Di Natuna dan Anambas, ikan Napoleon malah dibudidayakan. Namun Pemerintah membatasi ekspor sehingga berdampak terhadap nelayan budidaya |
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Kepulauan Anambas mengadakan pertemuan dengan Badan Penelitian Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia dan nelayan budidaya ikan Napoleon Anambas, dalam pembahasan pendataan ikan Napoleon.
Kepala DKP Anambas, Yunizar meminta para nelayan Anambas untuk membantu mengumpulkan data tentang ikan Napoleon, dalam penetapan status perlindungan ikan Napoleon diperairan Anambas.
"Ini memerlukan kajian, khususnya di dunia International. Agar kategori ikan Napoleon di Anambas ini tidak langka," katanya Kamis (18/02/2016).
Akibat kelangkaan ditempat lainu, Pemerintah Pusat mengeluarkan peraturan mengenai pembatasan ekspor ikan Napoleon sejak tahun 2014 lalu. Sehingga ekspor ikan Napoleon ini sempat berhenti. Akibatnya sangat berdampak terhadap nelayan budidaya di Anambas.
"Daerah menanyakan kepada Kementerian mengenai kondisi sebenarnya ikan Napoleon ini. Artinya, dipelihara dari seukuran biji beras sampai besar baru kemudian dijual, tentunya didukung kajian. Bahkan, hasil diskusi sampai ke Jenewa, Swiss," jelasnya.
Berdasarkan kajian ini katanya lagi, kemungkinan pelaku usaha nantinya diminta untuk berbicara di dunia International, untuk menguatkan argumen dan kondisi ril yang ada di Anambas, terkait pembudidayaan ikan Napoleon ini.
Sementara itu, perwakilan Balitbang KKP, Didi mengatakan, mereka berupaya agar daerah Anambas dan Natuna diberikan peraturan khusus mengenai ikan Napoleon ini. Mereka juga protes atas dikeluarkannya peraturan tentang pembatasan ekspor ikan Napoleon yang sangat berdampak pada nelayan budidaya.
"Ikan Napoleon tidak langka, tapi terancam. Kami melihat perlu adanya peraturan khusus. Anambas itu lain, begitu juga pengelolaannya. Kamipun sampaikan perkembangan yang ada," kata Didi.
Untuk itu, pihaknya meminta agar segera mengumpulkan data sebelum bulan April 2016 ini, sebagai bahan pendahuluan untuk sidang CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) yang dilakukan sekitar bulan Oktober atau November di Afrika Selatan.
"Dokumentasi data benih itu harus terdokumentasi dengan baik. Artinya bisa dibedakan antara ikan dari Keramba Jaring Apung (KJA) dan dari alam. Untuk membedakan itu perlu pendataan. Baru nanti daerah-daerah benih itu, dibentuk daerah konservasi. Bisa sifatnya tetap atau bergilir," jelasnya.
Sedangkan perwakilan tim Balitbang KKP lainnya, Amran mengatakan, pihaknya paling tidak membutuhkan 50 sampel indukan dengan bobot 3 kg. Bobot indukan 3 kg ini dianggap penting, karena bila bobot ikan dibawah itu, masih belum menghasilkan telur.
"Menariknya, di Anambas dan Natuna, ikan ini tidak ditangkap. Bahkan seluruh Indonesia hanya 0,25 per hektare saja. Namun, bagaimana kami menunjukan kalau ini banyak dan tidak langka. Nah, untuk itu data-data terus kami kumpulkan," terangnya.