Puncak Gunung Kerinci 3810Mdpl
Mungkin sudah banyak teman-teman dari kompasiana yang membaca buku atau artikel tentang pendakian gunung atau bahkan sudah mendaki gunung beneran, di televisi nasional juga sudah sering memberitakan tentang penggiat alam yang melakukan pendakian di puncak tertinggi dunia. Tapi, apakah teman-teman pernah berfikir, untuk apa sih sebenarnya? (hehe.. kita tanya galileo..).
Seperti lagu ciptaan eros sheila on7 (bukan maksud berpromosi nih), “berbagi waktu dengan alam, kau akan tau siapa dirimu yang sebenarnya..”, mungkin ada benarnya lirik tersebut. Karena dari alam, kita akan banyak belajar (belajar memahami diri sendiri, kelompok dan lingkungan) bukan seperti pelajaran di bangku sekolah yang selama ini kita dapatkan. Pembelajaran paling utama dari alam adalah tentang bertahan hidup. Bahasa keren nya Survive. Kita yang biasanya di rumah makan tinggal makan, ataupun klo gak ada makanan tinggal beli di warung nasi, atau, yang lagi pengen masak, masak di dapur, ada panci, ada nasi di rice cooker, ada kuali, ada minyak goreng, ada kompor gas yang tinggal dihidupkan, ada piring kaca, sendok, air yang banyak dan fasilitas lain yang mempermudah kita tuk sekedar makan.
Tidak kalau di gunung, semua nya serba mini. Hal tersebutlah yang membuat otak untuk terus berfikir bagaimana caranya supaya bisa makan (bagi-bagi yang baru mendaki gunung nih.., kalau yang sudah pernah, otomatis otaknya langsung berfikir untuk diteruskan ke indra lainnya agar bisa bekerja sesuai perintah otak).
Dengan alat-alat masak serba mini ini kami
bisa makan,,, sedapnya! karena di atas gunung kerinci gak ada buka
warung nasi, beda dengan gunung-gunung wisata lain..
Harus mengambil air untuk bisa minum.. kalau dirumah??? tinggal mencet dispenser, atau tinggal menuang dari ceret/teko. hehe..
Dengan tas yang ada di punggung itulah kami berjalan menuju ke puncak..
Di dalam tenda itu tempat beristirahat melewati malam, tanpa dinding tembok, tanpa spring bed.
Para penggiat alam dilatih untuk bisa survive dengan segala tantangan dan resiko yang terjadi di alam. Bukan bermaksud mencari resiko, menyusahkan diri sendiri atau menaklukkan alam. Harapan dari itu semua mungkin hanya belajar untuk berani hidup dimanapun diri sendiri berada. Karena sudah terlalu banyak manusia untuk berani mati kawan..
Ada berbagai macam keinginan dari teman-teman untuk pendakian gunung, ada yang bilang pengen liat pemandangan dari atas puncak, pengen menaklukkan gunung nya (emang benda hidup bisa ditaklukkan?), pengen pamer, “aku udah naik gunung bla bla bla..” (biar d bilang keren dan hebat?), ikut-ikutan temen atau pacar? (pacar? mungkin juga, pengen tau apa aja yang di lakuin pacar nya kalau naik gunung, trus nyusahin pas dilapangan.. hehe.. ada gak sih? kayaknya ada..), ada juga yang pengen nongkrong aja, ngabisin waktu weekend di gunung karna bosan kalau nongkrong di kota (masuk akal), karena kota terlalu ramai untuk menyendiri (kalau lagi pengen sendiri). Hahaha, ngalor ngidul gak karuan jadinya. Tapi bagi ku dan teman-teman yang sefaham, “mendaki gunung untuk pulang dengan selamat sampai rumah”.
Filosofi hidup yang sangat penting fikir ku..
Ketika aku memulai pendakian, aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan ku. Seperti itulah hidup kita ini, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di depan kita disetiap harinya.
Ketika aku berada di pertengahan jalan, sudah banyak kawan yang mengeluh, mengajak untuk berhenti, atau diri sendiri yang sudah letih, dan ternyata perjalanan masih lah jauh untuk ke puncak. Seperti itulah terkadang sifat manusia, mudah menyerah.
Ketika aku berada di puncak, tak banyak teman yang bisa sampai ke puncak, ada yg menyerah untuk berhenti di tengah jalan. Tak sanggup untuk meneruskan perjalanan, atau takut untuk menghadapi rintangan selanjutnya. Itulah kehidupan nyata yang terjadi di lingkungan kita berada, banyak yang menyerah di tengah jalan, seluruh hidupnya di isi dengan keluhan, meratapi diri, menyalahkan diri sendiri, orang tua, bahkan Tuhan. Padahal yang bisa membawanya ke puncak, hanyalah dirinya sendiri.
Begitu banyak rintangan untuk mencapai ke puncak, jalan/jalur yang semakin sempit, bebatuan terjal, jurang yang selalu menganga, seolah siap menerima ketika tubuh jatuh terhempas, angin yang kencang bahkan hujan badai.
Jalur sempit, licin dan berlumut yang harus di lewati tuk menuju ke puncak..
Bebatuan tajam dengan jalur yang terjal untuk menuju ke puncak..
Kami perempuan juga bisa sampai ke puncak!
**foto oleh : Heriyadi Asyari
**plh Silajara Indonesia, Salam Lestari