United
Nations Environment Programme (UNEP) mengangkat “Think-Eat-Save”
sebagai tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5
Juni 2013 ini. Dengan tema tersebut, UNEP mengajak semua warga dunia
untuk lebih sadar akan dampak lingkungan yang diakibatkan dari pilihan
jenis makanan yang dibuat ataupun dikonsumsi.
Untuk
Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengusung tema yang
selaras yaitu “Ubah Perilaku dan Pola Konsumsi Untuk Selamatkan
Lingkungan”. Pemilihan tema ini dimaksudkan oleh KLH untuk membuka
kesadaran masyarakat atas pentingnya menyikapi pemanfaatan sumber daya
alam termasuk pemanfaatan bahan makanan secara bijak. Titik temu dari
kedua tema tersebut bermuara pada aspek pangan dari kacamata lingkungan.
Gaya
hidup manusia menurut FAO telah menyebabkan sedikitnya 1,3 miliar ton
makanan terbuang percuma. Padahal 1 dari 7 orang di dunia masih terkena
bencana kelaparan dan lebih dari 20.000 anak balita meninggal setiap
hari karena kelaparan. Dampak dari limbah makanan selain merugikan
secara finansial juga berdampak buruk bagi lingkungan. Semakin banyak
sisa makanan yang terbuang berarti juga semakin besar pemborosan
terhadap penggunaan bahan kimia, sumberdaya air, serta bahan bakar. Semakin besar makanan terbuang ke tempat pembuangan sampah juga akan membuat kontribusi yang signifikan terhadap pemanasan global.
Lingkungan
yang menjadi media utama penghasil pangan daya dukungnya terbatas.
Keterbatasan tersebut terjadi baik secara kuantitas maupun kualitas.
Sebaliknya kebutuhan manusia akan pangan semakin meningkat seiring
dengan pertumbuhan penduduk dan gaya hidup boros manusia.
Penulis
yang tergabung dalam Tim PPEJ (2011) pernah mengkaji daya dukung
lingkungan di Sub DAS Bengawan Solo Hulu. Hasilnya menunjukkan bahwa
seluruh kabupaten/kota mengalami defisit dalam daya dukung lahan
pertanian. Hal ini mengindikasikan produksi lahan pertanian di wilayah
Sub-DAS Bengawan Solo Hulu sudah tidak mampu mendukung kebutuhan pangan
penduduknya, sehingga membutuhkan pasokan dari luar.
Gambaran
daya dukung lingkungan di atas tentu akan berakibat pada tidak
tercapainya swasembada pangan. Ketahanan pangan masih mungkin diwujudkan
dengan praktek mendatangkan dari wilayah bahkan negara lain.
Kementerian Lingkungan Hidup RI (2013) memprediksi sekitar 49,3% bahan
makanan berasal dari luar daerah. Fenomena ini akan memberikan dampak
bagi lingkungan, misal meningkatnya emisi karbon dari transportasi.
Kondisi
di atas merupakan peringatan agar segera dilakukan langkah-langkah
konkrit dalam rangka menguatkan daya dukung lingkungan dalam aspek
pangan.
Pertama,
luasan lahan pertanian produktif perlu dipertahankan dan dijaga dari
derasnya upaya konversi. Mekanisme insentif dan disinsentif mendesak
direalisasikan. Petani sudah seharusnya diringankan bebannya misal
dengan meniadakan pajak lahan sawah, subsidi pupuk, dan lainnya.
Sedangkan pelaku konversi perlu dikendalikan dengan ketegasan kebijakan
lahan pertanian berkelanjutan atau memaksimalkan pungutan perizinan dan
pajak.
Kedua,
produktivitas pertanian perlu ditingkatkan sehingga mampu menjadi
sektor menggiurkan. Pengembangan komoditi perlu divariasikan. Sektor
hulu-hilir pertanian juga harus dihadirkan dengan petani sebagai pelaku
utamanya. Kewirausahaan petani penting untuk ditumbuhkan dan didukung
dengan kebijakan seperti bantuan modal, bimbingan teknis, distribusi
produk, dan lainnya.
Ketiga,
perilaku petani perlu diarahkan agar tercipta pertanian yang minim
pencemaran. Kebijakan pertanian organik dapat dikembangkan. Petani juga
harus dilindungi dari permainan ekonomi perusahaan-perusahaan pupuk
besar.
Keempat,
diversifikasi bahan pangan dan budaya memanfaatkan produk pangan lokal
perlu digalakkan kembali. Hal ini untuk mengurangai ketergantungan pada
produksi beras, sedangkan daya dukung lingkungan belum tentu cocok untuk
komoditi padi. Selain itu, diversifikasi juga dapat memperbaiki
kualitas tanah dan mengurangi hama dan penyakit.
Ekoefisiensi Pangan
Hasil
studi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2012 menunjukkan bahwa
Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) masih berkisar pada angka 0,57
(dari angka mutlak 1). Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita
baru setengah-setangah berperilaku peduli lingkungan dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari. Peduli atau Ramah lingkungan harus terus
diupayakan termasuk konsumsi pangan. Sangat penting mendorong perilaku
dan gaya hidup manusia agar efisien dan ramah lingkungan dalam hal
pangan. Kunci pentingnya adalah melakukan efisiensi pemanfaatan dan
meminimalisasi limbah akibat pemakaian.
Efisien
artinya tepat pakai. Ketepatan tersebut menyangkut besaran dan
fungsinya. Secara besaran tepat sesuai takaran yang dibutuhkan dan
secara fungsional tepat sesuai kemanfaatan yang dibutuhkan. Selain itu
efisiensi juga perlu didorong dalam aspek lingkungan atau dikenal dengan
eko-efisiensi.
Kebutuhan
asupan makanan setiap hari sudah ada takarannya. Pilihan makanan pun
bisa diamati dari sisi kebutuhan kalori. Selain tidak berlebihan,
konsumsi makanan juga perlu mempertimbangkan jenis makanan. Di era
kimiawi seperti sekarang, pilihan makanan yang bersifat alami selain
baik dari sisi medis juga ramah lingkungan. Bandingkan dengan
makanan-makanan olahan yang membutuhkan bahan bakar dan menghasilkan
limbah.
Ibu
rumah tangga juga perlu dikenalkan pada praktek eko-efisiensi dalam
mengolah makanan di rumah. Contoh sederhana adalah menghemat listrik
atau bahan bakar ketika memasak.
Sejak
kecil juga penting dididik agar makan secukupnya dan tidak menghasilkan
sisa makanan yang sebenarnya masih bisa dimakan. Pendekatan spritual
bisa digunakan, misalkan memahamkan bagi Muslim akan ajaran Nabi SAW
agar makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, artinya
tidak boleh berlebihan. Nabi juga mengajarkan makan harus habis tanpa
limbah yang harusnya masih bisa dimakan. Dalam budaya Jawa nasi juga
memiliki nilai spiritual. Jika makan kemudian tersisa dan terbuang
percuma, maka dipercayai Dewi Sri, dewi penjaga dan pemelihara padi akan
murka. Karena itu bagi orang Jawa menyia-nyiakan nasi adalah pantangan
besar.
Upaya
mengubah perilaku dan pola konsumsi harus dimulai dari level individu.
Saatnya gaya hidup hijau yaitu perilaku yang ramah lingkungan
dibudayakan dan dijadikan trend baru. Gaya hidup hijau selain bervisi
lingkungan juga sarat nilai sosial dan kesehatan. Mari mulai dari diri
sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai sekarang juga.
* Penulis adalah Peneliti dan Ketua Divisi Riset Pusat Studi Lingkungan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta