Alasan sebagian warga lereng Merapi terutama warga Balerante tidak mau meninggalkan atau mengevakuasi dan malah tetap melakukan aktivitas seperti biasanya dikarenakan mereka meyakini bahwa akan ada kekuatan lain yang tak kalah besarnya dengan kekuatan Merapi yang dapat melindungi mereka.
Sebuah gumpalan awan panas yang datangpun, bila telah sampai ke dusun mereka, dalam waktu tertentu mereka akan mendengar bunyi letusan yang tak begitu keras, namun cukup terdengar oleh seluruh warga. Letusan itu hampir mirip dengan suara cemeti yang di lecutkan. Suara itu terdengar dari angkasa, dan sejenak kemudian gumpalan awan panas di angkasa itupun pecah, arah awan panas berbelok ke Kali Gendol, hingga tak sampai turun ke dusun mereka.
Desa Balerante memang tidak terkena muntahan lahar, paling parah hanya terkena hujan abu. Kawasan tersebut terlindungi oleh salah satu bukit yang di percaya masyarakat sebagai pengasuh Merapi, disebut pula oleh warga sekitar adalah Gunung Biyung Bibi. Bukit tersebut ibarat tameng dari bencana merapi bagi warga Balerante secara turun temurun.
Dan ada selorohan bahwa penunggu Gunung Merapi kalah awu, kalah tua ataupun masih kalah ilmu di banding dengan penunggu Gunung Bibi. Dan tak mungkin Merapi akan melukai pengasuhnya sendiri.
Gunung Bibi merupakan ibu ( pengasuh ) dari Gunung Merapi yang dinyatakan sebagai hutan larangan, hutan itu dipercaya masih menyimpan misteri yang amat gaib.
Berita angin dari warga dan para pendaki menyebutkan bahwa daerah itu merupakan pedesaan wong samar. Artinya, jika melewati wilayah itu harus sikap rendah hati dan bilang permisi. Bahkan, tidak sedikit pendaki Gunung Merapi yang melintas di hutan tersebut hilang dan tidak dapat ditemukan. Apalagi jika tidak menggelar ritual sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa Gunung Bibi sampai hari ini masih merupakan kawasan berbahaya karena masih dihuni hewan - hewan liar termasuk oleh ular - ular python raksasa. Tidak mengherankan jika penduduk sekitarnya selalu menahan KTP para pendaki yang hendak naik ke Gunung Bibi, alasannya agar bisa segera memberitahu keluarganya bila pendatang yang bersangkutan tidak kembali turun dari gunung.
Saking mistisnya dan gaib Gunung Bibi itu, maka masyarakat di dusun tersebut hingga kini tetap menggelar ritual rutin setiap hari pasaran Legi malam Pahing. Ritual dengan berbagai bentuk sesaji tersebut di gelar sebagai doa bersama untuk keselamatan masyarakat setempat dan sebagai doa bagi warga masyarakat di seputaran Merapi.
Mereka tetap menyajikan berbagai macam sesaji, baik saat diupacarakan bersama di Gunung Bibi ataupun di rumah masing - masing. Mereka hanya berpegang bahwa itu adalah adat dan budaya yang mesti dilestarikan, meskipun agama yang mereka anut tak mengajarkan demikian.