halo plh Indonesia_Tidak banyak orang kenal dengan daerah Bonto Barombong, bila dibandingkan dengan kepopuleran Tana Toraja dengan tongkonannya, Bira dengan kebeningan laut dan pantainya yang berpasir putih lembut, atau Bantimurung dengan air terjunnya yang eksotis, yang kerap menjadi buah bibir, bahkan telah menjadi salah satu daerah unggulan tujuan wisata di Sulawesi Selatan.
Beliau menjelaskan, Bongaya berasal dari kata Bonggang yang artinya paha. Dikisahkan, di lokasi yang dipenuhi pepohonan besar itu, Sultan menggunakan pahanya (Makassar: Bonggang) sebagai alas saat menandatangani perjanjian tersebut
Bekas-bekas dan jejak sejarah itu sampai sekarang masih dapat ditemui. Namun kurangnya
perhatian pemerintah dalam melestarikan lokasi tersebut, yang pantas disebut kawasan situs bersejarah, menjadikannya luput dari pengetahuan generasi sekarang –terkesan kurang terawat, kalau tidak mau dikatakan terabaikan. Padahal tidak jauh dari lokasi perjanjian, terdapat Balla Lompoa Barombong, sebuah rumah adat yang dipercaya sering dipakai sebagai tempat beristirahat oleh Sultan Hasanuddin. Di rumah yang sudah beberapa kali mengalami pemugaran ini juga terdapat ranjang yang sering dipakai Sultan.
Terletak di tengah areal persawahan milik warga di Bonto Barombong, di bawah rimbunan pohon mangga dan semak perdu liar, terdapat sebuah kompleks pemakaman. Sepintas tempat tersebut biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Salah satu makam yang berada tepat di bawah rimbunan pohon besar itu dikeramatkan warga. Dipercaya, penghuni makam tersebut adalah Daeng ri Bungaya. Dari cerita turun temurun, Daeng ri Bungaya adalah salah seorang kerabat dekat Sultan Hasanuddin yang ikut menyaksikan penandatangan perjanjian Bungaya. Namun, beberapa warga setempat punya cerita lain. Makam itu sudah lebih dulu ada ketika perjanjian dilaksanakan. Bahkan versi lain yang agak berbau mitos mengatakan, makam tua itu sudah ada sejak Bumi diciptakan.
“Anjo kuburuka simulangi linoa. Anjomintu nikaramakkangi anjo kubburuka. Iyami anjo sombaya, napilei anjo tampakka, untuk appalakkana assitujui parjanjianga.” Kata Daeng Baso, penjaga makam. Kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia, artinya kira-kira begini: “Kuburan itu bersamaan
munculnya dunia ini. Itu sebabnya dikeramatkan. Raja (maksudnya Sultan Hasanuddin) memilih tempat itu sekaligus meminta izin disetujuinya perjanjian itu”.
Asal muasal kata Bungaya memiliki banyak versi. Seorang tokoh masyarakat di daerah Barombong, Daeng Manangkasi mengungkapkan, Bungaya berasal dari kata Bunga, yang bermakna kembang. Menurutnya, Perjanjian Bungaya itu ditandatangai dengan harapan terwujudnya perdamaian sebagaimana damainya rupa bunga, dan menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak dari masyarakat Gowa.
“Perjanjian Bungaya terpaksa di sepakati oleh Sultan agar kerajaan tetap berkembang layaknya bunga,” ungkap Daeng Manangkasi. “Waktu itu Belanda mengancam akan membunuh semua rakyat Kerajaan Gowa, tidak peduli laki-laki, perempuan, anak kecil maupun orang tua,” tambahnya.
Dengan pertimbangan menghindari korban dari rakyat yang tidak berdosa, apalagi mengingat keadaan itu sangat rawan –pengkhianatan yang dilakukan oleh orang dalam, yang berbalik membelot ke Belanda, menjadikan Sultan Hasanuddin terdesak. Strategi terbaik yang bisa beliau tempuh hanya satu, menyetujui perjanjian (yang hakikatnya deklarasi kekalahan Gowa) yang disodorkan Belanda, untuk kemudian menyusun rencana. Maka dengan berat hati Sultan akhirnya menandatangani perjanjian tersebut pada 18 Nopember 1667, yang oleh pihak kompeni diwakili Laksamana Cornelis Speelman. Perjanjian yang dalam istilah Makassar disebut Cappaya ri Bungaya ini ditolak oleh beberapa Bangsawan Gowa. Di antaranya putera Sultan sendiri, yakni Karaeng Galesong bersama sepupunya, Karaeng Naba, termasuk Karaeng Bontomarannu, tokoh buas di medan lautan. Mereka memilih meninggalkan Kerajaan Gowa (Bumi Makassar) ke Jawa dan berkeliaran di lautan bebas. Sementara bangsawan lainnya menyebar ke Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia Timur. Dari titik inilah Diaspora Makassar di jagat Indonesia, bahkan Asia Tenggara menemukan momentumnya.
