Monday, March 25, 2013

Menepis Image Buruk Mapala


Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) sebagian besar merupakan kegiatan yang memacu adrenalin. Menantang dan menaklukkan alam seperti yang dilakukan dalam kegiatan pendakian, susur gua, panjat tebing, dan rafting merupakan hal yang kerap kali dilakukan oleh Mapala. Di balik serunya aktifitas Mapala tersebut, ternyata banyak muncul ketidaksetujuan, terutama dari orang tua mahasiswa sehingga banyak mahasiswa-mahasiswi yang secara diam –diam mengikuti mapala.
Para orang tua bukan tanpa alasan melarang anaknya mengikuti kegiatan mahasiswa pecinta alam. Alasan umumnya tidak jauh – jauh dari yang namanya perkuliahan . Keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan Mapala sering dituding sebagai penghambat kegiatan akademik mahasiswa tersebut. Mapala masih identik dengan masa study yang lama, perilaku urakan, dan kebiasaan meminum minuman keras. Belum lagi resiko yang memang sudah akrab dihadapi oleh anggota Mapala seperti tersesat, cedera, atau bahkan meninggal dunia karena kecelakaan saat pendakian.
Dewi, lulusan Universitas Sanata Dharma, melarang adiknya yang kuliah di kampus yang sama dengannya untuk mengikuti kegiatan Mapala. “Alasannya sih simpel aja.  Kebanyakan yang ikut mapala itu lama lulusnya. Lagian dalam mapala tidak ada orang yang khusus disediakan untuk menemani dan mengawasi saat pendakian,” ujarnya. Alasan yang hampir serupa juga diungkapkan oleh Ibu Yani, orangtua seorang mahasiswa yang berkuliah di Surabaya. Ibu Yani melarang puteranya mengikuti kegiatan Mapala karena menganggap kegiatan Mapala tersebut resiko kecelakaannya tinggi. Belum lagi soal image Mapala yang lama lulus dan urakan. “Saya tidak ingin anak saya terpengaruh hal-hal negatif seperti itu. Apalagi dia jauh dari pengawasan orang tuanya,” terang beliau.
Namun apakah benar bahwa kegiatan Mapala lebih banyak mengandung hal-hal negatif seperti yang dipikirkan oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan keberadaannya?  Andhika Arief, ketua Kapalasastra, sebutan bagi kelompok mahasiswa pecinta alam Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menepis kekuatiran tersebut. Menurut mahasiswa angkatan 2007 ini,  Mapala sendiri telah mengalami pergeseran sejak tahun 2000-an. Anggota Mapala merasa bosan dengan kegiatan yang sekedar bersifat main-main. Anggota Mapala sudah menyadari image yang terlanjur melekat pada komunitasnya ini sehingga mereka pun ingin menghilangkan image buruk yang selama ini melekat. Mengikuti kegiatan Mapala sendiri merupakan wujud nyata dari usaha menjalankan Tridarma Perguruan Tinggi, khususnya dalam hal penelitian dan pengabdian pada masyarakat. “Yang terpenting, melalui kegiatan Mapala, anggota Mapala dapat memberikan kontribusi terhadap jurusan yang diambil”, terang pria yang akrab disapa Dhika ini. Di sisi lain, keinginan dari pihak kampus agar kegiatan Mapala lebih positif dan bermanfaat ikut mendorong pergeseran pandangan terhadap kegiatan Mapala.
Mengenai orang tua yang tidak setuju jika anaknya mengikuti kegiatan Mapala, Dhika memberikan komentarnya,”Orang tua yang tidak mengizinkan anaknya ikut mapala adalah hal yang wajar”. Namun menurut Dhika, alasan untuk melarang seorang mahasiswa mengikuti kegiatan Mapala menjadi tidak wajar ketika dikaitkan dengan kelulusan yang lama dan menghabiskan uang banyak. “Mahasiswa yang ikut mapala lulus lama bukan karena malas untuk mengikuti perkuliahan tapi menerapkan kegiatan yang ada di mapala seperti penelitian dan mendapat link di beberapa LSM, seperti Hijau, Pelangi, dan sebagainya,” terang Dhika. Kegiatan Mapala Kapalasastra Fakultas Ilmu Budaya UGM sendiri diadakan seminggu sekali di akhir pekan, libur semester, atau minggu tenang sehingga tidak mengganggu perkuliahan. Dhika juga menyanggah bila dikatakan kegiatan Mapala menghabiskan banyak biaya. Menurutnya selama ini kegiatan mapala mendapatkan subsidi dari kampus.  Selain dana dari kampus, Mapala biasanya juga mencari sponsor dan mengadakan kegiatan usaha dana, sehingga penyelenggaraan kegiatan Mapala tidak terlalu membebani keuangan anggota.
