP (Tempat Kumpul Peserta) sejak jam 13.00. Dengan lapang dada menunggui teman-teman saya, Dwi R, Takim, Acing, Budi, Syahri, Ithok, Margo, Awin dan yang lainnya datang satu persatu.
Pukul 15.30 barulah kami dapat bertolak ke Kudus. Sebetulnya sejam sebelumnya sudah siap. Namun bersamaan dengan sebuah bus yang datang, Nokia 3315-ku pun datang membawa sms dari Lis Jelman, rekan dari Winong yang ingin ikut bersama kedua temannya, Mumun dan Wulan. Lantaran ketiganya cewek, mereka pun kami tunggu dengan suka ria.
Dari terminal Kudus, setelah ngumpul dengan teman-teman dari Kudus dan Jepara yang telah puas menunggu, kami menumpang angkot menuju Gebog. Angkot ini pada bula sura seperti ini, memperjauh trayeknya hingga ke Rahtawu dan Semliro, dusun terakhir di kaki puncak Abiyoso dan Songolikur.
Menjelang senja, sampailah kami di desa Rahtawu. Meskipun saya sudah beberapa kali mendengar tentang para peziarah yang melalkukan lelaku spiritual di puncak-puncak gunung Muria pada bulan sura, namun peziarah yang berkumpul di desa Rahtawu tak urung membuatku kaget. Apalagi teman-temanku. Ratusan peziarah hadir dari berbagai wilayah seperti Kudus, Jepara, Pati, dan Demak. Juga dari berberapa kota-besar seperti Surabaya dan Jakarta. Bahkan ada yang berasal dari Sumatra, meskipun masih keturunan jawa.
Karena sudah hampir malam sedangkan cuaca semakin tidak bersahabat kami memutuskan untuk ngecamp di masjid desa. Di tempat ini pun ramai sekali. Selain para peziarah kami sempat bertemu dengan beberapa perkumpulan pecinta alam. Meski tujuan pendakiannya berbeda dengan para peziarah namun yang dituju sama, puncak Abiyoso. Rekan pecinta alam dari Demak mengajak kami untuk gabung dengan mereka melakukan pendakian di malam hari. Namun dengan dalih ingin menikmati eksotisme pemandangan selama pendakian, kami menolaknya.
Kamipun ngobrol semalaman. Entah sampai jam berapa. Yang pasti pas saya terbangun, semua telah jatuh bergelimpangan. Udarapun semakin terasa dingin menusuk apalagi dengan gerimis di luar. Jaket yang saya kenakan sudah tidak mempan lagi makanya segera saya keluarkan ‘sarung bobo’ (sleeping bag) dan kembali tidur dengan memeluk tas rangsel saya yang gedhe. Lebih hangat.
Paginya, pendakian kami mulai. Karena gak ada seorangpun diantara kami yang pernah ke Abiyoso, maka dengan suka rela kami mengikuti arus peziarah. Beda dengan pendakian-pendakian saya yang lainnya. Kali ini sepanjang perjalanan orang beriringan melewati jalan setapak yang sempit dan berkelok. Ada yang searah dengan kami menuju puncak dan tidak sedikit pula yang turun dari puncak. Memang bagi beberapa pecinta alam yang biasa bercumbu dengan alam hal ini menimbulkan ketidaknyamanan tetapi mengingat ketidaktahuan kami akan medan, hal ini patut untuk disyukuri.
Satu jam lamanya kami menyusuri jalan setapak di sela-sela perbukitan gunung Muria hingga sampailah di sebuah sungai kecil yang dangkal dengan air terjun kecil di sebelah atasnya. Pemandangan yang sangat indah. Sambil beristirahat sejenak, beberapa rekan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk ‘mandi kucing’ (mencuci muka) lantaran pagi tadi gak berani mandi karena dinginnya udara.
