Mari Hijaukan Wilayah Pesisir Indonesia |
Menghijaukan pesisir pantai Indonesia tidak hanya bermanfaat bagi ekonomi namun juga bagi iklim global.
Lupakan pantai yang panas dan gersang. Jika seluruh wilayah pesisir di Indonesia menghijau, melalui penanaman kembali hutan mangrove, Indonesia berpotensi mengurangi emisi sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pantai dengan hutan mangrove yang hijau dan lebat tidak hanya menjadi tempat perkembangbiakan biota laut (ikan, kerang, rumput laut dsb) namun juga bermanfaat sebagai alat penyimpan dan penyerap emisi karbon.
Dengan hutan mangrove yang hijau dan terjaga, masyarakat juga bisa terlindungi dari risiko gelombang laut dan abrasi pantai. Pantai yang lebih indah bisa menjadi lokasi ideal untuk wisata alam yang lestari.
Hal tersebut didukung oleh kondisi Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia (Antara, 27 Maret 2015). Garis pantai Indonesia membentang sepanjang 91.000 km dari Sabang sampai Meuroke, hanya berbeda sekitar 8.000 kilometer dari garis pantai Kanada yang menempati urutan pertama dengan panjang 99.093 km.
Potensi ini hendaknya dimaksimalkan untuk menciptakan lingkungan pesisir yang segar, sehat dan lestari. Wilayah pesisir tidak seharusnya menjadi wilayah kumuh dimana jutaan nelayan miskin menggantungkan hidup mereka dengan pendapatan yang tidak memadai.
Mangrove at Pulau Dua Natural Reserve - Aulia Erlangga - CIFORWilayah pesisir yang hijau bisa menjadi sumber kesejahteraan nelayan, layaknya hutan, sawah dan perkebunan yang hijau dan lestari. Potensi ini didukung oleh berbagai hasil penelitian ilmiah yang telah membuktikan manfaat wilayah pesisir dan hutan mangrove bagi perekonomian dan iklim.
Hasil penelitian Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), mengungkapkan, jika lestari, potensi hutan mangrove secara ekonomi, ekologis dan sebagai tempat penyimpanan karbon sangat besar.
Walau luas hutan mangrove hanya 0.7% (sekitar 140.000 km2) dari luas hutan tropis dunia, hutan mangrove mampu menyimpan emisi karbon dioksida hingga 20 miliar ton (20 Pg C) atau 2,5 kali lipat lebih banyak dari emisi CO2 yang dihasilkan dunia setiap tahun.
Dan upaya menghindari emisi CO2 dengan menjaga kelestarian hutan mangrove bisa dilakukan dengan biaya antara US$4-10 per ton CO2 – relatif lebih murah jika dibandingkan upaya yang sama pada hutan tropis lain yang mencapai US$10-20 per ton CO2.
Sebaliknya jika hutan mangrove tidak dijaga, UNEP memerkirakan, kerugian ekonomi akibat kerusakan hutan mangrove – yang kaya simpanan karbon – mencapai $42 miliar per tahun. Tingkat kerusakan hutan mangrove ini 3–5 kali lipat lebih cepat dibanding jenis hutan lain di darat.
Sejak 1980, dunia telah kehilangan sekitar seperlima hutan mangrove, sementara wilayah hutan mangrove yang tersisa banyak yang sudah mengalami kerusakan. Konversi hutan mangrove menjadi wilayah pembudidayaan ikan menjadi penyebabnya.
Sekitar 38% kerusakan disebabkan oleh alih guna hutan mangrove menjadi tambak udang, sementara 14% bersumber dari praktik budi daya ikan yang lain. Buruknya perencanaan pembangunan juga menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove. Polusi industri mencemari pantai, merusak hutan mangrove dan mengurangi jumlah ikan wilayah pesisir.
Sebanyak 90% hutan mangrove dunia terletak di negara-negara berkembang dan sebagian besar dari hutan mangrove itu kini terancam kelestariannya. Padahal, hutan mangrove bisa menjadi aset bagi negara berkembang untuk membantu target pengurangan emisi dunia dan mencegah kenaikan suhu bumi di atas 2°C.
Data dari CIFOR menyebutkan, dalam tiga dekade terakhir, Indonesia kehilangan 40% mangrove (FAO, 2007). Artinya, Indonesia memiliki kecepatan kerusakan mangrove terbesar di dunia. Deforestasi mangrove di Indonesia mengakibatkan hilangnya 190 juta metrik ton CO2 setara tiap tahun. Angka ini menyumbang 20% emisi penggunaan lahan di Indonesia dengan estimasi emisi sebesar 700 juta metrik ton CO2.
Dengan mencegah deforestasi mangrove, menurut tim peneliti CIFOR Indonesia dapat memenuhi seperempat dari 26% target reduksi emisi pada 2020. Hilangnya hutan mangrove di Indonesia menyumbang 42% emisi gas rumah kaca akibat rusaknya ekosistem pesisir, termasuk rawa, mangrove dan rumput laut.
“Kami berharap angka ini membantu pengambil keputusan Indonesia memandang perlindungan dan tata kelola berkelanjutan sebagai solusi potensial mitigasi perubahan iklim,” kata Daniel Murdiyarso, Peneliti Utama CIFOR dan ketua penulis riset.
Redaksi Hijauku.com