Riska Anggraeni Prastya (Jurusan Ilmu Keluarga & Konsumen, Fak. Ekologi Manusia IPB) |
PERMASALAHAN lingkungan menjadi
ancaman bagi negara Indonesia. Kementerian RI mencatat penduduk Indonesia
rata-rata menghasilkan sekitar 2,5 liter sampah per hari atau 625 juta liter
dari jumlah total penduduk. Menurut Universitas Adelaide, Indonesia termasuk
empat negara yang paling banyak berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
Hal ini dapat kita lihat dari, kerusakan lingkungan di Indonesia pada setiap
tahunnya meningkat, hingga mencapai 40-50 persen dari luas wilayah Indonesia
atau sekitar 190 juta hektare.
Kerusakan tersebut, meliputi :
ekosistem hutan, sawah, serta terumbu karang (Kambuaya,2010). Pada tahun 2008,
Indonesia dianugerahi Certificate Guinnes World Records sebagai Perusak Hutan
Tercepat di Dunia. Produksi elektronik di Indonesia tidak kalah mencengangkan.
Indonesia mampu memproduksi televisi sebanyak 12.500.000 kg per tahun dengan
jumlah impor 6.687.082 kg per tahun (BPS,2012). Penyumbang terbanyak krisis
lingkungan di Indonesia diakibatkan konsumsi sumber daya yang berlebihan.
Berkembangnya konsep konsumen hijau menjadi salah satu pertimbangan dalam
penyelesaian krisis lingkungan di Indonesia. Lalu, apa itu konsumen hijau dan
mengapa harus menjadi konsumen hijau?
Konsep
Konsumen merupakan pengguna
terakhir dari barang dan jasa. Perilaku konsumen sebagai tindakan langsung
terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa,
termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan ini (Engel,
Blackwell, dan Miniard, 1993). Dr. Abraham Maslow memperkenalkan teori kebutuhan
berjenjang yang dikenal sebagai Teori Maslow atau Hirarki Kebutuhan Manusia
(Maslow’s Hierarchy of Needs). Menurut teori Maslow, manusia berusaha memenuhi
kebutuhan tingkat rendahnya terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang
lebih tinggi. Model hirarki kebutuhan Maslow.
Pertama, kebutuhan fisiologis
merupakan kebutuhan dasar manusia, untuk
mempertahankan hidup meliputi makanan, air, udara, rumah, pakaian, dan
seks.
Kedua, kebutuhan rasa aman
merupakan perlindungan fisik manusia dari gangguan kriminalitas, sehingga ia
bisa hidup dengan rasa aman baik di rumah maupun sewaktu berpergian.
Ketiga, kebutuhan sosial
merupakan rasa cinta dan kasih sayang, rasa memiliki dan dimiliki, serta
diterima oleh orang-orang di sekelilingnya.
Keempat, kebutuhan ego atau
esteem untuk berprestasi sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi. Kelima,
kebutuhan aktualisasi diri untuk menjadikan individu sebagai orang terbaik
dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Dari teori Maslow, sebagian besar
individu mempunyai keinginan dan harapan yang harus dicapai. Pada negara maju,
kebanyakan individu sudah melewati kebutuhan dasar, bahkan masuk pada tahap
pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri, sehingga lebih konsen terhadap
pelestarian lingkungan. Pada negara sedang berkembang, sebagian besar individu
masih dalam tahapan pemenuhan kebutuhan dasar sehingga kebutuhan akan
aktualisasi diri kurang. Apalagi kebutuhan akan pelestarian lingkungan.
Tantangan yang dihadapi sekarang, apakah negara berkembang bisa berkontribusi dalam
pelestarian lingkungan? langkah-langkah apa saja yang perlu diperhatikan? Bagaimana prospek ke depannya?
Penerapan dan Prospek
Dari kenyataan tersebut,
muncullah konsep konsumen hijau. Konsumen hijau merupakan implementasi
kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dengan membeli produk ramah
lingkungan atau eco-friendly. Konsep konsumen hijau telah berkembang pesat di
Eropa, AS, Kanada, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. Salah satu contohnya,
konsumen di barat menolak tissue merek tertentu yang pabriknya dibangun di
Papua Indonesia karena bahan baku yang digunakan merusak hutan di Papua.
Dengan adanya konsep konsumen
hijau ini diharapkan individu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya tanpa
meninggalkan kewajibannya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. Kelima
kebutuhan dasar tersebut tidak harus terpenuhi terlebih dahulu. Walaupun
seorang individu masih dalam tahap pemenuhan kebutuhan dasar, ia harus tetap
berperan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Maka dari itu, jadikan konsep
konsumen hijau ini sebagai kebutuhan dasar untuk membentuk individu yang peduli
dengan alam disekitarnya. Beberapa langkah yang perlu dilakukan menjadi
konsumen hijau berbasis kesadaran lingkungan.
Pertama, aktif dalam mencari
informasi produk maupun jasa mengenai mutu, penampilan, harga, garansi, serta
layanan purnajual yang akan dibeli serta aman bisa dilihat dari klaim produk,
seperti: Biodegradable, Bebas Fosfat, CFC Free, Non Polluting, Green Product,
Environmentally Friendly, serta Recycleable.
Kedua, pasca pemakaian,
diharapkan konsumen hijau dapat mendaur ulang sampah-sampah plastik atau
menghancurkan kemasan sebelum dibuang. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
pemanfaatan sampah secara sembarangan.
Ketiga, Gunakan sumber daya
secara tepat, efektif, dan efisien serta punya benteng diri kuat agar konsumen tidak mudah tertipu.
Keempat, konsumen hijau turut
aktif dalam menjaga dan melestarikan lingkungan serta menyuarakan hak-hak dan
kewajiban konsumen sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun
1999.
Konsep konsumen hijau ini pada
dasarnya tidak sulit untuk diterapkan di negara manapun termasuk Indonesia.
Faktor pendorong yang mempengaruhi masyarakat Indonesia, ketika mereka mau atau
tidak untuk mendengar, belajar, berbagi, serta mengaplikasikan konsep konsumen
hijau. Keberagaman masyarakat di Indonesia tidak akan menjadi halangan apabila
setiap orang mempunyai kesadaran diri akan pentingnya menjadi konsumen hijau.
Apabila masyarakat Indonesia menerapkan langkah-langkah konsumen hijau maka
tidak menutup kemungkinan presentase kerusakan lingkungan serta kesehatan
masyarakat akan meningkat ke arah yang lebih baik. Dengan konsep konsumen hijau
yang diterapkan di Indonesia diharapkan negara Indonesia mampu mencapai target
Millennium Development Goals (MDGs)/Tujuan Pembangunan Millenium pada tahun
2015. ***