Jangan remehkan mangrove (hutan bakau). Keberadaannya justru bisa menyelamatkan manusia dari bencana alam mahadashyat.
Penanaman kembali kawasan mangrove di Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat penting untuk mencegah dampak mematikan dari serangan badai tropis seperti yang kini tengah terjadi di Filipina dan bencana tsunami yang menghantam pesisir Aceh bulan Desember 2004 silam.
Penanaman kembali mangrove di wilayah Samar bagian utara, sekitar 160 kilometer dari kota Tacloban yang kini hancur lebur dihantam badai tropis, telah membantu menekan dampak kerusakan serangan badai tanggal 8 November 2013 silam, menurut keterangan dari Trowel Development Foundation yang melakukan penanaman ini.
Sementara di Sumatera, di mana tsunami sudah menelan 170.000 korban jiwa, sejumlah perusahaan seperti Danone dan Credit Agricole SA, yang sudah berinvestasi sebesar 4 juta dollar sebagai karbon offset di Aceh, telah melakukan kembali penanaman mangrove.
Pohon-pohon yang hidup di hutan mangrove mampu menyerap karbon dioksida untuk menekan laju perubahan iklim dan melindungi kawasan pesisir dari gelombang besar yang mengikuti badai tropis, seperti yang terjadi di Filipina dan memakan mengakibatkan 3.900 orang tewas. Bencana di Filipina ini, menjadi salah satu topik bahasan yang penting, seperti yang dilansir oleh harian Australia, Sidney Morning Herald.
"JIka kita melindungi hutan mangrove dari penebangan liar dan jika kita tidak menanami wilayah di sekitar pertambakan ikan dengan tanaman-tanaman hutan mangrove, maka badai tropis berkekuatan tinggi sudah menghancurkan semuanya," ungkap Leonardo Rosario, seorang konsultan pembangunan di proyek Samar bagian utara ini, seperti dilansir Sidney Morning Herald.
Kehancuran kota Tacloban yang mengalami penderitaan paling parah akibat badai tropis disebabkan karena wilayah ini sangat terbuka tanpa perlindungan hutan mangrove yang menjadi tameng alami.
"Badai tropis menghancurkan semuanya karena tidak ada hutan mangrove yang mampu memperlambat kecepatannya dan menekan kekuatannya," ungkapnya lebih lanjut.
"Saya berharap sekarang pemerintah menyadari pentingnya hutan mangrove untuk melindungi keberadaan manusia, dan kehidupan di wilayah pesisir."
Hutan mangrove di Filipina hilang sebanyak 1 persen setiap tahunnya, ungkap pakar kehutanan di CIFOR Bogor, Daniel Murdiyarso, kepada Sidney Morning Herald. Hutan mangrove di pesisir akan membantu kawasan pesisir untuk menghadapi kenaikan permukaan laut dengan meningkatkan sedimentasi. Pohon-pohon di hutan mangrove beradaptasi terhadap kenaikan permukaan air dengan tumbuhnya akar beberapa beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.
Sementara, belajar dari kasus tsunami yang terjadi di Aceh yang telah membunuh ratusan ribu orang yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, menunjukkan bahwa 30 pohon di pesisir setiap seratus meter persegi akan menekan gelombang tsunami sebanyak 90 persen, menurut sebuah laporan yang dirilis pada tahun 2005 di jurnal ilmiah Science.
Proyek di Aceh yang diinisiasi oleh lembaga Yagasu yang berbasis di Medan akan merestorasi lahan mangrove di pesisir utara Pulau Sumatera seluas 5.000 hektar. Program ini akan membantu mengembangkan metodologi untuk program bagi sejumlah perusahaan di Indonesia untuk membeli kredit karbon untuk program menekan emisi gas rumah kaca, ungkap Bambang Suprayogi, pendiri Yagasu dalam wawancara dengan harian Australia ini 18 November silam.