Perjalanan pun berlanjut. Kali ini karena medan semakin terjal, saya memilih menemani Lastri, teman saya yang paling subur sendiri. Perhitungan saya, dengan postur tubuhnya yang sedemikian ia pasti akan sering beristirahat. Kalau dia berhenti, berarti ada alasan buatku untuk ikut berhenti. Memulihkan tenaga tanpa harus malu dengan teman-teman lainnya. Kan, menemani rekan yang istirahat. Bahkan selama perjalanan setiap kali aku kelelahan, dengan tampang sok pahlawan saya menanyai Lastri. “Lelah, gak? Jangan terlalu dipaksa. Kalau lelah berhenti dulu, saya temani.” Padahal, sih, saya sendiri yang kelelahan.
lestari alamkuMenjelang pertengahan perjalanan, pemandangan penuh eksotisme terhampar. Jurang dengan lembah dan perbukitan gunung muria yang berjejer menyembul dari permukaan tanah seakan berlomba untuk menunjukkan dirinya. Pepohonan khas pegunungan yang pendek, berdaun jarang dan kecil-kecil dengan aneka lumut yang tumbuh memenuhi dahannya. Juga semak belukar dan paku-pakuan yang menghiasi tepian jalan setapak menyembunyikan tepian jurang curam yang tepat berada di sisi kaki kami. Sayang selama perjalanan tidak sekalipun kami menjumpai bunga edelweis, sudah punah dari sini barangkali.
Karena penasaran, beberapa kali saya bertanya dengan para peziarah yang turun dari puncak Abiyoso. Masih jauh, gak?. Sebentar lagi, Mas. Wah… dari tadi kok sebentar-sebentar melulu. Padahal sudah nggak kehitung berapa kali saya beristirahat. Hal ini tentunya membuat teman-teman yang lain memasang muka protes. Tetapi saya sih cuek saja. Selama saya bersama si Lastri tanpa ngomongpun saya sudah bisa memberikan penjelasan sekaligus menunjukkan sikap kepemimpinan yang peduli pada anggotanya. Padahal… Pertanyaan saya yang terakhir tentang berapa jauh puncak Abiyoso membuat saya kapok. Jawabnya, singkat; tinggal dua belokan, kok, Mas. Belok kiri sama belok kanan!.
Akhirnya sampai juga kami di puncak Abiyoso. Saya langsung menuju satu diantara beberapa warung yang berjejer rapi. Sambil memesan teh panas saya memandangi situasi puncak Abiyoso. Memang tidak nampak sebagai puncak sebuah gunung karena di sebelah barat laut masih terdapat rerimbunan hutan yang perawan. Tak jauh dari warung terdapat sebuah bangunan besar yang dipercaya sebagai makam Eyang Abiyoso. Di pendopo depannya tampak banyak para peziarah yang duduk-duduk dan sebagian lagi rebahan. Di belakangnya masih ada lagi sebuah bangunan yang dipergunakan oleh para peziarah untuk berisitirahat yang juga tampak penuh. Beberapa peziarah yang tidak kebagian tempat mendirikan tenda sederhana di kanan kiri bangunan, juga beberapa kelompok pecinta alam.
Dwi R dan beberapa temanku asyik menghembuskan nafasnya sembari mengomentari nafasnya yang keluar bagaikan asap tipis. Ya, udara dingin dan suhu badan kami yang panas sehabis berjalan membuat karbondioksida yang keluar dari mulut dan hidung kami seperti kabut kecil. “Wow, seperti orang merokok,” katanya. Saya sendiri asyik ngobrol dengan Mumum, cewek kecil imut yang baru pertama kali merasakan pendakian.
“Kak, ini tuh muncak saya yang pertama dan yang terakhir, lho!” ucapnya lirih namun membuat jantungku terasa seketika berhenti berdetak untuk beberapa detik.
Dan dengan amat terpaksa postingan ini saya tutup dulu (maaf). Kelanjutannya akan tunggu saja postingan saya Muncak Pertama dan Terakhir yang akan saya upload kemudian.