“Punna Sombaya (Sultan) tetapki berkeras tena nassitujui anjo parjanjianga, mate ngaseng mi rakya’ka, nibuno kabusu ri Balandaiya, manna anak-anak caddi. Tena maki kamma-kama anne,” (Kalau Sultan tetap berkeras menolak perjanjian itu, semua rakyat akan mati dibunuh oleh Belanda, bahkan anak kecil sekalipun. Kalau itu terjadi, kita semua sekarang ini sudah tidak ada),” kata Daeng Baso.
Sementara Raja Tallo ke XIX, Muhammad Akbar Amir Sultan Aliyah yang bergelar I Paricu Daeng Manamba Karaeng Tanete, memiliki pandangan lain tentang penamaan Bungaya. Beliau menjelaskan, Bongaya berasal dari kata Bonggang yang artinya paha. Dikisahkan, di lokasi yang dipenuhi pepohonan besar itu, Sultan menggunakan pahanya (Makassar: Bonggang) sebagai alas saat menandatangani perjanjian tersebut. Cara ini dilakukan pula pihak Belanda ketika bertanda tangan. Selanjutnya kata Bongganga yang dipakai untuk menamai perjanjian tersebut, yang dilidah kompeni dibaca Bongaisch, sementara lidah kita membacanya Bongaya, yang biasa juga disebut Bungaya.
Beberapa catatan sejarah juga menyebutkan Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak di sekitar pusat Kerajaan Gelgel di Klungkung, Bali dan memiliki hubungan erat dengan Belanda. Konon Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi ke Kerajaan Gowa, tetapi ekspedisi tersebut gagal.
Berdasarkan catatan sejarah, perjanjian Bungaya terpaksa ditandatangani karena peperangan yang terus menerus antara Kerajaan Gowa dengan VOC mengakibatkan jatuhnya kerugian dari kedua belah pihak, oleh Sultan Hasanuddin melalui pertimbangan kearifan dan kemanusiaan guna menghindari banyaknya kerugian dan pengorbanan rakyat, maka dengan hati yang berat menerima permintaan damai VOC.
Namun perjanjian ini tidak berjalan langgeng. Pada tanggal 9 Maret 1668, Sultan Hasanudin kembali dengan heroiknya mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya Benteng Somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar erat dalam kenangan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membela kehormatannya.
Masa pemerintahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe atau yang lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin, merupakan masa keemasan Kerajaan Gowa. Pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa. Komoditi ekspor utama kerajaan Gowa adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa Saudagar Melayu berperan penting dalam perdagangan dan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu.
Selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan.
Belanda melalui sarikat dagangnya VOC, berusaha menguasa seluruh kegiatan perdagangan di wilayah Kerajaan Gowa. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan kompeni.
Pertempuran terus berlangsung, kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar (yang dipimpin Arung Palakka) menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Mengenai keberadaan makam Daeng Ri Bungaya yang ada di Bonto Barombong, hingga sekarang masih misteri. Data tertulis tentang tokoh misterius tersebut masih belum ditemukan. Siapa dan bagaimana tokoh tersebut tak banyak yang tahu, termasuk mengapa Sultan Hasanuddin memilih tempat tersebut dan (merasa perlu) meminta izin. Namun yang pasti, dari ragamnya cerita yang berkembang, lokasi penandatanganan Perjanjian Bungaya tidak diragukan lagi, yaitu di Desa Bonto Barombong –lokasi sejarah yang menyimpan banyak kisah, yang masih perlu terus digali untuk diketahui oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Betapa disayangkan bila situs sejarah itu dibiarkan terbengkalai tak terurus –berakhir menjadi hutan ruko, area bisnis atau sekadar lahan parkir, seperti nasib situs sejarah lainnya di Makassar. [V] Khairil Anas
Isi Perjanjian Bongaya
Pasal 1
Menyetudjui perdjanjian-perdjanjian tanggal 19 Agustus dan 21 Desember 1660
Pasal 2
Semua dienaren (pegawai-pegawai) bangsa Eropa (Belanda) dan rakjat Belanda jang ada di Somba Opu (jang mendjadi tawanan atau jang telah lari menjeberang pada keradjaan Gowa harus diserahkan kepada Kompeni Belanda.
