Banyak orang mengatakan “untuk apa sih capek-capek naik gunung, kemudian turun lagi?”. Obrolan lumrah bagi sebagian orang yang mengira hanya buang buang tenaga, waktu, bahkan uang hanya untuk mendaki gunung. Apalagi kalau ada teman-teman dari pecinta alam, atau orang biasa yang ingin coba-coba mendaki gunung dengan alasan “pengen tau aja gimana rasanya naik gunung”, kemudian hilang dan di temukan tidak bernyawa diekspos media yang belum pasti beritanya. Dipastikan heboh! Dan sebagian orang tua langsung mewanti-wanti anak-anaknya agar tidak mendaki gunung, dengan alasan takut anak nya mati. Pandangan yang salah kaprah menurut ku dan teman teman ku. hehehe.. kenapa? Karena mati bisa dimana saja. Lebih banyak orang kehilangan nyawa di jalan raya dari pada di gunung. (coba fikir aja sendiri… berapa perbandingan nya, kalau perlu pake kalkulator dan mendatangi kantor polisi tuk menanyakan kejadian lakalantas..)
Mungkin sudah banyak teman-teman dari kompasiana yang membaca buku atau artikel tentang pendakian gunung atau bahkan sudah mendaki gunung beneran, di televisi nasional juga sudah sering memberitakan tentang penggiat alam yang melakukan pendakian di puncak tertinggi dunia. Tapi, apakah teman-teman pernah berfikir, untuk apa sih sebenarnya? (hehe.. kita tanya galileo..).
Seperti lagu ciptaan eros sheila on7 (bukan maksud berpromosi nih), “berbagi waktu dengan alam, kau akan tau siapa dirimu yang sebenarnya..”, mungkin ada benarnya lirik tersebut. Karena dari alam, kita akan banyak belajar (belajar memahami diri sendiri, kelompok dan lingkungan) bukan seperti pelajaran di bangku sekolah yang selama ini kita dapatkan. Pembelajaran paling utama dari alam adalah tentang bertahan hidup. Bahasa keren nya Survive. Kita yang biasanya di rumah makan tinggal makan, ataupun klo gak ada makanan tinggal beli di warung nasi, atau, yang lagi pengen masak, masak di dapur, ada panci, ada nasi di rice cooker, ada kuali, ada minyak goreng, ada kompor gas yang tinggal dihidupkan, ada piring kaca, sendok, air yang banyak dan fasilitas lain yang mempermudah kita tuk sekedar makan.
Tidak kalau di gunung, semua nya serba mini. Hal tersebutlah yang membuat otak untuk terus berfikir bagaimana caranya supaya bisa makan (bagi-bagi yang baru mendaki gunung nih.., kalau yang sudah pernah, otomatis otaknya langsung berfikir untuk diteruskan ke indra lainnya agar bisa bekerja sesuai perintah otak).
Belum lagi dengan kondisi suhu yang berbeda antara rumah, lingkungan keseharian kita dengan gunung. Semua orang pasti tau kalau di gunung itu dingin. Kalau lagi di rumah, di luar hujan, malam-malam kedinginan, tinggal tarik selimut. Di gunung, gak pagi gak siang gak malem, dingin terus. Lagi-lagi, otak akan segera berfikir bagaimana caranya agar tidak kedinginan, otomatis, badan akan di gerakkan, kemudian membuat api unggun, oh ya, makan/ngemil juga salah satu cara untuk menghangatkan badan loh, hehehe..
Apalagi dengan kondisi cuaca digunung, mungkin, hanya orang-orang yang berpengalaman lah yang bisa membaca nya. Pada saat akan mulai mendaki, cuaca sangat cerah, tiba-tiba di tengah perjalanan hujan datang tiba-tiba tanpa di undang. Di gunung tak ada tempat berteduh kalau lagi jalan, hehe.. Biasanya teman-teman membawa jas hujan sebagai pelindung mereka agar tidak basah kuyub. Berbeda dengan di kota, kita bisa berteduh dimana saja, bisa di restaurant atau di cafe, sambil minum, minuman hangat. Ajiiiibbb..
Para penggiat alam dilatih untuk bisa survive dengan segala tantangan dan resiko yang terjadi di alam. Bukan bermaksud mencari resiko, menyusahkan diri sendiri atau menaklukkan alam. Harapan dari itu semua mungkin hanya belajar untuk berani hidup dimanapun diri sendiri berada. Karena sudah terlalu banyak manusia untuk berani mati kawan..
Ada berbagai macam keinginan dari teman-teman untuk pendakian gunung, ada yang bilang pengen liat pemandangan dari atas puncak, pengen menaklukkan gunung nya (emang benda hidup bisa ditaklukkan?), pengen pamer, “aku udah naik gunung bla bla bla..” (biar d bilang keren dan hebat?), ikut-ikutan temen atau pacar? (pacar? mungkin juga, pengen tau apa aja yang di lakuin pacar nya kalau naik gunung, trus nyusahin pas dilapangan.. hehe.. ada gak sih? kayaknya ada..), ada juga yang pengen nongkrong aja, ngabisin waktu weekend di gunung karna bosan kalau nongkrong di kota (masuk akal), karena kota terlalu ramai untuk menyendiri (kalau lagi pengen sendiri). Hahaha, ngalor ngidul gak karuan jadinya. Tapi bagi ku dan teman-teman yang sefaham, “mendaki gunung untuk pulang dengan selamat sampai rumah”.
Filosofi hidup yang sangat penting fikir ku..
Ketika aku memulai pendakian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan ku. Seperti itulah hidup kita ini, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di depan kita disetiap harinya.
Ketika aku berada di pertengahan jalan, sudah banyak kawan yang mengeluh, mengajak untuk berhenti, atau diri sendiri yang sudah letih, dan ternyata perjalanan masih lah jauh untuk ke puncak. Seperti itulah terkadang sifat manusia, mudah menyerah.
Ketika aku berada di puncak, tak banyak teman yang bisa sampai ke puncak, ada yg menyerah untuk berhenti di tengah jalan. Tak sanggup untuk meneruskan perjalanan, atau takut untuk menghadapi rintangan selanjutnya. Itulah kehidupan nyata yang terjadi di lingkungan kita berada, banyak yang menyerah di tengah jalan, seluruh hidupnya di isi dengan keluhan, meratapi diri, menyalahkan diri sendiri, orang tua, bahkan Tuhan. Padahal yang bisa membawanya ke puncak, hanyalah dirinya sendiri.
Begitu banyak rintangan untuk mencapai ke puncak, jalan/jalur yang semakin sempit, bebatuan terjal, jurang yang selalu menganga, seolah siap menerima ketika tubuh jatuh terhempas, angin yang kencang bahkan hujan badai.
Jadi, siapapun bisa berada di puncak, teman! Ntah itu laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, normal ataupun tidak normal (cacat), mari kita sama-sama berjuang untuk hidup kita sendiri. Dan jangan lupa untuk selalu mengingat-Nya, dimanapun kita berada..
Semoga, dengan segala rintangan HIDUP yang ada, jiwa dan raga bisa melewati nya, kembali ke pangkuan sang pencipta dengan segala kesiapan seolah kita akan mati sekarang..
**foto oleh : Heriyadi Asyari
**plh Silajara Indonesia, Salam Lestari