Menuju Puncak Pangrango, Menggapai Lembah Mandalawangi |
Waktu masih menunjukkan pukul 2 dini hari saat rombongan kami tiba di pertigaan Cibodas setelah menempuh 1,5 jam perjalanan dari Terminal Leuwi Panjang, Bandung. Ada puluhan pendaki lain yang menghabiskan sisa malam berkumpul bersama kelompoknya sambil bersiap untuk pendakian keesokan harinya. Setelah melengkapi perbekalan logistik kami memutuskan beristirahat di Basecamp Cibodas. Saat akhir pekan, ada banyak angkot yang siap mengantar para pendaki menuju basecamp. Cukup mudah akses menuju Basecamp Cibodas, dari pertigaan Cibodas hanya membutuhkan waktu 30 menit menggunakan angkot. Basecamp Cibodas sendiri berada satu kawasan dengan Kebun Raya Cibodas, sehingga tersedia banyak warung makan yang biasa digunakan para pendaki untuk beristirahat.
Gunung Gede-Pangrango yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terletak di 3 kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di Propinsi Jawa Barat. Gunung Gede-Pangrango yang memiliki hutan tropis dengan keanekaragaman ekosistemnya sekaligus habitat dari berbagai jenis satwa yang dilindungi ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfir pada tahun 1977. Terdapat 3 jalur pendakian Gunung Gede Pangrango, yakni : Jalur Cibodas, Jalur Gunung Putri, dan Jalur Selabintana. Masing-masing jalur pendakian memiliki waktu tempuh dan tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Jalur Cibodas yang kami pilih karena jalur ini paling dekat untuk mencapai Gunung Pangrango, tujuan pendakian kami kali ini.
11888586_10203479286742060_3863696786337073748_oMatahari belum tinggi, aktifitas masyarakat di sekitar Basecamp Cibodas masih belum menampakkan geliatnya, tetapi puluhan para pendaki sudah sibuk melakukan persiapan pendakiannya. Kami pun ikut dalam keriuhan tersebut. Selesai melakukan check list ulang perlengkapan dan logistik kelompok maupun pribadi, kami segera mengambil SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) di Kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Karena Taman Nasional Gunung Gede Pangrango termasuk dalam kawasan pelestarian alam, sehingga setiap pendaki wajib memerlukan SIMAKSI untuk melakukan aktivitas tertentu di dalam kawasan konservasi. Fungsi dari SIMAKSI ini untuk menjaga agar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango tetap terjaga dan terlindungi kelestariannya dari berbagai macam gangguan terhadap ekosistem.
Menuju Puncak Pangrango, Menggapai Lembah Mandalawangi |
Setelah melakukan registrasi ulang di pos pendaftaran dan tak lupa berdoa untuk kelancaran dan keselamatan selama pendakian, kami bergegas memulai pendakian. Karena berada di dalam kawasan pelestarian alam, terdapat beberapa peraturan bagi pendaki selama melakukan pendakian. Larangan membawa binatang dan tumbuhan dari luar ke dalam kawasan; membuang sampah di dalam kawasan dan wajib membawa sampah ketika turun dari gunung; merusak dan mencoret-coret sarana dan prasarana yang ada; serta tidak diperbolehkan melalui jalur di luar jalur utama yang sudah ditentukan. Jalur pada awal pendakian berupa trek berbatu yang sudah tertata, tetapi tetap berkesan alami. Jalur ini juga merupakan jalur wisata menuju Curug Cibeureum.
Membutuhkan waktu 30 menit dari pos pendaftaran untuk sampai di Telaga Biru (1.575 mdpl). Air telaga yang kaya akan nutrisi dan mineral (eutrophic) dari proses dekomposisi bahan organis serta tanah dan batuan vulkanis yang terlarutkan ini berwarna kebiruan karena berasal dari pertumbuhan alga di telaga tersebut. Beranjak dari Telaga Biru kami sampai di Rawa Gayonggong, cekungan yang terbentuk dari kawah mati yang mengalami sedimentasi lumpur yang banyak ditumbuhi vegetasi rumput Gayonggong. Untuk melewati Rawa Gayonggong terdapat jembatan sepanjang ± 500 meter. Setelah melewati Rawa Gayonggong, kami sampai di Pos Panyangcangan. Disini terdapat percabangan menuju ke Gunung Gede Pangrango atau ke obyek wisata Curug Cibeureum. Sebenarnya dari sini pendakian Gunung Gede Pangrango dimulai!
Selepas beristirahat dan mengumpulkan kembali stamina, kami bersiap untuk tracking kembali. Jalur selanjutnya mulai menanjak dengan rute yang berlika-liku melewati jalan setapak berbatu. Mendung tebal yang menemani perjalanan kami memberi tanda bahwa kami harus bersiap untuk pendakian hujan. Tak lama berselang hujan deras pun menyertai pendakian kami. Dari Pos Panyangcangan ke pos selanjutnya sebenarnya terdapat beberapa shelter yang bisa digunakan untuk berteduh, tapi karena penuh dengan pendaki lain yang berteduh kami putuskan melanjutkan perjalanan. Sebelum sampai di Pos Air Panas (2.100 mdpl) kami harus melewati jalan yang sempit dan licin dengan aliran air panas yang suhunya mencapai 70°C. Kami harus berhati-hati melintasinya karena sisi luarnya terdapat jurang yang curam.