Pasal 3
Semua barang-barang jang teah disita oleh pemerintah keradjaan Gowa jang berasal dari kapal-kapal Belanda jang pernah atau telah kandas dan dirusakkan, harus diserahkan kepada Kompeni Belanda.
Pasal 4
Orang-orang jang bersalah karena telah melakukan pembunuhan-pembunuhan atas diri orang-orang Belanda dan mereka telah merusakkan kapal-kapal Belanda, akan dihukum di hadapan residen Belanda di Djumpandang.
Pasal 5
Orang-orang jang berutang kepada orang kompeni harus membajar lunas segala utangnya dalam tempo satu tahun.
Pasal 6
Orang-orang Portugis dan orang-orang Inggeris harus meninggalkan Makassar sebelumnja achir tahun. Sultan tidak boleh meluaskan bangsa-bangsa Eopa lain berdagang di dalam daerah keradjaannja, pun tidak boleh menerima duta-duta dari mereka itu.
Pasal 7
Hanja kepada kompeni sadja diberikan hak untuk mendjual di Djumpandang barang-barang import jang penting. Pelanggar-pelanggar hukum akan dihukum dan barang-barang jang bersangkutan akan disita untuk keuntungan kompeni. Kain-kain jang dibuat di daerah-daerah pesiri Timur dari Djawa tidak termasuk dalam larangan ini.
Pasal 8
Kompeni bebas dari semua bea dan kewadjiban-kewadjiban pada pemasukan dan pengeluaran barang-barang.
Pasal 9
Orang-orang Makassar tidak boleh berlajar selain daripada ke Bali, Djawa, Batavia, Bantam, Djambi, Palembang, Djohor, dan Borneo, untuk mana mereka harus mempunjai surat pas.
Pasal 10
Benteng-benteng pertahanan Barombong, Pa’nakukang, Garasssi, mariso dan lain-lainnja harus dirombak. Djuga tidak boleh, dimana pun, didirikan benteng pertahanan baru. Hanja Benteng Somba Opu jang besar itu akan tinggal untuk kerajaan Gowa.
Pasal 11
Benteng Djumpandang bersama perkampungan dan tanah jang termasuk lingkungannja akan diserahkan kepada kompeni. Lodji kompeni akan didirikan kembali.
Pasal 12
Mata uang Belanda seperti yang digunakan di Batavia akan diberlakukan kembali di Djumpandang.
Pasal 13
Sultan dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2 ½ tael atau 40 mas Makassar per orang. Setengahnya sudah harus terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
Pasal 14
Radja dan para bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
Pasal 15
Radja Gowa akan berusaha menjerahkan radja Bima, radja Dompu, radja Tambora dan radja Sanggar jang kesemuanja bersalah telah mengadakan pembunuhan atas orang-orang Belanda di Bima. Djuga Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada kompeni.
Pasal 16
Sultan harus melepaskan segala haknja atas keradjaan Buton.
Pasal 17
Sultan harus melepaskan segala haknja atas pulau-pulau Sula dan lain-lain pulau jang termasuk kekuasaan Ternate, seperti Selayar, Muna bersama seluruh Tanatunatea dan Badjeng dan daerah taklukannja, jang kesemuanja sementara dalam peperangan telah datang kepada kompeni, sebagai radja-radja jang bebas tanpa sesuatu hak mereka itu.
Pasal 18
Pemerintah keradjaan Gowa harus melepaskan kekuasaannja atas keradjaan Bone dan keradjaan Luwu dan berjandji akan memerdekakan Datu Soppeng (La Tenribali) dari pengasingannja.
Pasal 19
Pemerintah keradjaan Gowa selandjutnya menjatakan akan mengakui raja Laija dan radja Bangkala Bakke dan radja Appanang datang; maka negeri-negeri tersebut akan diberlakukan sesuai dengan hak kompeni atas daerah-daerah di sebelah Utara Makassar.
