Wednesday, March 27, 2013

Menjaga Air, Sumber Kehidupan bekal Anak Cucu


Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, awal tahun 2013 musibah banjir kembali melanda kota Jakarta. Banjir tahun ini sedikit berbeda karena lebih besar dibanding banjir tahun-tahun sebelumnya. Konon merupakan siklus banjir besar lima tahunan. Yang bikin sedih, bajir tahun ini menelan puluhan korban jiwa.
Maka sejak pertengahan Januari kemarin media massa kita pun disesaki oleh pemberitaan banjir Jakarta. Media berlomba menjadi yang terdepan dalam memberitakan banjir. Segala hal terkait banjir Jakarta diliput, mendetail, dari berbagai sudut pandang, dari beragam angle – memenuhi media massa, hingga seolah tak ada tempat lagi untuk berita lain.
Padahal sebenarnya bukan cuma Jakarta yang banjir, masih ada Semarang, Jambi, Lampung dan daerah-daerah lain. Tapi karena merupakan ibu kota negara, pusat perekonomian, dan pusat segala-galanya negara indonesia, maka Jakartalah yang paling disorot.
Dan dari berita yang saya baca dan tonton, penyebab banjir Jakarta dan juga daerah lain tetaplah sama. Sama dengan yang dijelaskan oleh guru SD saya dulu. Sama dengan yang tertera di buku-buku pelajaran anak SD hingga detik ini. Tiga penyebab utamanya tak lain:
1.      Sampah
2.      Hilangnya daerah resapan air
3.      Penggundulan hutan
Kenapa? Tak asing dengan tiga poin di atas? Memang.
Jangan sekali-kali kita menyalahkan air sebagai penyebab banjir, lantaran sejak zaman bahuela jumlah air tetap sama; 97 persen di laut, 3 persen di darat. Dari 3 persen itu, dua per tiga nya menjadi es di pegunungan dan kutub. Hanya satu per tiga nya saja yang menjadi pemenuh kebutuhan kita sehari-hari untuk minum, mandi, mencuci dan lain-lain. Hanya sepertiga dari tiga persen air bumi yang menjadi pemenuh hajat hidup tujuh milyar lebih penduduk bumi! Sekali lagi, jumlah air tetap sama, perilaku kita terhadap air (baik secara langsung maupun tidak) yang berubah, sehingga merubah perilaku air terhadap kita.
Ngomong-ngomong tentang kebutuhan air, saya jadi sangaaat bersyukur tinggal di Batam, provinsi Kepulauan Riau. Kota pulau ini nyaris tak pernah bermasalah dengan air; tak pernah banjir seperti Jakarta, pun tak pernah kekeringan seperti kawasan Indonesia bagian selatan. Di Batam hujan turun sepanjang tahun tanpa mengenal musim hujan atau musim kemarau. Sungguh sebuah anugerah indah dari Tuhan yang maha pemurah. Dan sungguh paragraf ini tiada bermaksud mengecilkan hati siapa pun yang tak tinggal di Batam.
Batam yang semakin hari penduduknya semakin bertambah,(baca kegalauan walikota batam di sini) memiliki lima buah waduk (atau dalam istilah lokal disebut dam). Dam-dam tersebut dikelola oleh perusahaan air bersih PT. Adhya Tirta Batam untuk kemudian disalurkan airnya ke rumah-rumah warga. Lima dam tersebut belum angka final, karena masih akan bertambah seiring sedang dibangunnya dam tembesi dengan kapasitas produksinya nanti diproyeksikan 600 liter/detik. Padahal lima waduk yang ada saat ini total produksinya sudah mencapai 3535 liter/detik. Lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga batam.
Sementara itu hanya ‘selangkah’ dari Batam ada Kota Tanjung Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau yang punya problematika serius dengan air bersih. Meski jumlah penduduknya hanya seperlima dari penduduk batam, pemkot Tanjung Pinang kelimpungan memenuhi kebutuhan air bersih warga dikarenakan terbatasnya jumlah dam di kota itu.
Kondisi saat ini; satu kota Tanjung Pinang hanya dihandle oleh satu dam bernama Dam Sei Pulai, berukuran 45 hektar, bervolume air 5.400.000 m3. Bandingkan dengan Batam yang salah satu damnya saja (dam duriangkang) memiliki volume tampungan air 62.000.000 m3.  Alhasil kesulitan air bersih di kota tanjung pinang adalah sebuah keniscayaan.
Lima dam di kota Batam semuanya dikelilingi oleh hutan lindung. Hutan lindung tersebut tentu amat besar perannya sebagai daerah resapan air. Sayang, banyak ancaman mengintai hutan-hutan lindung tersebut seperti perusakan hutan dan pembukaan lahan hutan untuk ladang dan perkampungan.
Contohnya waktu saya ke jalan-jalan ke air pancur di tengah hutan lindung dam muka kuning tiga tahun lalu, saya menjadi saksi bagaimana hutan di pinggiran dam tersebut dirusak. Sepanjang perjalanan melintasi hutan kami bertemu orang-orang yang sedang menebang pohon, dan menemukan lahan-lahan terbuka bekas kebun yang sudah ditinggal pengolahnya. Itu tiga tahun lalu. Keadaannya sekarang tentu lebih buruk lagi.
Mungkin orang-orang jahil itu berpikir ‘ah saya cuma ambil tiga batang kayu kok’ atau ‘ah saya cuma mbabat lahan sedikit saja kok’. Tapi bagaimana jika ada 100 bahkan 1000 orang berpikiran yang sama? Dampak yang semula dikira kecil tentu tak lagi kecil. Keserakahan segelintir orang berdampak buruk pada semua orang.
“Bumi mampu memenuhi kebutuhan semua manusia. Namun tidak cukup untuk melayani segelintir manusia yang serakah.” ~ Mahatma Gandhi**
Dam Muka Kuning

Menjaga kelestarian sumber air sungguh sebuah pekerjaan berat buat sebagian orang indonesia. Sama beratnya dengan mematuhi larangan membuang sampah di sungai. Jangankan sungai, di tempat wisata saja orang indonesia bisa lho buang sampah sembarangan. Tega gitu mengotori tempat mereka mencari ketenangan. Tentang ini pernah saya bahas panjang lebar di sini.
Kebutuhan akan air terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, sementara itu kualitas dan kuantitas air terus menurun. Maka dibutuhkan komitmen kita semua untuk memelihara kelestarian sumber daya air. Memelihara kelestarian sumber daya air, berarti memelihara kelestarian lingkungan hidup, berarti memelihara kelangsungan hidup umat manusia. Jangan tunggu kesulitan dan musibah datang melanda baru kita sibuk mau memulai. Think big, act small.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
(Q.S Ar-Rum: 41)***
Dam Duriangkang

Air adalah sumber kehidupan. 70% permukaan bumi kita adalah air. 70% tubuh kita terdiri dari air. Air memang sumber daya alam yang dapat diperbaharui, namun kualitas dan kuantitasnya sangat bergantung pada cara kita mengelolanya.
Mari jaga keseimbangan ekologi air demi kelangsungan hidup kita. Caranya bisa dimulai dari hal yang sederhana; tidak membuang sampah sembarangan, dan tidak menganggu serta merusak sumber air dan kawasan di sekitarnya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Menjaga Air, Sumber Kehidupan bekal Anak Cucu Rating: 5 Reviewed By: Awaluddin Ahmad