Ditemui ditempat berbeda, humas palawa atma jaya yogyakarta, Ignatius Hendrik dan Sekertaris, Catur Irawan mengatakan mapala itu tidak diwajibkan, tergantung dari masing – masing individunya. Senada dengan Dhika, Ignatius Hendrik dan Catur Irawan dari Mahasiswa Pecinta Alam Palawa Universitas Atma Jaya Yogyakarta menganggap wajar jika ada orang tua yang tidak setuju puteranya mengikuti kegiatan MapalaMenurut mereka, persetujuan orang tua bukanlah halangan bagi seorang mahasiswa untuk mengikuti kegiatan Mapala. . Menurut Humas dan Sekertaris Palawa ini, keikutsertaan dalam kegiatan Mapala merupakan pilihan tiap individu. Faktor keamanan juga tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang seseorang mengikuti kegiatan Mapala. “Saat bepergian seperti mendaki gunung atau menyusuri gua, kami selalu dibantu oleh orang yang dianggap ahli,” terang Hendrik. Setiap tahunnya, Palawa mengirimkan delegasinya untuk mengikuti pelatihan agar mendapatkan sertifikat nasional. Selain itu, Palawa juga memiliki modul standar internasional untuk kegiatan pendakian dan kegiatan Mapala lainnya sebagai panduan.
Tidak adanya restu dari orang tua untuk mengikuti kegiatan Mapala juga pernah dialami oleh Kiki. Meskipun tidak mendapat izin dari orang tuanya, mahasiswi Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada ini memantapkan langkahnya untuk mengikuti kegiatan Mapala. Kiki ingin menunjukkan pada semua orang,  khususnya orangtuanya bahwa mapala itu tidak seburuk yang dibayangkan. Alhasil, gadis berjilbab kelahiran Muntilan ini mampu meyakinkan orangtuanya. Justru berkat keikutsertaannya di dalam kegiatan Mapala ini dia memperoleh banyak proyek, seperti penghijauan, guide pariwisata, dan sebagainya.
Sangat tidak adil jika kita menempelkan stigma negatif terhadap kegiatan Mapala. Banyak sisi positif yang bisa diambil dari kegiatan ini, seperti rasa setia kawan, melatih fisik dan mental, serta kemampuan untuk mengukur kekuatan diri sendiri. Memang, kegiatan yang dilakukan oleh Mapala merupakan kegiatan yang memacu adrenalin alias kegiatan yang berbahaya. Namun toh selama prosedur yang ada diikuti dengan benar disertai dengan persiapan yang cukup resiko yang ada dapat ditekan seminimal mungkin. Resiko untuk cedera juga bisa terjadi di UKM-UKM lain selain Mapala, sehingga faktor keamanan di dalam kegiatan Mapala tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang seseorang mengikuti kegiatan Mapala.
Pada akhirnya keputusan untuk mengikuti Mapala merupakan keputusan tiap individu. Setiap orang tua memang ingin yang terbaik untuk anaknya. Orang tua manapun tidak akan rela jika anaknya menghadapi bahaya. Namun memang sebaiknya semua kekuatiran tersebut tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi sampai melarang puteranya untuk mengikuti kegiatan Mapala, seperti yang ditegaskan oleh Hendrik, “Ketika masuk kuliah, berarti beranjak dewasa dan biarkan anaknya memutuskan sendiri”.

trim's plh indonesia 
kunjungi kami sobat di http://maperpa2000.blogspot.com

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Menepis Image Buruk Mapala Rating: 5 Reviewed By: Awaluddin Ahmad