Pasal 20
Semua negeri jang dalam peperangan dikalahkan oleh kompeni bersama sekutu-sekutunja, terhitung mulai dari Bulo-bulo sampai Bungaja akan mendjadi dan tetap sebagai negeri-negeri milik jang telah dimenangkan oleh kompeni bersama sekutu-sekutunja menurut hukum perang; kemudian bilamana radja Sultan harus melepaskan segala haknja atas pulau-pulau Sula dan lain-lain pulau jang termasuk kekuasaan Ternate, seperti: Silajar, Muna dan seluruh daerah-daerah di pesisir Timur Sulawesi, jaitu mulai dari Sanna sampai Manado, pulau-pulau Banggai, Gapi, dan lain-lainnja jang terletak antara Mandar, dan Manado, seperti Lambagi, Kaidipan, Buwol, Toli-Toli, Dampelas, Balaisang, Silensak dan Kaili.
Pasal 21
Pemerintah keradjaan Gowa menjatakan akan melepaskan haknja atas Wadjo, Bulo-Bulo dan Mandar jang kesemuanja dianggap dudjana terhadap kompeni dan sekutu-sekutunja dan neger-negeri tersebut akan diperlakukan oleh kompeni dan sekutu-sekutunya menurut kehendak kompeni.
Pasal 22
Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dan terus bersama istri mereka. Untuk selanjutnja jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea yang berharap tinggal dengan orang Makassar boleh melakukannya dengan seijin penguasa tau raja jang berwenang.
Pasal 23
Pemerintah keradjaan Gowa akan menutup negerinya untuk bangsa-bangsa lain (kecuali Belanda). Bilamana pemerintah keradjaan Gowa tidak mampu menolak mereka itu tinggal di Djumpandang, maka pemerintah keradjaan Gowa akan meminta bantuan kompeni jang ia akui sebagai perlindungannja, dengan kewadjiban selandjutnja, bahwa ia akan membantu kompeni terhadap musuh-musuh kompeni dan ia tak akan mengadakan permusjawaratan- permusjawaratan dengan negara-negara jang berperang dengan Belanda.
Pasal 24
Berdasarkan pasal-pasal yang disebutkan di atas ini, maka dibuatlah oleh sultan bersama pembesar-pembesar keradjaannja suatu perdjanjian perdamaian, persahabatan dan persekutuan (bondgenootschap), di dalam mana termasuk radja-radja dari Ternate, Tidore, Batjan, Buton, Bone, Soppeng, Luwu, Tunatea (Laija, Binamu, Badjeng) bersama dengan daerah-daerah taklukannja, begitu pun Bima dan tuang-tuna tanah dan radja-radja jang kemudian akan meminta masuk dalam persekutuan ini.
Pasal 25
Kompeni akan mengambil keputusan di dalam perselisihan-perselisihan di antara anggota-anggota sekutu. Bilamana ada satu pihak jang tidak mau mengindahkan perantaraan jang diberikan oleh kompeni, maka dimana perlu semua anggota sekutu memberi bantuan kepada pihak jang lain itu.
Pasal 26
Dua orang jang terkemuka dari madjelis pemerintahan di Gowa akan berangkat bersama Spelman ke batavia untuk meminta pengesahan dari Gubernur-Djenderal atas perdjanjian-perdjanjian tersebut. Gubernur-Djenderal, djika ia kehendaki, akan suruh tinggal di Batavia dua orang putera dari Sultan sebagai djaminan.
Pasal 27
Untuk mewudjudkan apa jang ditetapkan pada pasal 6, kompeni akan angkut orang-orang Inggris bersama barang-barangnja ke Batavia.
Pasal 28
Untuk mewudjudkan apa jang telah ditetapkan pada pasal 15, maka bilamana dalam tempo sepuluh hari radja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam 10 hari maka putera dari penguasa harus diserahkan kepada kompeni.
Pasal 29
Sultan berdjanji akan membajar kepada kompeni 250.000 rijksdaalders (ringgit?) sebagai pembajaran ongkos perang jang harus dilunakan dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, emas, perak, ataupun permata.
Pasal 30
Radja Makassar dan para bangsawannja, Laksamana sebagai wakil kompeni, serta seluruh radja dan bangsawan jang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani perdjanjian ini di atas sumpah atas nama Tuhan pada hari Djumat tanggal 18 Nopember 1667 di Bungaja. []
Sumber:
Abdul Rasak Daeng Patunru. Sejarah Gowa (Makassar: Jajasan Kebudjajaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1967), hlm. 53-58; naskah perjanjian yang asli dapat dibaca pada disertasi F.W. Stapel. Het Bongaais Verdrag (Leiden: University of Leiden, 1922), hlm. 237-247.