Delegasi Indonesia dan Filipina adalah dua diantara 200 negara yang menghadiri pertemuan COP di Warsawa, Polandia pekan ini. Indonesia, negara terbesar di Asia Tenggara tidak memiliki kewajiban apapun di bawah Protokol Kyoto tahun 1997 yang mengharuskan negara-negara berkembang menjadi tempat bagi proyek untuk mereduksi emisi gas rumah kaca dan memperolah insentif melalui kredit karbon yang dihasilkan oleh negara-negara maju.
Sementara, negara seperti Amerika Serikat tidak pernah menandatangani Protokol Kyoto, dan negara-negara seperti Jepang, Rusia, Kanada dan Selandia Baru sudah menyatakan tidak memperpanjang komitmen mereka melalui Protokol Kyoto. PBB sendiri belum menyatakan bagaimana kredit karbon dari proyek-proyek reforestasi atau penghutanan kembali ini akan dilakukan secara teknis.
Lembaga Yagasu melalui proyek mereka di pantai utara Sumatera ini berharap bisa menyelamatkan 9 juta ton karbon dalam proyek sepanjang 20 tahun ini. Kendati proyek ini sudah didaftarkan untuk validasi di PBB, lembaga ini berharap bahwa sebagian besar kredit karbon ini akan terjual melalui program penekanan emisi karbon secara sukarela untuk menghindari lamanya proses validasi di PBB dan ketidapastian proses persetujuan di lembaga antara-negara dunia tersebut.
Saat ini Indonesia memiliki 141 proyek yang telah disetujui untuk menekan emisi karbon sebanyak 249 juta ton, dan saat ini Indonesia tengah mendesain program dan metodologi mereka sendiri seperti diungkapkan oleh penasihat presiden bidang perubahan iklim, Agus Purnomo. Rencana nasional ini akan bergantung pada pembelian karbon offset secara sukarela oleh perusahaan-perusahaan yang ada di tanah air.
"Sebagian besar investor di Yagasu adalah pihak perusahaan dan akan menggunakan kredit karbon tersebut sebagai offset mereka dalam proyek perusahaan menekan emisi karbon," ungkap kepala Komunikasi eksternal Danone di Paris, Charlotte Pasternak.
Hal ini menjadi penting mengingat laju deforestasi di Indonesia justru meningkat berdasarkan analisis peta global terhadap perubahan tutupan hutan di Indonesia, yaitu sebanyak 20.000 kilometer persegi per tahun di tahun 2011 dan 2012.
Angka ini empat kali lebih besar daripada angka yang dirilis oleh pemerintah RI melalui Departemen Kehutanan RI yaitu sebanyak 450.000 hektar atau 4.500 kilometer persegi di periode yang sama.
Secara global, Indonesia meruapakan negara yang kehilangan luasan hutan terbesar, ungkap laporan tersebut. Total emisi karbon di Indonesia mencapai 2,9 juta ton karbon ekuivalen dengan proyeksi tahun 2020 di bawah skema business as usual, ungkap Agus Purnomo.
Sementara Kementrian Lingkungan Hidup RI memaparkan bahwa emisi karbon Indonesia adalah 1,79 juta ton di tahun 2005, dengan 63 persen emisi berasal dari alih fungsi lahan, sektor kehutanan dan kebakaran lahan gambut. Sementara Bank Dunia merilis angka 3 juta ton emisi karbon Indonesia, di tahun yang sama.
Sebagian besar kawasan mangrove Indonesia, kini sudah berubah menjadi tambak udang dan menjadi kawasan pertanian, namun dengan ditinggalkannya pertambakan udang di sejumlah tempat maka proses penanaman kembali kini bisa dilakukan.
Pantai utara Sumatera memiliki 200.000 hektar hutan mangrove di tahun 1987 dan kini tersisa 83.000 hektar, menurut data Livelihood, sebuah organisasi yang fokus pada ekosistem pedesaan yang berkelanjutan yang menjadi bagian dari proyek yang dilakukan oleh lembaga Yagasu. (*)
Sumber: Mongabay