Burung-burung di Muara Angke saat musim panas |
Muara Angke, terutama di sekitar Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) merupakan hutan tersisa di Jakarta yang merupakan habitatnya berbagai jenis burung liar, baik penetap maupun pengembara.
Tercatat, sekitar 105 jenis burung dapat dijumpai di kawasan ini. Sebut saja pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster), punai gading (Treron vernans), belibis kembang (Dendrocygna arcuata), hingga burung-sepatu teratai (Hydrophasianus chirurgus).
Burung-sepatu teratai merupakan burung berukuran 33 cm, berwarna hitam dan putih, dengan ekor panjang. Bila terbang, sayapnya putih mencolok. Burung ini memiliki kebiasaan berjalan di atas tumbuhan air terapung seperti daun padma dan teratai, baik di kolam maupun danau. Biasanya, ia mematuk mencari ikan lalu terbang dalam jarak dekat, mencari makan di tempat yang baru.
SMMA berhasil bertahan dari gencarnya pembangunan betonisasi lantaran telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak zaman kolonial. Habitat lahan basah ini, semula didominasi tumbuhan bakau dan ditetapkan sebagai cagar alam oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Juni 1939 seluas 15,04 hektar.
Selanjutnya, wilayah ini diperluas. Namun, karena kerusakan lingkungan yang terjadi baik di sekitar maupun dalam kawasan, maka pada 1998, pemerintah merubah statusnya menjadi suaka margasatwa yang kondisinya saat ini, lebih dari separuhnya telah berubah menjadi rawa terbuka yang ditumbuhi eceng gondok.
Pada musim kering, air di rawa-rawa ini akan surut dan eceng gondok pun mengering sehingga memudahkan burung berburu invertebrata kecil di lumpur yang terbentang. SMMA pun akan dipenuhi aneka jenis burung yang mencari makanan. “Burung air pemakan cacing dan siput seperti mandar besar (Porphyrio porphyrio) serta tikusan merah (Porzana fusca) lebih mudah terlihat di musim tersebut, berbaur dengan burung-burung air lain seperti blekok sawah dan kuntul,” tutur Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia.
Selain burung air, SMMA juga menjadi habitat bagi beberapa jenis burung lain seperti bangau bluwok (Mycteria cinerea) yang terancam punah dengan status Genting, elang bondol (Haliastur indus) yang menjadi maskot Kota Jakarta, serta elang-laut perut putih (Haliaetus leucogaster). Elang bondol sebagai maskot Jakarta ditetapkan melalui Keputusan Gubernur No.176 Tahun 1989. Burung gagah yang mewakili karakter masyarakat Jakarta yang dinamis ini merupakan satwa dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Ada juga jenis endemis Jawa yang terancam punah dengan status Rentan yaitu bubut jawa (Centropus nigrorufus), serta endemis Jawa-Bali yang Kritis, jalak putih (Sturnus melanopterus). Bubut jawa merupakan burung yang menyenangi ekosistem bakau. Jumlahnya saat ini secara keseluruhan diperkirakan antara 2.500 sampai 10.000 individu dewasa.
Sementara jalak putih, merupakan burung berukuran 23 cm, berwarna hitam dan putih. Biasanya mencari makan di daerah terbuka dan hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil. Saat ini, keberadaannya mulai sulit dilihat. “Rentang populasinya diperkirakan antara 600 hingga 1.700 individu dewasa saja,” tutur Jihad.
Kondisi SMMA yang mulai memprihatinkan, selain masalah eceng gondok yang sulit dibasmi, sampah yang hanyut di Kali Angke maupun yang dibawa pengunjung, serta tingginya laju pembangunan di kawasan sekitar, sangat berdampak kurang baik terhadap kehidupan burung yang berada di wilayah ini.
Sejatinya, BirdLife International telah memasukkan suaka margasatwa yang ditunjuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor: 097/Kpts-II/1988, seluas 25,02 hektar pada 29 Februari 1988 ini, sebagai salah satu Daerah Penting bagi Burung (DPB) di Pulau Jawa.
*Tri Susanti, Communication and Publication Burung Indonesia. E-mai: t.susanti@burung.org