Kegiatan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) sebagian besar
merupakan kegiatan yang memacu adrenalin. Menantang dan menaklukkan alam
seperti yang dilakukan dalam kegiatan pendakian, susur gua, panjat tebing, dan
rafting merupakan hal yang kerap kali dilakukan oleh Mapala. Di balik serunya
aktifitas Mapala tersebut, ternyata banyak muncul ketidaksetujuan, terutama
dari orang tua mahasiswa sehingga banyak mahasiswa-mahasiswi yang secara diam
–diam mengikuti mapala.
Para orang tua bukan tanpa alasan melarang anaknya mengikuti
kegiatan mahasiswa pecinta alam. Alasan umumnya tidak jauh – jauh dari yang
namanya perkuliahan . Keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan Mapala sering
dituding sebagai penghambat kegiatan akademik mahasiswa tersebut. Mapala masih
identik dengan masa study yang lama, perilaku urakan, dan kebiasaan meminum
minuman keras. Belum lagi resiko yang memang sudah akrab dihadapi oleh anggota
Mapala seperti tersesat, cedera, atau bahkan meninggal dunia karena kecelakaan
saat pendakian.
Dewi, lulusan Universitas Sanata Dharma, melarang adiknya
yang kuliah di kampus yang sama dengannya untuk mengikuti kegiatan Mapala.
“Alasannya sih simpel aja. Kebanyakan
yang ikut mapala itu lama lulusnya. Lagian dalam mapala tidak ada orang yang
khusus disediakan untuk menemani dan mengawasi saat pendakian,” ujarnya. Alasan
yang hampir serupa juga diungkapkan oleh Ibu Yani, orangtua seorang mahasiswa
yang berkuliah di Surabaya. Ibu Yani melarang puteranya mengikuti kegiatan
Mapala karena menganggap kegiatan Mapala tersebut resiko kecelakaannya tinggi.
Belum lagi soal image Mapala yang lama lulus dan urakan. “Saya tidak ingin anak
saya terpengaruh hal-hal negatif seperti itu. Apalagi dia jauh dari pengawasan
orang tuanya,” terang beliau.
Namun apakah benar bahwa kegiatan Mapala lebih banyak
mengandung hal-hal negatif seperti yang dipikirkan oleh pihak-pihak yang tidak
setuju dengan keberadaannya? Andhika
Arief, ketua Kapalasastra, sebutan bagi kelompok mahasiswa pecinta alam
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada menepis kekuatiran tersebut.
Menurut mahasiswa angkatan 2007 ini,
Mapala sendiri telah mengalami pergeseran sejak tahun 2000-an. Anggota
Mapala merasa bosan dengan kegiatan yang sekedar bersifat main-main. Anggota
Mapala sudah menyadari image yang terlanjur melekat pada komunitasnya ini
sehingga mereka pun ingin menghilangkan image buruk yang selama ini melekat.
Mengikuti kegiatan Mapala sendiri merupakan wujud nyata dari usaha menjalankan
Tridarma Perguruan Tinggi, khususnya dalam hal penelitian dan pengabdian pada
masyarakat. “Yang terpenting, melalui kegiatan Mapala, anggota Mapala dapat
memberikan kontribusi terhadap jurusan yang diambil”, terang pria yang akrab
disapa Dhika ini. Di sisi lain, keinginan dari pihak kampus agar kegiatan
Mapala lebih positif dan bermanfaat ikut mendorong pergeseran pandangan
terhadap kegiatan Mapala.
Mengenai orang tua yang tidak setuju jika anaknya mengikuti
kegiatan Mapala, Dhika memberikan komentarnya,”Orang tua yang tidak mengizinkan
anaknya ikut mapala adalah hal yang wajar”. Namun menurut Dhika, alasan untuk
melarang seorang mahasiswa mengikuti kegiatan Mapala menjadi tidak wajar ketika
dikaitkan dengan kelulusan yang lama dan menghabiskan uang banyak. “Mahasiswa
yang ikut mapala lulus lama bukan karena malas untuk mengikuti perkuliahan tapi
menerapkan kegiatan yang ada di mapala seperti penelitian dan mendapat link di
beberapa LSM, seperti Hijau, Pelangi, dan sebagainya,” terang Dhika. Kegiatan
Mapala Kapalasastra Fakultas Ilmu Budaya UGM sendiri diadakan seminggu sekali
di akhir pekan, libur semester, atau minggu tenang sehingga tidak mengganggu
perkuliahan. Dhika juga menyanggah bila dikatakan kegiatan Mapala menghabiskan
banyak biaya. Menurutnya selama ini kegiatan mapala mendapatkan subsidi dari
kampus. Selain dana dari kampus, Mapala
biasanya juga mencari sponsor dan mengadakan kegiatan usaha dana, sehingga
penyelenggaraan kegiatan Mapala tidak terlalu membebani keuangan anggota.
