Selama ini erupsi Gunung Krakatau pada tahun 1883 dianggap sebagai salah satu yang terdahsyat di Indonesia. Demikian juga dengan letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 yang masuk dalam kategori Ledakan Termega. Benarkah demikian? Ternyata tidak. Dan inilah Gunung Samalas, yang Lebih Dahsyat dari Krakatau dan juga Tambora.
Gunung api Samalas di Lombok hasilkan erupsi delapan kali lebih dahsyat dari Krakatau dan dua kali lebih besar dari Tambora. Samalas meletus antara bulan Mei hingga Oktober 1257 dan menyebabkan abu tersebar hingga ke dua kutub Bumi.Berkat erupsinya pula terjadi perubahan iklim yang signifikan. Disebutkan dalam beberapa teks Zaman Pertengahan, pada musim panas 1258, cuaca malah dingin dan hujan tidak berhenti hingga menyebabkan banjir. Arkeolog juga menentukan tahun kematian tepat pada 1258 bagi ribuan tulang - belulang yang ditemukan padamakam massal di London.
Ledakan ini sempat terekam sejarah sekitar 800 tahun lalu, namun entah karena apa, catatan itu terlupakan. Demikian hasil penelitian yang tertuang di Proceedings of the National Academy of Sciences.
Jejak peninggalan Samalas "diburu" oleh para peneliti dan mengira "pelaku" letusan besar pada tahun 1257 adalah gunung api Okataina di Selandia Baru dan El Chichóndi Meksiko. Namun, kedua kandidat ini gagal dalam penanggalan atau jejakgeokimia.
Para pakar kemudian berhasil mengaitkan jejak sulfur dan debu dari kutub ke data yang didapat dari Lombok. Termasuk penanggalan radiokarbon hingga tipe batu dan abu yang terlontar. Menurut mereka, hanya Samalas "yang memenuhi semua tanda centang di kotak".
"Buktinya sangat kuat dan menarik," kata Clive Oppenheimer dari Cambridge University, UK, seperti dikutip BBC. Ditambahkan Franck Lavigne, dari Pantheon - Sorbonne University, Prancis, awalnya mereka bingung mencari "pelaku" yang bertanggung jawab atas perubahan iklim itu.
Tapi berkat "sidik jari" dalam wujud geokimia di inti es, akhirnya membuat para peneliti berhasil menemukan gunung api tersebut. Selepas erupsi, terbentuklahkaldera Segara Anak. Gunung itu sendiri sudah runtuh.
BABAD LOMBOK
Gunung Rinjani Longsor, dan Gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan, rumah2 rubuh dan hanyut terbawa lumpur, terapung - apung di lautan, penduduknya banyak yang mati.
Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi, terdampar di Leneng ( lenek ), diseret oleh batu gunung yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik ke bukit.
Bersembunyi di Jeringo, semua mengungsi sisa kerabat raja, berkumpul mereka di situ, ada yang mengungsi ke Samulia, Borok, Bandar, Pepumba, dan Pasalun, Serowok, Piling, dan Ranggi, Sembalun, Pajang, dan Sapit.
Di Nangan dan Palemoran, batu besar dan gelundungan tanah, duri, dan batu menyan, batu apung dan pasir, batu sedimen granit, dan batu cangku, jatuh di tengah daratan, mereka mengungsi ke Brang batun.
Ada ke Pundung, Buak, Bakang, Tana’ Bea, Lembuak, Bebidas, sebagian ada mengungsi, ke bumi Kembang, Kekrang, Pengadangan dan Puka hate - hate lungguh, sebagian ada yang sampai, datang ke Langko, Pejanggik.
Semua mengungsi dengan ratunya, berlindung mereka di situ, di Lombok tempatnya diam, genap tujuh hari gempa itu, lalu membangun desa, di tempatnya masing - masing. ( Babad Lombok )
Demikian beberapa bait Babad Lombok yang mengisahkan kengerian letusanGunung Samalas di kompleks Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Selama bertahun - tahun, babad ini nyaris dilupakan dan mungkin dianggap sebagai dongeng belaka. Namun, penelitian sejumlah ahli gunung api baru - baru ini memastikan bahwa letusan Gunung Samalas sebagaimana digambarkan dalam babad itu ternyata fakta.
Bahkan, dampak dari letusan Gunung Samalas yang terjadi pada tahun 1257 itu melampui imajinasi penulis babad yang ditulis dalam daun lontar ini. Letusan Samalas berdampak global dan diduga memicu kelaparan dan kematian massal di Eropa setahun setelah letusan.
“Ditemukannya ribuan kerangka manusia di London yang dipastikan berasal dari tahun 1258 kemungkinan berkaitan erat dengan dampak global dari letusan Gunung Samalas pada tahun 1257,” seperti ditulis dalam jurnal PNAS edisi akhir September 2013.
Tulisan di jurnal ini merupakan hasil penelitian 15 ahli gunung api dunia. Dari Indonesia yang terlibat adalah Indyo Pratomo, geolog dari Badan Geologi Bandung, Danang Sri Hadmoko dari Geografi Universitas Gadjah Mada dan Surono, mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG ).
Sedangkan dari luar negeri yang terlibat meliputi 12 ahli dari berbagai kampus ternama di Eropa, di antaranya Frank Lavigne dari Université Panthéon-Sorbonne, Jean-Philippe Degeai dari Université Montpellier, Clive Oppenheimer dari University of Cambridge, Inggris, dan sejumlah ahli lainnya.
Mereka awalnya melacak letusan Samalas ini dari jejak rempah vulkanik yang terdapat di lapisan es kutub utara. Sebagaimana letusan Tambora yang menciptakan tahun tanpa musim panas di Eropa sehingga menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan pada tahun 1816 atau setahun setelah letusan, letusan Samalas diduga juga memicu permasalahan serupa, bahkan mungkin lebih dahsyat.
Catatan mengenai letusan ini di Indonesia menceritakan kehancuran lebih besar. Sebuah teks dalam bahasa Jawa, Babad Lombok, yang ditemukan di pelepah kelapa, menceritakan erupsi besar gunung api yang membentuk kaldera di Gunung Samalas, Lombok.
Teks ini menceritakan kematian ribuan orang karena abu dan aliran piroklastik yang menghancurkan Pamatan, Ibu Kota dari kerajaan setempat. Meski tidak disebutkan tanggal pastinya, para pakar menduga itu terjadi sebelum akhir abad ke-13, sesuai dengan bukti sains dari erupsi.
Dikatakan Ben Andrews dari Smithsonian Institution's Global Volcanism Program, erupsi macam ini hanya terjadi sekali tiap 600 tahun. Dan, ditambahkan dalam jurnal penelitian ini, bahwa Pamatan menjadi salah satu contoh kejadian "Pompeii dari Timur" --merujuk pada gunung api yang meletus di Italia tahun 79 Masehi akibat letusan Gunung Vesuvius.