Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), sebuah
organisasi penyelamat lingukngan, dalam waktu dekat ini akan mengajukan
gugatan warga (citizen lawsuit) dan class action terkait
kebakaran hutan dan lahan di Sumatera, terutama di Riau dan Jambi. Walhi
juga telah melaporkan 117 perusahaan di Riau plus dua di Jambi kepada
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
â€Å“Usai Lebaran
ini kita akan ajukan gugatan,†kata Muhnur Satyahaprabu, Manajer
Kebijakan dan Pembelaan Hukum Eksekutif Nasional Walhi, dalam diskusi
tentang kebakaran hutan dari kajian aspek hukum di Jakarta, Kamis
(18/7/2013) kemarin seperti dilansir laman Mongabay.
Dia mengatakan, citizen lawsuit
dilayangkan karena pemerintah lamban dalam penanganan kebakaran hutan,
termasuk kabut asap di Riau dan Jambi, baru-baru ini. Kejadian serupa
pun terus terulang setiap tahun.
Menurut dia,
saat kabut asap, penyediaan masker oleh pemerintah minim, hingga warga
harus membeli sendiri. Pengerahan personel TNI pun lama. Kejadian sudah
berlangsung beberapa minggu, baru menurunkan TNI untuk mengevakuasi
warga.
Dalam gugatan itu, Presiden, menjadi tergugat pertama, disusul beberapa kementerian dan pemerintah daerah.
Dalam
tuntutannya nanti, Walhi menuntut pemerintah mengeluarkan kebijakan
guna melindungi warga negara yang berada dalam ancaman udara buruk
karena melebihi ambang batas kesehatan, pencegahan, dan penanggulangan
cepat atas peristiwa kebakaran hutan di sejumlah pulau di Indonesia.
Walhi
juga meminta pemerintah serius dalam mengevaluasi perizinan maupun
konsesi baik kebun dan hutan tanaman industri (HTI). Di lapangan, banyak
lahan gambut dalam ‘dimiliki’ perusahaan. Seharusnya, di atas lahan
itu tak boleh ada izin ataupun konsesi. â€Å“Apalagi lahan gambut ini
berpotensi besar terjadi kebakaran hutan,†katanya.
Walhi
menuntut penegakan hukum termasuk menangkap pelaku-pelaku, baik
perseorangan maupun korporasi, yang bertanggung jawab atas wilayah
konsesi mereka.
Sebelum upaya ini, Walhi telah
melayangkan somasi antara lain kepada Kementerian Kehutanan (Kemenhut),
Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), pemerintah
daerah termasuk kepolisian RI.
Pada Juni lalu,
Walhi sudah melaporkan 117 perusahaan yang terlibat kebakaran hutan di
Riau termasuk dua perusahaan di Jambi, PT Lestari Asti Jaya dan PT Wira
Karya Sakti. Di Riau, dari 117 perusahaan itu, 32 perusahaan berstatus
hak guna usaha (HGU), 26 HTI milik APP dan 58 HTI RAPP.
â€Å“Bukti-bukti
di 117 perusahaan bakar hutan ini diharapkan dapat membantu KLH
tegakkan hukum.†Dengan laporan ini, kata Muhnur, Walhi ingin
menyampaikan bahwa tak bisa membiarkan kebakaran terjadi dengan alasan
apapun.
Begitu juga class action,
diajukan kepada perusahaan yang nyata-nyata membakar hutan dan lahan.
Jadi, aksi Walhi bersamaan, pertama, meminta pemerintah bertindak lewat
citizen lawsuit, kedua, class action kepada perusahaan yang telah
menimbulkan kerugian bagi warga.
Pada
kesempatan sama, Andri G Wibisana, Ketua Sub Program Doktor Ilmu Hukum,
Universitas Indonesia, mengatakan, para perusahaan pembakar hutan dan
lahan di Indonesia, tak jera-jera karena pemerintah jarang meminta atau
menggugat ganti rugi atas kerugian negara dampak kebakaran itu.
Kala
terjadi kebakaran, wajar jika pemerintah mengalokasikan dana besar
untuk menangani masalah ini. Namun, pemerintah lupa meminta kembali uang
itu lewat menggugat balik perusahaan. Praktik menggugat kompensasi oleh
pemerintah ke perusahaan ini sudah berjalan di negara lain, seperti
Amerika Serikat.
â€Å“Di Indonesia tak pernah
terjadi. Tak pernah pemerintah minta ganti rugi kepada perusahaan
perusak. Jika ini dibiarkan terus menerus maka negara ini bisa jadi
surga para pencemar,†tegasnya.
Untuk itu,
perlu dipikirkan kemungkinan menggugat pemerintah agar meminta balik
kompensasi kepada perusahaan perusak atau pencemar. â€Å“Kalau dibiarkan
sangat bahaya. Jadi pemerintah kasih uang subsidi bagi para
pencemar,†ujar Andri.
Aturan hukum di
Indonesia, katanya, sebenarnya sudah cukup banyak yang bisa menjerat
para pelaku terutama perusahaan pembakar hutan. â€Å“Untuk menjerat
pelaku kebakaran hutan tak susah secara hukum. Delik bisa formil. Tapi
lagi-lagi apakah ini diterapkan? Tidak dalam praktiknya,†tukas Andri.
Dia
menyebutkan, ada UU tentang kehutanan pada Pasal 49 gamblang
mencantumkan pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya
kebakaran hutan di areal kerjanya. Hukuman pun cukup berat dan denda
tinggi. â€Å“Dengan UU Kehutanan ini terbakar saja sudah bisa dipidana,
pembuktian sangat mudah. Tanpa perlu melihat akibat,†tegasnya lagi.
Lalu,
UU Lingkungan Hidup No 32, jerat hukum bisa dari delik materiil dan
formil, dan ada beberapa peraturan pemerintah seperti PP No 45 Tahun
2004 tentang Perlindungan Hutan dan lain-lain. (*)
Editor: Dodo