Gunung Talamau |
Alih fungsi lahan bukan lagi sekedar kabar burung. Kebutuhan hidup masyarakat yang terus mendesak, telah memaksa terjadinya pembukaan lahan secara serampangan. Hutan lindung dan pegunungan pun akhirnya dibabat, demi mendapatkan sepetak lahan pertanian. Di Sumatera Barat, kondisi demikian salah satunya terjadi di Gunung Talamau. Berikut catatan perjalanan anggota Mapala Unand, Yudhi Halim.
Gunung Talamau, barangkali banyak yang merasa asing dengan nama gunung tersebut. Gunung Talamau memang tidak sepopuler Gunung Marapi dan Gunung Singgalang yang telah dikenal luas di masyarakat, mulai dari masyarakat biasa hingga para penggiat alam bebas. Gunung Talamau terletak di Kabupaten Pasaman Barat Provinsi Sumatera Barat, sekitar 200 km dari kota Padang. Ketinggian gunung ini mencapai angka 2.910 mdpl, atau paling tinggi di Sumatera Barat.
Beberapa tahun lalu, orang mengenal Gunung Talamau sebagai gunung yang rupawan, cantik, indah, dan bersih. Gunung Talamau yang diselimuti oleh hutan hujan tropis yang lebat dan alami, digadang-gadang sebagai gunung terindah dengan 13 telaga diatasnya. Maka tak mengherankan, banyak orang yang langsung merasa jatuh hati padanya. Para pecinta alam pun tak akan sungkan untuk mengulang lagi pendakiannya dikemudian hari. Semacam ada kerinduan yang terpatri di hati mereka.
Tidak mengherankan juga jika rombongan petualang dari Multimedia University Malaysia, menggelar tiga kali perjalanan ke Gunung Talamau. Perjalanan penuh persahabatan itu didampingi oleh personel Mapala Unand pada tahun 2001, 2005, dan 2007. Tentu saja pendakian itu berulang karena daya tarik Gunung Talamau yang begitu mempesona.
Memang, segala pesona yang dimiliki Gunung Talamau bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Tapi melalui proses penjagaan rutin dan ketat. Misalnya, untuk memasuki kawasan pendakian, setiap pendaki harus diperiksa barang bawaannya. Pemeriksaan tidak hanya ketika akan naik, tetapi juga ketika turun dan akan meninggalkan area kawasan gunung tersebut. Semua barang bawaan diperiksa, terutama barang bawaan yang menjadi sampah. Semua sampah yang ia buat harus dibawa turun, misalnya kalau kita membawa 10 bungkus mie, maka turun kita juga harus membawa plastik pembungkus 10 mie tersebut. Kemudian, setiap pendaki juga harus membawa perlengkapan yang cukup, bahkan kalau ada pendaki wanita, harus ada tenda khusus untuk wanita tersebut dan minimal harus ada 2 pendaki wanita dalam setiap tim. Sebegitulah ketatnya aturan yang dijalankan untuk memastikan tidak ada barang bawaan dan sampah yang tercecer di gunung tersebut agar keindahan dan kebersihan gunung tetap terjaga, serta masih dihargainya etika pergaulan antara laki-laki dan wanita.
Tetapi, itu dulu. Sekali lagi itu dulu. Ketika masih ada seorang pecinta gunung yang menjaga dan merawat gunung tersebut tetap bersih agar setiap pendaki yang datang tetap terkesima, tetap bisa bisa menikmati keindahannya, dan menggantungkan asa kerinduan padanya. Pria itu yang biasa dikenal dengan “Daniel”, yang tinggal di pintu gunung tersebut, yang orang biasa mengenalnya penghuni camp “Harimau Campo”. Tetapi, sekali lagi itu dulu. Sekarang Talamau tidak seperti dulu lagi. Tidak ada lagi pria yang bernama Daniel tersebut. Tidak ada pemeriksaan ketat yang bertujuan menjaga keindahan dan keasrian gunung tersebut. Kita tidak akan menemui lagi permukaan gunung yang mulus dan diselimuti hutan hujan tropis yang lebat dari kaki hingga puncak. Bahkan, pada beberapa titik, hutan-hutan tersebut telah berubah menjadi ladang penduduk, ladang jagung dan kelapa sawit. Di sekitar camp Harimau Campo di ketinggian 670 mdpl telah habis dibabat dan berubah menjadi ladang penduduk. Mungkin, suatu saat camp Harimau Campo itu hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang akan diceritakan pada kerabat dan anak cucu kita nantinya. Pada ketinggian 900 – 925 mdpl juga terjadi pembabatan hutan baru, yang bahkan tidak lama lagi akan mencapai camp “Rindu Alam” yang berada pada ketinggian 1.170 mdpl. Bisa jadi, suatu saat lokasi “camp rindu alam” hanya tinggal rindunya saja. Sedangkan alamnya hilang entah kemana. Hutan hujan tropis tidak kan dijumpai lagi pada kawasan ini.
Banyak dampak yang mungkin bakal timbul. Selain terjadinya kerusakan dan gangguan ekosistem kawasan gunung, juga akan menyebabkan terganggunya aktivitas pendakian ke gunung tersebut. Banyaknya tanda-tanda jalur yang hilang akan menjadi persoalan serius yang bisa membahayakan keselamatan pendaki. Bahkan untuk sekadar jalan setapak saja yang biasa dilalui oleh para pendaki menuju puncak, tidak tampak lagi. Jangankan tanda jalur berupa penanda tali (stringline) dan bacokan kayu, bekas jalannya saja tidak tampak, tertutupi oleh pohon-pohon yang ditebang. Bagi pendaki berpengalaman yang telah terbiasa ke gunung mungkin tidak terlalu meresahkan. Namun bagi mereka yang pemula dan sekali-sekali ke gunung serta tanpa ilmu rimba gunung yang cukup itu akan menjadi sumber masalah yang luar biasa hebat. Bagaimana nantinya kalau mereka hilang jalur dan tersesat. Tentunya akan merugikan banyak pihak. Tidak hanya pendaki, tetapi juga masyarakat sekitar dan tim terkait.
Beberapa penduduk beralasan, pembukaan lahan di gunung tersebut untuk mata pencaharian mereka dan gunung tersebut merupakan hak ulayat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka kepada mereka. Jadi mereka berhak melakukan apa saja pada gunung tersebut, tidak peduli itu akan melanggar dan merugikan orang lain, terutama orang-orang yang tetap mencintai gunung tersebut dengan kesungguhan hati yang menginginkan gunung tersebut tetap asri, indah, alami, dan rupawan sebagaimana diciptakan Allah SWT.
Begitulan benar adanya kondisi yang terjadi pada gunung Talamau sekarang. Gunung Talamau yang tidak seindah dulu dan tidak seperti dulu lagi. Mudah-mudahan dan kita berharap tidak kan ada lagi talamau-talamau lain yang mengalami nasib se-tragis ini. Kita berharap dan hanya bisa berharap pemerintah cepat mengambil tindakan tegas dan mencegah terjadinya pembabatan hutan yang membabibuta di gunung tersebut, sehingga kita tetap bisa mengunjungi dan menikmati keindahan alam gunung Talamau yang rupawan dan anggun tersebut. Satu hal yang sangat mengkhawatirkan, sebuah gunung harus diubah demi memenuhi desakan perekonomian penduduk setempat. Yudhi Halim (MU 170 Wsl.)