Karena curah hujan yang masih deras dan kondisi beberapa anggota tim yang tidak memungkinkan meneruskan perjalanan, sesampainya di Pos Air Panas kami membagi tugas. Ada anggota tim yang mengecek masih ada tempat untuk mendirikan tenda atau tidak di Pos Kadang Badak. Sedangkan sisanya beristirahat di sekitar shelter Pos Air Panas. Setibanya di Pos Kadang Badak, ground camp sudah penuh dengan puluhan tenda pendaki. Hal ini karena setelah izin pendakian ditutup selama 3 bulan, pendakian kami bertepatan dengan awal dibukanya pendakian Gunung Gede Pangrango, sehingga tumpah ruah pendaki yang melakukan pendakian. Oleh karena itu, kami memutuskan kembali turun dan mendirikan tenda di Pos Air Panas.
11951562_10203479287502079_2565610226234659384_oSelepas sholat Subuh, dari Pos Air Panas kami bersiap menuju puncak Pangrango dan Lembah Mandalawangi pagi itu. Demi keselamatan kami putuskan tidak mengejar sunrise di puncak karena jalur menuju puncak Pangrango yang banyak percabangan dan hujan deras yang turun semalaman membuat kondisi medan menjadi licin. Tidak butuh waktu lama untuk sampai Pos Kandang Batu. Tidak jauh dari Pos Kandang Batu terdengar suara air, itu berarti kami tiba di Curug Panca Weuleuh. Matahari pagi yang mulai menyingsing memudahkan perjalanan kami untuk sampai di Pos Kadang Badak (2.400 mdpl). Pagi itu Pos Kadang Badak sudah ramai dengan kesibukan para pendaki yang memasak sarapan pagi, mengeringkan pakaian mereka yang basah, atau sekedar bersenda gurau.
Dari Pos Kandang Badak terdapat percabangan menuju Gunung Gede dan jalur menuju Gunung Pangrango. Jalur yang sempit dan licin karena hujan membuat kami harus ekstra hati-hati. Terdapat beberapa batang pohon yang roboh dan melintang di jalur mengharuskan kami untuk melompati atau berjalan merangkak dibawahnya. Selain itu jalur yang memiliki banyak percabangan membuat kami harus mencari jejak atau tanda yang ditinggalkan pendaki sebelumnya. Trek yang menanjak dan terus menanjak cukup menguras stamina. Istirahat sejenak menjadi lebih menyenangkan sambil menikmati eksotisme hutan tropis Gunung Pangrango. Pohonnya yang tinggi besar menandakan usianya yang sudah ratusan tahun. Bahkan menjelang puncak kami menemukan banyak pohon-pohon tertutup penuh lumut, hutan lumut Pangrango.
Puncak Pangrango berada di ketinggian 3.019 mdpl. Pada puncaknya terdapat tugu triangulasi yang menandakan kami sudah mencapai puncak tertinggi kedua di Jawa Barat. Kami tidak berlama-lama di puncak Pangrango, Lembah Mandalawangi adalah tempat yang ingin kami kunjungi. Tidak jauh untuk sampai ke Lembah Mandalawangi. Sepanjang jalur banyak terdapat pohon Cantigi (Vaccinium varingiaufolium) dan pada akhirnya kami sampai di padang yang membentang luas, Lembah Mandalawangi. Pohon Edelweiss (Anaphalis Javanica) dengan sungainya yang mengalir jernih ditengah padang seluas sekitar 10 hektar. Menikmati santap makan bersama sembari menyeduh minuman hangat di tengah hamparan padang Edelweiss, jauh dari hiruk pikuk dan keruwetan perkotaan, tetapi tetap penuh dengan kemewahan alami.
Aktivis mahasiswa tahun 1960-an, Soe Hok Gie menjadikan kesunyian Lembah Mandalawangi sebagai inspirasi salah satu puisinya : ”Mandalawangi-Pangrango”
senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang-jurangmu
aku datang kembali kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
kau datang kembali
dan bicara padaku tentang kehampaan semua
hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah
dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas-batas hutanmu, melampaui batas-batas jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-07-1966
Mandalawangi memang menyimpan kesannya masing-masing bagi setiap orang yang mengunjunginya. Jagalah kelestariannya hingga generasi mendatang masih bisa mengagumi keindahannya. Salam lestari.
Travel Budget :
– Pengurusan dan Pendaftaran Simaksi Rp 32.000,-
-Transportasi Bus Leuwipanjang – Posko Cibodas Rp 36.500,-
– Angkot Posko Cibodas – Terminal Rawabango, Cianjur Rp 15.000,-
-Terminal Rawabango – Terminal Leuwipanjang Rp 20.000,-
Abul A’lamaudin
abul.alamaudin@gmail.com
smbr info : http://pendakigunung.org/