Ditemui ditempat berbeda, humas palawa atma jaya yogyakarta,
Ignatius Hendrik dan Sekertaris, Catur Irawan mengatakan mapala itu tidak
diwajibkan, tergantung dari masing – masing individunya. Senada dengan Dhika,
Ignatius Hendrik dan Catur Irawan dari Mahasiswa Pecinta Alam Palawa Universitas
Atma Jaya Yogyakarta menganggap wajar jika ada orang tua yang tidak setuju
puteranya mengikuti kegiatan MapalaMenurut mereka, persetujuan orang tua
bukanlah halangan bagi seorang mahasiswa untuk mengikuti kegiatan Mapala. .
Menurut Humas dan Sekertaris Palawa ini, keikutsertaan dalam kegiatan Mapala
merupakan pilihan tiap individu. Faktor keamanan juga tidak dapat dijadikan
alasan untuk melarang seseorang mengikuti kegiatan Mapala. “Saat bepergian
seperti mendaki gunung atau menyusuri gua, kami selalu dibantu oleh orang yang
dianggap ahli,” terang Hendrik. Setiap tahunnya, Palawa mengirimkan delegasinya
untuk mengikuti pelatihan agar mendapatkan sertifikat nasional. Selain itu,
Palawa juga memiliki modul standar internasional untuk kegiatan pendakian dan kegiatan
Mapala lainnya sebagai panduan.
Tidak adanya restu dari orang tua untuk mengikuti kegiatan
Mapala juga pernah dialami oleh Kiki. Meskipun tidak mendapat izin dari orang
tuanya, mahasiswi Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah
Mada ini memantapkan langkahnya untuk mengikuti kegiatan Mapala. Kiki ingin
menunjukkan pada semua orang, khususnya
orangtuanya bahwa mapala itu tidak seburuk yang dibayangkan. Alhasil, gadis
berjilbab kelahiran Muntilan ini mampu meyakinkan orangtuanya. Justru berkat
keikutsertaannya di dalam kegiatan Mapala ini dia memperoleh banyak proyek,
seperti penghijauan, guide pariwisata, dan sebagainya.
Sangat tidak adil jika kita menempelkan stigma negatif
terhadap kegiatan Mapala. Banyak sisi positif yang bisa diambil dari kegiatan
ini, seperti rasa setia kawan, melatih fisik dan mental, serta kemampuan untuk
mengukur kekuatan diri sendiri. Memang, kegiatan yang dilakukan oleh Mapala
merupakan kegiatan yang memacu adrenalin alias kegiatan yang berbahaya. Namun
toh selama prosedur yang ada diikuti dengan benar disertai dengan persiapan
yang cukup resiko yang ada dapat ditekan seminimal mungkin. Resiko untuk cedera
juga bisa terjadi di UKM-UKM lain selain Mapala, sehingga faktor keamanan di
dalam kegiatan Mapala tidak dapat dijadikan alasan untuk melarang seseorang
mengikuti kegiatan Mapala.
Pada akhirnya keputusan untuk mengikuti Mapala merupakan
keputusan tiap individu. Setiap orang tua memang ingin yang terbaik untuk
anaknya. Orang tua manapun tidak akan rela jika anaknya menghadapi bahaya.
Namun memang sebaiknya semua kekuatiran tersebut tidak perlu disikapi
berlebihan, apalagi sampai melarang puteranya untuk mengikuti kegiatan Mapala,
seperti yang ditegaskan oleh Hendrik, “Ketika masuk kuliah, berarti beranjak
dewasa dan biarkan anaknya memutuskan sendiri”.
trim's plh indonesia
kunjungi kami sobat di http://maperpa2000.blogspot.com